Cari Artikel

Tampilkan postingan dengan label Hikayah Sahabat Nabi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hikayah Sahabat Nabi. Tampilkan semua postingan

Takut Itu Wajar



Perang Mu’tah, adalah perang yang secara rasio tak akan membuat manusia optimis apalagi yakin dengan kemenangan yang dijanjikan. Bayangkan saya, jumlah pasukan Romawi yang berkumpul pada hari itu lebih dari 200.000 tentara, lengkap dengan baju perang yang gagah, panji-panji dari kain sutra, senjata-senjata yang perkasa, lalu dengan kuda-kuda yang juga siap dipacu.

Abu Hurairah bersaksi atas perang ini.
”Aku menyaksikan Perang Mu’tah. Ketika kami berdekatan dengan orang-orang musyrik. Kami melihat pemandangan yang tiada bandingnya. Jumlah pasukan dan senjatanya, kuda dan kain sutra, juga emas. Sehingga mataku terasa silau,” ujar Abu Hurairah.

Sebelum melihatnya, pasukan para sahabat yang hanya berjumlah 3.000 orang-orang beriman, sudah mendengar kabar tentang besarnya pasukan lawan. Sampai-sampai mereka mengajukan berbagai pendapat, untuk memikirkan jalan keluar. Ada yang berpendapat agar pasukan Islam mengirimkan surat kepada Rasulullah saw, mengabarkan jumlah musuh yang dihadapi dan berharap kiriman bala bantuan lagi. Banyak sekali usulan yang mengemuka, sampai kemudian Abdullah ibnu Rawahah yang diangkap sebagai panglima pertama berkata di depan pasukan.
”Demi Allah, apa yang kalian takutkan? Sesungguhnya apa yang kalian takutkan adalah alasan kalian keluar dari pintu rumah, yakni gugur sebagai syahid di jalan Allah. Kita memerangi mereka bukan karena jumlahnya, bukan karena kekuatannya. Majulah ke medan perang, karena hanya ada dua kemungkinan yang sama baiknya, menang atau syahid!”

Pidato perang yang singkat, tapi sangat menggetarkan. Seperti yang kita tahu dalam sejarah, sebelum berangkat Rasulullah berpesan pada pasukan. Jika Zaid bin Haritsah terkena musibah, maka panglima akan diserahkan kepada Ja’far bin Abi Thalib. Dan jika Ja’far bin Abi Thalib juga terkena musibah, maka Abdullah ibnu Rawahah yang menggantikannya.

Maha suci Allah dengan segala tanda-tanda-Nya. Perkataan Rasulullah benar terbukti, sebagai salah satu tanda-tanda kebesaran Allah. Zaid bin Haritsah syahid dalam peperangan ini. Kemudian panji-panji Rasulullah dipegang oleh Ja’far bin Abi Thalib. Panglima pasukan kaum Muslimin ini menunggangi kuda yang berambut pirang, bertempur dengan gagah. Di tengah-tengah peperangan ia bersenandung riang:

Duhai dekatnya surga

Harum dan dingin minumannya

Orang Romawi telah dekat dengan azabnya

Mereka kafir dan jauh nasabnya

Jika bertemu, aku harus membunuhnya

Dalam situasi perang, sungguh tak banyak pilihan. Menjadi yang terbunuh atau menjadi yang bertahan. Maka tentu saja senandung Ja’far ra berbunyi demikian. Tangan kanan Ja’far terputus karena tebasan pedang ketika mempertahankan panji pasukan. Kini tangan kirinya yang memegang. Tangan kirinya pun terbabat pula oleh tebasan. Sehingga panji-panji Islam dipegangnya dengan lengan atasnya yang tersisa hingga Ja’far ditakdirkan menemui syahidnya.

Ibnu Umar ra bersaksi,
”Aku sempat mengamati tubuh Ja’far yang terbujur pada hari itu. Aku menghitung ada 50 luka tikaman dan sabetan pedang yang semuanya ada dibagian depan dan tak satupun luka berada di bagian belakang.”
Semoga Allah membalasnya dengan sayap yang kelak akan membuatnya terbang kemanapun dia suka.

Kini tiba giliran Abdullah ibnu Rawahah tampil ke depan untuk mengambil tanggung jawab, memimpin pasukan dan mengangkat panji-panji Islam. Ada kegundahan dalam hati dan pikirannya, karenanya Ibnu Rawahah memompa sendiri keberanian di dalam hatinya:
"Aku bersumpah wahai jiwaku, turunlah!
Kamu harus turun atau kamu akan dipaksa.
Bila manusia bersemangat dan bersuara
Mengapa aku melihatmu enggan terhadap surga."

Dalam kalimat-kalimat syairnya di tengah laga, tergambar bahwa ada kegalauan dalam jiwa Abdullah ibnu Rawahah. Tentu saja hanya Allah yang Mengetahui. Apalagi dua sahabatnya, telah pergi mendahului. Melihat dua jasad mulia sahabatnya, Abdullah ibnu Rawahah kembali berkata:
"Wahai jiwaku
Jika tidak terbunuh kamu juga pasti mati
Ini adalah takdir kan telah kau hadapi
Jika kamu bernasib seperti mereka berdua
Berarti kamu mendapat hidayah

Lalu kemudian, Abdullah ibnu Rawahah juga bertemu dengan syahidnya. Ini memang kisah tentang perang. Tapi sesungguhnya hikmah dan teladan yang ada di dalamnya, bermanfaat dalam semua peristiwa kehidupan. Dalam perang, tak ada sikap yang bisa disembunyikan. Pemberani, ketakutan, risau dan kegalauan, cerdik dan penuh akal, atau orang-orang yang selalu menghindar. Semua terlihat nyata. Tak ada yang bisa disembunyikan!

Takut, risau dan galau, sungguh adalah perasaan wajar yang muncul karena fitrah. Dalam sebuah periode kehidupan, kita seringkali merasakannya. Meski begitu, bukan pula alasan kita menghindar dari sesuatu yang harus kita taklukkan karena rasa takut, risau dan galau yang lebih menang. Kemudian kita mencari-cari alasan dengan menyebutnya dengan dalih strategi dan langkah pintar. Menunduk untuk menanduk, atau yang lainnya.

Gunung-gunung harus didaki, laut dan samudera harus diseberangi, lembah dan ngarai harus dijelajahi. Tantangan hidup harus ditaklukan bukan dihindari. Dan tujuan besar hidup kita sebagai seorang Muslim adalah menegakkan kebenaran dan menyebarkan kebaikan.

Berbuat kebaikan dan mencegah manusia dari kemunkaran, harus dilakukan, betapapun pahitnya balasan yang akan didapatkan. Ketakutan, risau dan galau akan selalu datang. Tapi berkali-kali pula kita harus mampu mengalahkan mereka dan berkata pada diri sendiri. Meniru ulang apa yang dikatakan sahabat Abdullah ibnu Rawahah dengan gagah pada hati dan akalnya, ”Apakah engkau enggan pada nikmat AllaĆ„h yang Maha Tinggi?!”

Wallahu a’lam bi shawab.

Kisah Umar dan Keprihatinannya pada Rakyat Miskin



Pelajaran mana yang lebih baik daripada sebuah keteladanan? Terlebih dalam kondisi ketika banyak pemimpin negeri kita yang tak amanah. Namun tak selayaknya kita berputus asa, justru kita wajib berdoa. Semoga Allah kan hadirkan sosok pemimpin teladan seperti sejarah merekam Umar bin Khattab dan kepemimpinan beliau dalam kisah inspirasi berikut...

Krisis itu masih melanda Madinah. Korban sudah banyak berjatuhan. Jumlah orang-orang miskin terus bertambah. Khalifah Umar Bin Khatab yang merasa paling bertanggung jawab terhadap musibah itu, memerintahkan menyembelih hewan ternak untuk dibagi-bagikan pada penduduk.

Ketika tiba waktu makan, para petugas memilihkan untuk Umar bagian yang menjadi kegemarannya: punuk dan hati unta. Ini merupakan kegemaran Umar sebelum masuk islam.
“Dari mana ini?” Tanya Umar.
“Dari hewan yang baru disembelih hari ini,” jawab mereka.
“Tidak! Tidak!” kata Umar seraya menjauhkan hidangan lezat itu dari hadapannya. “Saya akan menjadi pemimpin paling buruk seandainya saya memakan daging lezat ini dan meninggalkan tulang-tulangnya untuk rakyat.”

Kemudian Umar menyuruh salah seorang sahabatnya,
”Angkatlah makanan ini, dan ambilkan saya roti dan minyak biasa!”
Beberapa saat kemudian, Umar menyantap yang dimintanya.

Kisah yang dipaparkan Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya ar-Rijal Haular Rasul itu menggambarkan betapa besar perhatian Umar terhadap rakyatnya. Peristiwa seperti itu bukan hanya terjadi sekali saja. Kisah tentang pertemuan Umar dengan seorang ibu bersama anaknya yang sedang menangis kelaparan, begitu akrab di telinga kita. Ditengah nyenyaknya orang tidur. Ia berkeliling dan masuk sudut-sudut kota Madinah. Ketika bertemu seorang ibu dan anaknya yang sedang kelaparan, Umar sendiri yang pergi mengambil makanan. Ia sendiri juga yang memanggulnya, mengaduknya, memasaknya dan menghidangkannya untuk anak-anak itu.

Keltika kelaparan mencapai puncaknya Umar pernah disuguhi remukan roti yang dicampur samin. Umar memanggil seorang badui dan mengajaknya makan bersama. Umar tidak menyuapkan makanan ke mulutnya sebelum badui itu melakukannya terlebih dahulu. Orang badui sepertinya sangat menikmati makanan itu.
“Agaknya Anda tidak pernah merasakan lemak?” Tanya Umar.
“Benar,” kata badui itu. “Saya tidak pernah makan dengan samin atau minyak zaitun. Saya juga sudah lama tidak menyaksikan orang-orang memakannya sampai sekarang,” tambahnya.

Mendengar kata-kata sang badui, Umar bersumpah tidak akan makan lemak sampai semua orang hidup seperti biasa. Ucapannya benar-benar dibuktikan. Kata-katanya diabadikan sampai saat itu, “Kalau rakyatku kelaparan, aku ingin orang pertama yang merasakannya. Kalau rakyatku kekenayangan, aku ingin orang terakhir yang menikmatinya.”

Padahal saat itu Umar bisa saja menggunakan fasilitas Negara. Kekayaan Irak dan Syam sudah berada ditangan kaum Muslimin. Tapi tidak. Umar lebih memilih makan bersama rakyatnya.

Pada kesempatan lain, Umar menerima hadiah makanan lezat dari Gubernur Azerbeijan, Utbah bin Farqad. Namun begitu mengetahui makanan itu biasanya disajikan untuk kalangan elit, Umar segera mengembalikannya. Kepada utusan yang mengantarkannya Umar berpesan,
“Kenyangkanlah lebih dulu rakyat dengan makanan yang biasa Anda makan.”

Sikap seperti itu tak hanya dimiliki Umar bin Khattab. Ketika mendengar dari Aisyah bahwa Madinah tengah dilanda kelaparan. Abdurrahman bin Auf yang baru pulang dari berniaga segera membagikan hartanya pada masyarakat yang sedang menderita. Semua hartanya dibagikan.

Ironisnya, sikap ini justru amat jauh dari para pejabat sekarang. Penderitaan demi penderitaan yang terus melanda bangsa ini, tak meyadarkan mereka. Naiknya harga kebutuhan pokok sebelum harga BBM naik dan meningkatnya jumlah orang-orang miskin, tak menggugah hati mereka. Bahkan, perilaku boros mereka kian marak.



Anggota Dewan yang ditunjuk rakyat sebagai wakil, justru banyak yang berleha-leha. Santai dan mencari aman. Pada saat yang sama, para pejabat yang juga dipilih langsung, tak pernah memikirkan rakyat. Yang ada dalam benak mereka , bagaimana bisa aman selama lima tahun ke depan.

Mereka yang dulu vocal mengkritik para pejabat korup dan zalim, justru kini diam. Ia takut kalau kursi yang saat ini didudukinya lepas. Sungguh jauh beda dengan Abu Dzar al-Ghifari, seorang sahabat Rasulullah saw. Ketika suatu saat dia cukup pedas mengkritik para pejabat di Madinah, Ustman bn Affan memindahkannya ke Syam agar tak muncul konflik. Namun, ditempat inipun ia melakukan kritik tajam pada Muawiyah bin Abu Sufyan agar menyantuni fakir miskin.

Muawiyah pernah mengujinya dengan mengirimkan uang. Namun ketika esok harinya uang itu ingin diambilnya kembali, ternyata Abu Dzar telah membagikannya pada fakir miskin.

Sesungguhnya, negeri kita ini tidak miskin. Negari kita kaya. Bahkan teramat kaya. Tapi karena tidak dikelola dengan baik, kita menjadi miskin. Negeri kita kaya, tapi karena kekayaan itu hanya berada pada orang-orang tertentu saja, rakyat menjadi miskin. Kekayaan dimonopoli oleh para pejabat, anggota parlemen dan para pengusaha tamak.

Di tengah suara rintihan para pengemis dan orang-orang terlantar, kita menyaksikan para pejabat dan orang-orang berduit dengan asyik melancong ke berbagai negari. Mereka seolah tanpa dosa menghambur-hamburkan uang dengan membeli barang serba mewah.

Ditengah gubuk-gubuk reot penuh tambalan kardus bekas, kita menyaksikan gedung-gedung menjulang langit. Diantara maraknya tengadah tangan-tangan pengemis, mobil-mobil mewah dengan santainya berseleweran. Pemandangan kontras yang selalu memenuhi hari-hari kita.

Dimasa Umar bin Abdul azis, umat islam pernah mengalami kejayaan. Kala itu sulit mencari mustahiq (penerima) zakat. Mereka merasa sudah mampu, bahkan harus mengeluarkan zakat. Mereka tidak terlalu kaya. Tapi, kekayaan dimasa itu tidak berkumpul pada orang-orang tertentu saja.

Disinilah peran zakat, infak dan shadaqah. Tak hanya untuk ‘membersihkan’ harta si kaya, tapi juga menuntaskan kemiskinan.

Jika ini tidak kita lakukan, kita belum menjadi mukmin sejati. Sebab, seorang Mukmin tentu takkan membiarkan tetanggana kelaparan. Rasulullah saw bersabda, “Tidak beriman seseorang yang dirinya kenyang, sementara tetangganya kelaparan.” (HR. Muslim).

Singgasana Allah Ikut Terguncang Saat Kematian Sa'ad



Nama lengkapnya Sa'ad bin Mu'az bin Nu'man Al-Anshori. Beliau adalah kepala suku Aus.
Pada waktu perang Badar, beliaulah pembawa bendera perang itu. Perawakannya tinggi dan besar badannya.

Sa'ad bin Mu'az ra masuk Islam di Madinah atas bimbingan Mush'ab bin 'Umair ketika diutus Rasulullah saw ke Madinah.

Pada waktu perang Badar, Rasulullah saw bermusyawarah dengan para sahabatnya. Sa'ad ikut berbicara atas nama kaum Anshor. Dalam musyawarah itu beliau berkata;
"Wahai Rasulullah, kami telah beriman kepadamu dan membenarkan ajarannya. Kami bersaksi bahwa risalah yang kamu bawa adalah benar, sebagai bukti, kami berikan janji dan sumpah setia kepadamu. Oleh karena itu Rasulullah, berikan perintah kepada kami, kami akan selalu bersamamu. Demi Dzat yang mengutus dirimu dengan kebenaran, sekiranya lautan merintangi perjuangan kita karena gelombang besar yang mengguncang kita, niscaya kami tetap menyebrang bersamamu, tidak ada seorang pun tertinggal. Kami tidak merasa takut untuk bertemu musuh besok, kami menghadapi dengan penuh kesabaran dan merasa senang berjumpa dengan musuh. Semoga saja Allah memperlihatkan kamu dari diri kami apa yang menyenangkan hatimu, dan kami pun merasa senang atas barakah Allah."

Pernah juga Rasulullah saw mengutus beliau bersama Sa'ad bin Ubadah pada waktu terjadi perang Ahzab. Mereka diutus untuk menemui Ka'ab bin Asad, kepala suku Yahudi dari Bani Quraidah untuk menjelaskan sikap mereka terhadap perjanjian yang telah disepakati dulu.
Ternyata orang-orang Yahudi mengingkari perjanjian itu. Beliau bersama Sa'ad bin Ubadah diutus Rasulullah saw untuk bermusyawarah mengenai pemberian sepertiga dari hasil pertanian kota Madinah kepada Ghotfan. Tujuannya agar mereka tidak usah ikut orang Quraiys dalam perang Ahzab, keduanya berkata;
"Sekiranya kamu diperintahkan suatu perkara maka kerjakanlah."

Sa'ad bin Mu'az terluka parah pada waktu perang Khandak akibat terkena panah di lengannya hingga berdarah, kemudian diobati.
Pada waktu sedang sakit beliau berdo'a agar mati sahid:
"Ya Allah, janganlah Engkau matikan aku hingga mataku merasa senang atas kekalahan Bani Quraidah."
Do'anya dikabulkan. Pemuka-pemuka Quraidah meminta kepada Rasulullah saw, setelah mereka menyerah kalah karena dikepung oleh kaum Muslimin, agar Sa'ad bin Mu'az ra menjadi hakim bagi mereka. Kemudian beliau memutuskan untuk membunuh laki-laki, menawan wanitanya, dan mengambil harta bendanya.
Usulan itu sangat bersesuaian dengan hukum Allah seperti yang diberitakan Rasulullah.

Beliau wafat akibat pengaruh luka yang dideritanya pada tahun 5 hijriah, berumur 73 tahun.
Para Malaikat ikut melayat kematiannya, dikuburkan di kuburan Baqiq.

Ketika orang berbicara mengenai jenazahnya, mereka berkata;
"Alangkah ringan jenazahnya."
Rasulullah bersabda;
"Para Malaikat ikut mengangkat jenazahnya."

Dihadits lain Rasulullah bersabda;
"Tujuh puluh Malaikat turun mengantar jenazah Sa'ad bin Mu'az yang sebelumnya belum pernah turun ke bumi."

Suatu hari Rasulullah diberi kain sutra yang halus dan bagus. Orang-orang merasa heran dan terkesima dengan kain itu. Rasulullah bersabda;
"Niscaya kain Sa'ad di Surga lebih bagus dari kain sutra ini."

Dalam hadits lain Rasulullah bersabda;
"Singgasana Allah ikut berguncang pada hari kematian Sa'ad."

Meninggalkan Kemewahan Menuju Syahid



Menjadi seorang pemuda tampan, kaya raya dengan asesoris serba mahal, parfum paling semerbak dan banyak memiliki fans adalah impian hampir semua anak-anak zaman sekarang. Sahabat Nabi yang satu ini demikian halnya.
Sebelum masuk Islam dia adalah pujaan hati semua wanita di kota Mekah dan impian hati orang tua untuk menjadi mertuanya. Di besarkan oleh keluarga yang kaya raya dan diperlakukan dengan istimewa, mengenakan pakaian 200 dirham sudah sering ia dapatkan.
Namanya Mus'ab bin Umair ra, telah masuk Islam dari awal tapi tidak di ketahui oleh orang tuanya.
Ketika orang tuanya mengetahui maka ia mendapat perlakuan yang kasar dan diikat di dalam rumah supaya tidak keluar.
Ketika ada seruan untuk berhijrah ke Habsyah ia dapat kesempatan meloloskan diri lalu ikut hijrah ke Habsyah bersama Jafar bin Abi Thalib ra dan rombongan yang lain.
Sekembalinya dari Habsyah, Rasulullah saw menyuruh Mus'ab bin Umair ra sebagai duta pertama yang mendakwahkan di kota Yasrib (Madinah).
Di Madinah ini ia mendapat sambutan yang baik dan ia mendapat sahabat Muaz bin Jabal ra sebagai saudaranya.

Pada Suatu hari Rasulullah saw dan para sahabat sedang membuat suatu Majlis, kemudian melintas di hadapan mereka seseorang dengan pakain yang banyak bertambal, bahkan ada sebagian baju yang sobek dan di tempel dengan kulit hewan. Tak terasa air mata Rasulullah saw menetes. Masih segar di ingatan mereka bahwa itu adalah pemuda dari keluarga kaya raya, hidup tidak pernah kekurangan apa lagi kesusahan, makan dari menu yang lezat dan terjamin harganya, senantiasa menjadi buah bibir di lisan wanita-wanita kota Mekah. Kini Islam telah merenggut asesoris dunia penuh kemewahan yang pernah di sandang.
Mus'ab bin Umair lebih memilih duduk bersama majlis Rasulullah saw, kadang kepanasan kadang kehujanan dari pada duduk di rumah megahnya di Mekah dengan di kelilingi makanan enak, musik mengalun dan di layani budak-budak pilihan. Ia lebih nikmat dengan perut yang sering keroncongan karena jarang makan tapi khusyu beribadah di masjid bersama Rasulullah saw. Malam-malam yang biasanya dilalui dengan berkumpul bersama kaum kerabat sambil bercanda ria, kini di lalui dengan linangan air mata disudutnya dengan dzikir dan do'a yang panjang.
Mus'ab bin Umair sesungguhnya telah merintis jalan yang dulu di lalui para Nabi Allah. Bila berjalan ke akhirat ibarat sebuah gerbong kereta api maka hanya dengan menumpang kereta api itu akan sampai di stasiun yang di tuju, sekalipun kita berada di gerbong terahir atau hanya bergelayutan di pegangan pintu maka kita yakin bahwa kita akan sampai di stasiun yang kita tuju. Tapi meskipun kita ada di gerbong mewah dan serba nyaman kalau kita menggunakan kereta yang lain maka kita tidak akan pernah sampai di stasiun yang sebenarnya.

Ketika panggilan Uhud di kumandangkan, Mus'ab bin Umar termasuk dalam barisan yang pertama. Bahkan ia mendapat penghormatan sebagai pemegang bendera utama Islam.
Ketika pasukan Islam terdesak dan ada Sebagian yang mundur, Mus'ab bin Umair bin Umair ra tetap kokoh memegang panji Islam dengan erat sambil berdiri tak goyah dari tempatnya. Musuh pun makin gencar melakukan serangan apalagi setelah pasukan Khalid bin Walid (sebelum masuk Islam) berhasil menguasai bukit tempat pasukan panah melakukan serangan. Pasukan Islam banyak yang lepas dari kordinasi, tidak rapi seperti awalnya.
Saat seorang musuh mengayunkan pedangnya dan memutus tangan kanan Mus'ab bin Umair ra, Mus'ab sempoyongan dan berhasil bangkit memegang panji dengan tangan kirinya. Musuh melakukan serangan lagi dan berhasil memutuskan tangan kiri Mus'ab. Ia terjatuh bersimbah darah, tapi masih hidup. Seluruh kekuatan di kumpulkan lagi dan berhasil memegang kembali panji Islam di dadanya dibantu dengan sisa kedua tangan yang terpotong. Tak berselang lama sebuah anak panah menembus dadanya dan robohlah ia sebagai Syuhada.

Sahabat Rasulullah saw yang lain datang dan merebut kembali panji Islam dari jasad Mus'ab bin Umair ra.

Disaat pemakamannya, beliau hanya memiliki sehelai kain yang tidak cukup menutupi jasadnya. Bila kepalanya di tutupi maka kakinya akan terbuka, dan bila kakinya di tutupi maka kepalanya akan terbuka.
Rasulullah saw mendekati dan bersabda;
"Selimutilah kepalanya dengan kain itu dan tutupilah kakinya dengan daun-daun Azkhar"

Inilah sebuah akhir kegemilangan seorang pemuda dalam menegakkan panji Islam. Dia memang kehilangan kemewahan dan gemerlapnya dunia, tetapi ia mendapat ganti yang jauh lebih baik yakni Syurga.
Perjalanan dari pemuda yang kaya raya dan berakhir dengan hanya pakaian yang tidak cukup menutupi jasadnya.
Subhanallah........

Ya Allah berilah kami kekuatan untuk mencintai dan meneladani orang-orang besar seperti mereka...... Aamiin

Kisah Penderitaan Khabbab Bin Al-Arat RA



Sayyidina Khabbab bin Al-Arat ra termasuk seorang shahabat yang dipenuhi keberkahan, yang menyiapkan dirinya untuk menerima berbagai ujian. Beliau adalah orang yang telah menahan penderitaan-penderitaan yang berat di jalan Allah SWT pada masa awal Islam. Beliau masuk Islam ketika baru ada 5 atau 6 orang yang menerima Islam, sehingga cukup lama beliau bergelut dengan penderitaan. Beliau pernah dipaksa memakai baju besi, lalu dibaringkan di bawah terik matahari yang sangat panas sehingga membanjir keringat dari sekujur tubuhnya. Begitu sering dia dibaringkan di padang pasir yang sangat panas, sampai daging punggungnya terkelupas.

Sayyidina khabbab bin Al-Arat ra adalah hamba sahaya milik seorang wanita kafir. Ketika wanita itu mengetahui dia sering menjumpai Baginda Rasulullah saw, ia menghukum Sayyidina Khabbab ra dengan menyengatkan batang besi panas ke kepalanya.

Ketika Sayyidina Umar bin Khatthab ra menjadi khalifah, ia meminta Sayyidina Khabbab ra mencertiakan kembali penderitaan yang telah dialaminya dahulu.
Sayyidina Khabbab ra berkata;
“Lihatlah punggungku ini”
Begitu Sayyidina Umar ra melihat punggungnya, beliau berseru,
“Belum pernah kulihat punggung yang luka separah ini.”
Sayyidina khabbab ra berkata,
“Aku diseret di atas timbunan bara api yang menyala, sehingga lemak dan darah yang mengalir dari punggungku memadamkan bara api itu.”

Setelah Islam jaya dan pintu-pintu kemenangan terbuka lebar, Sayyidina Khabbab ra menangis,
“Saya khawatir penderitaan-penderitaan kita untuk agama telah dibalas di dunia, sehingga tidak ada balasan lagi di akhirat.”

Sayyidina Khabbab ra bercerita,
“Suatu ketika Baginda Nabi saw shalat begitu panjang, tidak seperti biasanya. Lalu, ada seorang shahabat yang bertanya tentang shalatnya itu.”
Baginda Nabi saw menjawab,
“Ini adalah shalat yang penuh harap dan takut. Aku mengajukan tiga permintaan kepada Allah SWT. Dua telah dikabulkan, dan yang satu ditolak. Pertama, aku memohon agar umatku tidak dimusnahkan dengan kelaparan, Allah SWT mengabulkan do’a ini. Kedua, aku meminta agar umatku tidak dikuasai oleh musuh yang akan menghabisinya, Allah SWT pun mengabulkan doa ini. Yang ketiga, aku meminta agar tidak ada pertikaian di antara umatku, tetapi Allah SWT tidak mengabulkan doa ini.”

Sayyidina Khabbab ra wafat pada tahun ke 37 H. Beliau shahabat yang pertama kali dimakamkan di Kufah.

Setelah wafatnya, Sayyidina Ali ra pernah melewati kuburnya dan berkata,
“Semoga Allah SWT merahmati Khabbab. Dengan senang hati ia memeluk Islam dan dengan suka rela ia berhijrah, dan untuk berjihad ia menghabiskan umurnya, serta ia telah menahan bermacam-macam penderitaan untuk agama. Penuh berkahlah orang yang selalu mengingat Hari Kiamat dan bersiap-siap untuk menghadapi Hari Hisab. Ia merasa cukup dengan harta seadanya, dan ia membuat ridha Tuhannya.”
Sumber: kitab Usudul Ghabah.

Faidah Mencari ridha Allah SWT semata adalah tujuan dari kehidupan para shahabat. Setiap pekerjaan semata-mata untuk mendapat ridha-Nya.

Amal Yang Tertolak



Suatu malam Mu'adz bermaksud menemui Rasulullah SAW, tetapi ternyata beliau sedang mengendarai unta, entah hendak pergi kemana? Melihat kedatangannya, beliau meminta Mu'adz naik ke belakang beliau, berboncengan berdua, unta pun melanjutkan perjalanan. Beliau memandang ke langit, setelah menyanjung dan memuji Allah SWT, beliau bersabda kepada Mu'adz,
"Wahai Mu'adz, aku akan menceritakan suatu kisah kepadamu, jika engkau menghafalnya akan sangat berguna bagimu. Tetapi jika engkau meremehkannya, engkau tidak akan punya hujjah (argumentasi) di hadapan Allah kelak."

Nabi SAW menceritakan, bahwa sebelum penciptaan langit dan bumi, Allah telah menciptakan tujuh malaikat. Setelah bumi dan langit tercipta, Allah menempatkan tujuh malaikat tersebut pada pintu-pintu langit, menurut derajat dan keagungannya masing-masing. Allah juga menciptakan malaikat yang mencatat dan membawa amal kebaikan seorang hamba ke langit, menuju ke hadirat Allah, yang disebut dengan malaikat hafadzah.

Suatu ketika malaikat hafadzah membawa ke langit, amalan seorang hamba yang berkilau seperti cahaya matahari. Ketika sampai di langit pertama, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit pertama itu berkata,
"Tamparkan amalan ini ke wajah pemiliknya. Aku adalah penjaga (penyeleksi) orang-orang yang suka mengumpat (Ghibah, jawa: ngerasani). Aku ditugaskan untuk menolak amalan orang yang suka ghibah. Allah tidak mengijinkannya melewatiku untuk mencapai langit berikutnya."

Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.

Pada saat yang lain, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba yang sangat banyak dan terpuji. Ia berhasil melalui langit pertama karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah.

Ketika sampai di langit kedua, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit ke dua itu berkata,
"Berhenti!! Tamparkanlah amalan ini ke wajah pemiliknya, sebab ia beramal dengan mengharap duniawiah. Allah menugaskan aku untuk menolak amalan seperti ini dan melarangnya melewati aku untuk mencapai langit berikutnya."

Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.

Pada saat yang lain lagi, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba yang sangat memuaskannya, penuh dengan sedekah, puasa dan berbagai kebaikan lainnya, yang dianggapnya sangat mulia dan terpuji. Ia berhasil melalui langit pertama dan kedua karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah dan tidak mengharapkan balasan duniawiah.

Ketika sampai di langit ke tiga, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit ke tiga itu berkata,
"Berhenti!! Tamparkanlah amalan ini ke wajah pemiliknya!! Aku adalah malaikat penjaga kibr (kesombongan), Allah menugaskan aku untuk menolak amalan orang yang suka sombong (bermegah-megahan) dalam majelis. Allah tidak mengijinkannya melewati aku untuk mencapai langit berikutnya."

Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.

Saat yang lain lagi, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba yang bersinar seperti bintang kejora, bergemuruh dengan penuh dengan tasbih, puasa, shalat, haji dan umrah. Ia berhasil melalui langit pertama, ke dua dan ke tiga karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah, tidak mengharapkan balasan duniawiah dan juga tidak sombong.

Ketika sampai di langit ke empat, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit ke empat itu berkata
"Berhenti!! Tamparkanlah amalan ini ke wajah pemiliknya!! Aku adalah malaikat penjaga sifat ujub. Allah menugaskan aku untuk menolak amalan orang yang disertai ujub. Allah tidak mengijinkannya melewati aku untuk mencapai langit berikutnya."

Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.

Pada saat yang lain, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba yang sangat mulia, terdiri dari jihad, haji, umrah dan berbagai kebaikan lainnya sehingga sangat cemerlang seperti matahari. Ia berhasil melalui langit pertama hingga ke empat, karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah, tidak mengharapkan balasan duniawiah, tidak sombong dan juga tidak ujub dalam beramal.

Ketika sampai di langit ke lima, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit ke lima itu berkata
"Berhenti!! Tamparkanlah amalan ini ke wajah pemiliknya!! Aku adalah malaikat penjaga sifat hasud (iri dengki). Meskipun amalannya sangat baik, tetapi ia suka hasud kepada orang lain yang mendapatkan kenikmatan Allah. Itu artinya ia membenci Allah yang memberikan kenikmatan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Allah tidak mengijinkannya melewati aku untuk mencapai langit berikutnya."

Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.

Pada saat lainnya, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba yang sangat sempurna dari wudhu, shalat, puasa, haji dan umrah. Ia berhasil melalui langit pertama hingga ke lima, karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah, tidak mengharapkan balasan duniawiah, tidak sombong, tidak ujub dalam beramal, dan juga tidak suka hasud pada orang lain.

Ketika sampai di langit ke enam, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit ke enam itu berkata,
"Berhenti!! Tamparkanlah amalan ini ke wajah pemiliknya. Aku adalah malaikat penjaga sifat rahmah. Allah menugaskan aku untuk menolak amalan orang yang tidak pernah mengasihani orang lain. Bahkan jika ada orang yang ditimpa musibah, ia merasa senang. Allah tidak mengijinkannya melewati aku untuk mencapai langit berikutnya."

Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.

Pada saat lain lagi, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba yang bersinar-sinar seperti kilat menyambar dan bergemuruh laksana guruh menggelegar, terdiri dari shalat, puasa, haji, umrah, wara’, zuhud dan berbagai amalan hati lainnya. Ia berhasil melalui langit pertama hingga ke enam, karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah, tidak mengharapkan balasan duniawiah, tidak sombong, tidak ujub dalam beramal, tidak suka hasud pada orang lain, dan juga seorang yang penuh kasih sayang (rahmah) pada sesamanya.

Ketika sampai di langit ke tujuh, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit ke tujuh itu berkata,
"Berhenti!! Tamparkanlah amalan ini ke muka pemiliknya!! Aku adalah malaikat penjaga sifat sum’ah (suka pamer). Allah menugaskan aku untuk menolak amalan orang yang suka memamerkan amalannya untuk memperoleh ketenaran, derajad dan pengaruh terhadap orang lain. Amalan seperti ini adalah riya', dan Allah tidak menerima ibadahnya orang yang riya'. Allah tidak mengijinkannya melewati aku untuk sampai ke hadirat Allah SWT."

Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.

Pada saat lainnya, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba berupa shalat, puasa, zakat, haji, umrah, akhlak mulia, pendiam suka berdzikir, dan beberapa lainnya yang tampak sangat sempurna. Ia berhasil melalui langit pertama hingga ke tujuh karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah, tidak mengharapkan balasan duniawiah, tidak sombong, tidak ujub dalam beramal, tidak suka hasud pada orang lain, seorang yang penuh kasih sayang (rahmah) pada sesamanya, dan juga tidak suka memamerkan amalannya (sum’ah). Para malaikat dibuat terkagum-kagum sehingga mereka ikut mengiring amalan itu itu sampai di hadirat Allah SWT.

Ketika amal tersebut dipersembahkan malaikat hafadzah, Allah berfirman,
"Hai malaikat hafadzah, Aku-lah yang mengetahui isi hatinya. Ia beramal bukan untuk Aku tetapi untuk selain Aku, bukan diniatkan dan diikhlaskan untuk-Ku. Aku lebih mengetahui daripada kalian, dan Aku laknat mereka yang menipu orang lain dan menipu kalian (malaikat hafadzah, dan malaikat-malaikat lainnya yang menganggapnya sebagai amalan hebat), tetapi Aku tidak akan tertipu olehnya. Aku-lah yang mengetahui hal-hal ghaib, Aku mengetahui isi hatinya. Yang samar, tidaklah samar bagi-Ku, Yang tersembunyi, tidaklah tersembunyi bagi-Ku. Pengetahuan-Kuatas segala yang telah terjadi, sama dengan Pengetahuan-Ku atas segala yang belum terjadi. Ilmu-Ku atas segala yang telah lewat, sama dengan Ilmu-Ku atas segala yang akan datang. Pengetahuan-Ku atas orang-orang yang terdahulu, sama dengan Pengetahuan-Ku atas orang-orang yang kemudian. Aku yang paling mengetahui segala sesuatu yang samar dan rahasia, bagaimana bisa hamba-Ku menipu dengan amalnya. Bisa saja mereka menipu mahluk-Ku tetapi Aku Yang Mengetahui hal-hal yang ghaib….tetaplah laknat-Ku atas mereka…!!"

Tujuh malaikat di antara tiga ribu malaikat juga berkata,
"Ya Allah, kalau demikian keadaannya, tetaplah laknat-Mu dan laknat kami atas mereka….!!"

Kemudian para malaikat dan seluruh penghuni langit berkata,
"Ya Allah, tetaplah laknat-Mu dan laknat orang-orang yang melaknat atas mereka…!!"

Begitulah, panjang lebar Nabi SAW menceritakan kepada Mu'adz bin Jabal, dan tanpa terasa ia menangis tersedu-sedu di boncengan unta beliau. Ia berkata di sela tangisannya,
"Ya Rasulullah, bagaimana aku bisa selamat dari semua yang engkau ceritakan itu??"
"Wahai Mu'adz, ikutilah Nabimu dalam masalah keyakinan!!" Kata Nabi SAW.
"Engkau adalah Rasulullah, sedangkan aku hanyalah Mu'adz bin Jabal. Bagaimana aku bisa selamat dan terlepas dari semua itu…" Kata Mu'adz.
"Memang begitulah,” Kata Nabi SAW, “Jika ada kelengahan dalam ibadahmu, jagalah lisanmu agar tidak sampai menjelekkan orang lain, terutama jangan menjelekkan ulama….."

Panjang lebar Nabi SAW menasehati Mu'adz bin Jabal, yang intinya adalah menjaga lisan dan hati, jangan sampai melukai dan menghancurkan pribadi orang lain. Akhirnya beliau bersabda,
"Wahai Mu'adz, yang aku ceritakan tadi akan mudah bagi orang yang dimudahkan Allah. Engkau harus mencintai orang lain sebagaimana engkau menyayangi dirimu. Bencilah (larilah) dari sesuatu yang engkau membencinya (yakni, akibat buruk yang diceritakan Nabi SAW di atas), niscaya engkau akan selamat…!"

Rasulullah SAW tahu betul bahwa Mu'adz bin Jabal sangat mengetahui hukum-hukum Islam (Fikih), yang pada dasarnya bersifat lahiriah. Dengan menceritakan kisah tersebut, beliau ingin melengkapi pengetahuan dan pemahamannya dari sisi batiniah, sehingga makin sempurna pengetahuan keislamannya. Dan tak salah kalau kemudian Nabi SAW pernah bersabda,
"Mu'adz bin Jabal adalah pemimpin golongan ulama di hari kiamat!"

Sebagaimana umumnya para sahabat Anshar, Mu’adz hampir tidak pernah terlewat dalam berbagai perjuangan dan jihad bersama Rasulullah SAW. Perang Badar, Uhud, Khandaq dan berbagai pertempuran lain diterjuninya. Ketika Nabi SAW wafat, Mu’adz sedang berada di Yaman untuk mengemban tugas Nabi SAW, menjadi Qadhi dan mengajarkan ilmu-ilmu keislaman kepada penduduknya, yang kebanyakan memeluk Islam pada masa-masa akhir kehidupan Rasulullah SAW. Mu’adz sendiri meninggal pada masa Khalifah Umar bin Khaththab akibat wabah penyakit thaun yang melanda kota Amwas, antara Ramalah dan Baitul Maqdis, termasuk wilayah Syam.

Saat Aisyah Takut Pada Umar Bin Khathab RA



Ketika Aisyah sedang berbincang-bincang dengan seorang perempuan di rumahnya, tiba-tiba Rasulullah saw masuk ke dalam rumah. Saat itu Aisyah masih saja meneruskan perbincangannya dengan perempuan tersebut.

Beberapa saat kemudian Umar bin Khattab juga masuk. Begitu Umar memasuki rumah, Aisyah langsung terdiam menghentikan bicaranya dan duduk dengan tenang.
Melihat perilaku Aisyah yang mendadak terdiam begitu melihat Umar, maka Rasulullah saw pun tertawa. Karena penasaran, Umar pun bertanya;
”Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu tertawa?”
Rasulullah saw bukannya langsung menjelaskan alasan tertawanya kepada Umar, beliau malah mengajak Umar keluar dan berbicara tentang hal lain.

Umar pun berkata,
“Demi Allah, aku tidak akan pergi hingga aku mendengar Rasulullah mengatakan alasannya kepadaku”

Rasulullah pun lalu memerintahkan Aisyah untuk mengatakan alasannya. Dan Aisyah pun menjelaskan alasannya kepada Umar, bahwa diam-diam dia selalu gugup dan ketakutan setiap kali berhadapan dengan sosok Umar.

Kisah Julaibib Mendapatkan Jodoh



Namanya Julaibib, begitulah dia biasa dipanggil. Nama ini sendiri mungkin sudah menunjukkan ciri fisiknya yang kerdil dan pendek.
Nama Julaibib adalah nama yang tidak biasa dan tidak lengkap. Nama ini, tentu bukan ia sendiri yang menghendaki. Bukan pula orang tuanya.
Julaibib hadir ke dunia tanpa mengetahui siapa ayah dan ibunya. Demikian pula orang-orang, semua tidak tahu, atau tidak mau tahu tentang nasab Julaibib. Bagi masyarakat Yatsrib, tidak bernasab dan tidak bersuku adalah cacat sosial yang sangat besar.
Julaibib yang tersisih tampilan fisik dan kesehariannya juga menjadi alasan sulitnya orang lain ingin berdekat-dekat dengannya.
Wajahnya jelek terkesan sangar, pendek, bunguk, hitam, dan fakir. Kainnya usang, pakaiannya lusuh, kakinya pecah-pecah tidak beralas. Tidak ada rumah untuk berteduh, tidur hanya berbantalkan tangan, berkasurkan pasir dan kerikil. Tidak ada perabotan, minum hanya dari kolam umum yang diciduk dengan tangkupan telapak tangan.
Abu Barzah, pemimpin Bani Aslam, sampai-sampai berkata tentang Julaibib,
“Jangan pernah biarkan Julaibib masuk diantara kalian! Demi Allah jika dia berani begitu, aku akan melakukan hal yang mengerikan padanya!”
Demikianlah keadaan Julaibib pada saat itu.

Namun jika Allah berkehendak menurunkan rahmatNya, tidak satu makhluk pun bisa menghalangi.
Julaibib menerima hidayah, dan dia selalu berada di shaf terdepan dalam shalat maupun jihad.
Meski hampir semua orang tetap memperlakukannya seolah ia tiada, tidak begitu dengan Rasulullah saw sang rahmat bagi semesta alam.
Julaibib yang tinggal di shuffah Masjid Nabawi, suatu hari ditegur oleh Nabi saw:
“Julaibib…,” begitu lembut beliau memanggil,
“Tidakkah engkau menikah?”
“Siapakah orangnya Ya Rasulallah Shollallahu ‘alaihi wasallam,” kata Julaibib,
“Yang mau menikahkan putrinya dengan diriku ini?” Julaibib menjawab dengan tetap tersenyum. Tidak ada kesan menyesali diri atau menyalahkan takdir Allah pada kata-kata maupun air mukanya.
Rasulullah saw juga tersenyum. Mungkin memang tidak ada orang tua yang berkenan pada Julaibib.
Tapi hari berikutnya, ketika bertemu dengan Julaibib, Rasulullah saw menanyakan hal yang sama.
“Julaibib, tidakkah engkau menikah?”
Dan Julaibib menjawab dengan jawaban yang sama. Begitu, begitu, begitu. Tiga kali. Tiga hari berturut-turut.
Dan di hari ketiga itulah, Sang Nabi menggamit lengan Julaibib dan membawanya ke salah satu rumah seorang pemimpin Anshar.
“Aku ingin menikahkan putri kalian.” Kata Rasulullah saw pada si empunya rumah,“
“Betapa indahnya dan betapa barakahnya.” begitu si wali menjawab berseri-seri, mengira bahwa sang Nabi_lah calon menantunya.
“Ooh.. Ya Rasulallah saw, ini sungguh akan menjadi cahaya yang menyingkirkan temaram di rumah kami.”
“Tetapi bukan untukku,” Kata Rasulullah saw,
“ku pinang putri kalian untuk Julaibib.”
“Julaibib?” nyaris terpekik ayah sang gadis.
“Ya. Untuk Julaibib.”
“Ya Rasulullah," terdengar helaan nafas berat.
“Saya harus meminta pertimbangan istri saya tentang hal ini”

“Dengan Julaibib?” istrinya berseru,
“Bagaimana bisa? Julaibib berwajah lecak, tidak bernasab, tidak berkabilah, tidak berpangkat, dan tidak berharta. Demi Allah tidak. Tidak akan pernah putri kita menikah dengan Julaibib.”
Perdebatan itu tidak berlangsung lama. Sang putri dari balik tirai berkata anggun,
“Siapa yang meminta?”
Sang ayah dan sang ibu menjelaskan:
“Apakah kalian hendak menolak permintaan Rasulullah saw? Demi Allah, kirim aku padanya. Dan demi Allah, karena Rasulullah saw yang meminta, maka tiada akan dia membawa kehancuran dan kerugian bagiku.”

Sang gadis yang shalehah lalu membaca ayat ini:
“Dan tidaklah patut bagi lelaki beriman dan perempuan beriman, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (QS. Al Ahzab :36)

Dan sang Nabi dengan tertunduk berdoa untuk sang gadis shalihah;
“Ya Allah, limpahkanlah kebaikan atasnya, dalam kelimpahan yang penuh barakah. Jangan Kau jadikan hidupnya payah dan bermasalah.”

Doa yang indah. Pelajaran dari Kisah Julaibib Kita belajar dari Julaibib untuk tidak meratapi diri sendiri, untuk tidak menyalahkan takdir, untuk selalu pasrah dan taat pada Allah dan RasulNya. Tidak mudah menjadi Julaibib. Hidup dalam pilihan-pilihan yang sangat terbatas. Memang pasti, ada batas-batas manusiawi yang terlalu tinggi untuk kita lampaui. Tapi jika kita telah taat kepada Allah, jangan khawatirkan itu lagi. Ia Maha Tahu batas-batas kemampuan diri kita. Ia tidakkan membebani kita melebihi yang kita sanggup memikulnya.
Urusan kita sebagai hamba memang taat kepada Allah. Lain tidak! Jika kita bertidakwa padaNya, Allah akan bukakan jalan keluar dari masalah-masalah yang di luar kuasa kita.
Urusan kita adalah taat kepada Allah. Maka benarlah doa sang Nabi. Maka Allah karuniakan jalan keluar baginya. Maka kebersamaan di dunia itu tidak ditakdirkan terlalu lama. Meski di dunia sang istri shalehah dan bertaqwa, tapi bidadari telah terlampau lama merindukannya.
Julaibib telah dihajatkan langit mesti tercibir di bumi. Ia lebih pantas menghuni surga daripada dunia yang bersikap tidak terlalu bersahabat padanya.

Saat syahid, Sang Nabi begitu kehilangan. Tapi ia akan mengajarkan sesuatu kepada para sahabatnya. Maka ia bertanya diakhir pertempuran.
“Apakah kalian kehilangan seseorang?”
“Tidak, ya Rasulallah!”
Serempak sekali. Sepertinya Julaibib memang tidak beda ada dan tiadanya di kalangan mereka.
“Apakah kalian kehilangan seseorang?”
Sang Nabi bertanya lagi. Kali ini wajahnya merah bersemu.
“Tidak, ya Rasulallah!”
Kali ini sebagian menjawab dengan was-was dan tidak seyakin tadi.
Beberapa menengok ke kanan dan ke kiri. Rasulullah saw menghela nafasnya.
“Tetapi aku kehilangan Julaibib”, kata beliau.
Para sahabat tersadar,
“Carilah Julaibib!”
Maka ditemukanlah dia, Julaibib yang mulia. Terbunuh dengan luka-luka, semua dari arah muka. Di sekitarnya tergolek tujuh jasad musuh yang telah ia bunuh. Sang Rasul, dengan tangannya sendiri mengafani Sang Syahid. Beliau saw menshalatkannya secara pribadi. Dan kalimat hari berbangkit.
“Ya Allah, dia adalah bagian dari diriku dan aku adalah bagian dari dirinya.”

Di jalan cinta para pejuang, biarkan cinta berhenti di titik ketaatan. Meloncati rasa suka dan tidak suka. Melampaui batas cinta dan benci. Karena hikmah sejati tidak selalu terungkap di awal pagi. Karena seringkali kebodohan merabunkan kesan sesaat. Tapi yakinlah, di jalan cinta para pejuang, Allah lebih tahu tentang kita. Dan Dialah yang akan menyutradarai pentas kepahlawanan para aktor ketaatan. Dan semua akan berakhir seindah surga. Surga yang telah dijanjikanNya.
“Apalah artinya rupa yang cantik dan kedudukan yang tinggi, tapi rumah tangga porak peranda. Suami curang terhadap isteri, manakala isterinya juga bermain kayu tiga di belakang suami. Apalah yang dibanggakan dengan harta kekayaan yang melimpah ruah tetapi hati tetap tidak senang malah selalu bimbang dan cemas kerana diburu orang ke mana pergi. Memadailah rezeki yang sedikit yang Allah kurniakan tetapi berkah. Memadailah dengan suami yang dijodohkan tiada rupa asalkan suami tersebut dapat memberi kebahagiaan di dunia dan lebih-lebih lagi Akihrat.” 

Sosok Umar Bin Khathab RA



Adakah yang tidak mengenal sosok umar bin Khattab ra?
Beliau termasuk dalam 10 orang yang dijamin masyuk Syurga.
Seorang yang keras dalam membela Islam, tidak pernah sebuah kemungkaran pun berlalu di depan matanya kecuali dengan tangannya sendiri ia akan menumpasnya.

Banyak sekali keutamaan seorang Umar bin Khattab ra.
Rasulullah saw pernah bersabda;
"Sekiranya Allah hendak mengangkat seorang Nabi sepeninggalku maka Umar lah orangnya"

Nabi saw juga pernah bersabda;
"Telah diletakkan Ahlak (kebenaran) di lisan dan di hati pada diri Umar bin Khattab ra"

Dilain waktu Rasulullah saw bersabda;
"Apabila Abu Bakar ra dan Umar bin Al-Khattab ra telah bersepakat dalam suatu urusan maka aku tidak akan menyelisihinya"

Sabda Rasulullah saw yang lain;
"Apabila Umar melewati sebuah gang atau jalan dan Syetan hendak melewati jalan yang sama maka syetan akan lari dan memilih jalan yang lain karena takut kepada Umar bin Khattab ra"

Para sahabat apabila melihat anak-anak mereka susah dinasehati atau bermain melampau batas waktu sering menakut-nakuti bahwa mereka akan memanggil Umar bin Khattab ra, untuk mengingatkan mereka.

Beliau mendapat julukan Al-Faruq yang artinya pembela antara Al-Haq dan Al-Bathil.
Tapi dibalik sifat kerasnya, jauh di lubuk hati Umar bin Khattab ra terdapat hati yang lembut, hati yang sangat tersentuh bila mendengar ayat-ayat Al-Qur'an dibacakan, mata yang sering menangis mengingat azab Allah. Mulut yang jauh dari masakan yang lezat. Tubuh yang jauh dari pakaian yang mahal. Meski ia seorang Khalifah tapi tidak hidup mewah dan tidak mempunyai pengawal. Baginya Allah adalah tempat meminta, memohon dan bersandar atas semua problem yang menimpanya.

Dalam sebuah riwayat dari al-Hasan disebutkan bahwa Umar bin Al-Khattab ra apabila membaca ayat-ayat Al-Qur'an tentang siksa api neraka atau tentang kematian, ia sangat takut. Lalu menangis tersedu-sedu sehingga tubuhnya jatuh ke tanah. Setelah itu, ia tidak keluar rumah selama satu atau dua hari, sehingga orang-orang menyangka bahwa ia sedang sakit.

Abdurrahman bin Syadad berkata;
"Aku mendengar tangisan Umar bin Al-Khattab ra yang tersedu-sedu, padahal saat aku itu berada di barisan yang paling akhir ketika shalat subuh. Ia saat itu membaca surah Yusuf"

Al-Qamah bin Waqash al-Laitsri ra juga berkata;
"Aku pernah shalat di belakang Umar bin Khattab ra. Lalu ia membaca ayat yang menerangkan Nabi Yusuf, ia menangis tersedu-sedu sehingga suara tangisannya itu terdengar dengan jelas, padahal aku saat itu berada di barisan paling belakang"

Suatu hari Umar bin Khattab mendengar orang yang sedang Shalat tahajud membaca surah al-Thur, ketika orang tersebut membaca ayat;
"Sesungguhnya azab Tuhanmu pasti terjadi, tidak seorang pun dapat menolaknya" (Al-Thur: 7-8)
Umar berkata;
"Itu adalah sumpah Allah yang pasti benar"
Mendengar hal itu, ia bergegas menuju rumahnya, dan ia sakit selama satu bulan sehingga orang-orang menjenguknya.

Semoga Allah memberi Taufik untuk mencintai Umar bin Khattab ra.
Semoga Allah memberi kita taufiq untuk meneladani Umar bin Khattab.

Rasulullah saw bersabda;
"Sesungguhnya seseorang akan di bangkitkan dihari kemudian bersama orang-orang yang ia cintai"

Kerabat, Kekayaan Dan Amal Perbuatan



Kata Kumail, "Saya bersama-sama Ali telah berjalan ke arah padang pasir pada suatu hari. Dia telah mendekati tanah perkuburan yang terdapat di situ sambil berkata,
"Ya ahli-ahli kubur! Wahai kamu yang telah menghuni di tempat sunyi ini! Bagaimanakah keadaan kamu di dunia sana? Setahu kami segala harta peninggalan kamu telah habis dibahagi-bahagikan, anak-anak kamu telah menjadi yatim dan janda-janda yang kamu tinggalkan telah nikah lagi.
Sekarang ceritakan sedikit perihal diri kamu."

Kemudian sambil menoleh kepada saya, dia berkata,
"Ya Kumail! Jika mereka bisa berbicara tentu saja mereka akan mengatakan persediaan terbaik adalah taqwa." Air mata mengalir dari kedua matanya. Katanya lagi,
"Ya Kumail, kuburan adalah tempat menyimpan segala perbuatan manusia. Tapi kenyataan ini baru kita sadari setelah memasukinya."

Menurut sebuah hadits tiap-tiap manusia akan menemui perbuatan-perbuatannya yang baik. 
Perbuatan-perbuatan baiknya itu akan berupa seorang manusia yang akan menjadi sahabat dan penawar hatinya. Sebaliknya kejahatan-kejahatannya akan berupa seekor binatang yang jelek yang mengeluarkan bau yang busuk dan yang menambahkan kesengsaraannya.
Nabi saw telah bersabda dalam sebuah hadits,
"Hanya tiga benda saja yang mengikuti seseorang ke kuburnya; harta-bendanya, kaum kerabatnya dan amal perbuatannya. Harta benda dan kerabatnya akan kembali setelah pemakamannya. Yang tinggal bersama-samanya hanyalah amalannya saja."

Pada suatu hari Nabi saw telah bertanya kepada para sahabatnya,
"Tahukah kamu tentang hubunganmu dengan kerabatmu, kekayaan dan amal perbuatanmu?" 
Sahabat-sahabat semua ingin mendengar penjelasan baginda. Nabi pun bersabda,
"Hubungan itu bisa diibaratkan dengan hubungan seorang dengan tiga orang saudaranya. ketika seseorang akan menunggal dia memanggil salah seorang dari saudaranya tadi lalu berkata, "Saudara, engkau tahu keadaan aku bukan? Apa pertolongan yang dapat engkau berikan?" Saudaranya menjawab, "Aku akan memanggil dokter untuk merawat kamu dan aku akan menjaga kamu. Kalau engkau meninggal, aku akan mandikan kamu, mengkafankan kamu serta mengusung jenazahmu ke perkuburan. Kemudian aku akan mendoakan kamu. Saudaranya ini ialah kerabatnya. pertanyaan yang sama diajuka kepada saudaranya yang kedua. Jawabnnya, "Aku akan berada bersamu selagi engkau masih bernyawa. setelah engkau meninggal, aku akan pergi ke orang lain." Saudaranya yang kedua ini ialah harta kekayaannya. Ketika pertanyaan itu diajukan kepada saudaranya yang ketiga, dia menjawab, "Aku tidak akan meninggalkan kamu walaupun di dalam kubur. Aku akan bersama-sama kamu ke tempat itu.
Ketika amal perbuatanmu dipertimbangkan, aku akan memberatkan perbuatanmu yang baik. Saudara yang terakhir ini ialah perbuatan yang telah dilakukan. Sekarang yang mana yang menjadi pilihanmu?"
Jawab para sahabat,
"Ya Rasulullah, tidak ada keraguan lagi saudara yang terakhir yang paling berguna untuk dirinya."

Minum Arak Puncak Segala Kejahatan



Dosa manakah, minum minuman yang memabukkan, berzina atau membunuh?. Itulah teka-teki sebagai inti khutbah Khalifah Ustman bin Affan r.a. seperti yang diriwayatkan oleh Az-Zuhriy, dalam khutbah Ustman itu mengingatkan umat agar berhati-hati terhadap minuman khamr atau arak. Sebab minuman yang memabukkan itu sebagai pangkal perbuatan keji dan sumber segala dosa. 

Dulu hidup seorang ahli ibadah yang selalu tekun beribadah ke masjid, lanjut khutbah Khalifah Ustman. Suatu hari lelaki yang soleh itu berkenalan dengan seorang wanita cantik. 

Kerana sudah terjatuh hati, lelaki itu menurut saja ketika disuruh memilih antara tiga permintaannya, tentang kemaksiatan. Pertama minum khamr, kedua berzina dan ketiga membunuh bayi. Mengira minum arak dosanya lebih kecil daripada dua pilihan lain yang diajukan wanita pujaan itu, lelaki soleh itu lalu memilih minum khamr. 
Tetapi apa yang terjadi, dengan minum arak yang memabukkan itu malah dia melanggar dua kejahatan yang lain. Dalam keadaan mabuk dan lupa diri, lelaki itu menzinai pelacur itu dan membunuh bayi di sisinya. 

Kerana itulah hindarilah khamr, kerana minuman itu sebagai biang keladi segala kejahatan dan perbuatan dosa. Ingatlah, iman dengan arak tidak mungkin bersatu dalam tubuh manusia. Salah satu di antaranya harus keluar. Orang yang mabuk mulutnya akan mengeluarkan kata-kata kufur, dan jika menjadi kebiasaan sampai akhir ayatnya, ia akan kekal di neraka."

Mencintai Syahid



Rasa rindu sudah tidak tertahan di lubuk hatinya. Berada di samping orang yang paling mulia di muka bumi ini adalah impiannya selama minggu-minggu terahir.
Maka ia pun membulatkan tegad untuk menyusul kekasihnya di tanah harapan, Darul hijah Madinah Al-Munawarah.

Adalah Wahab bin Qabus ra, ia sudah memeluk Islam sejak awal. Beliau memiliki banyak ternak kambing. Ketika dalam perjalanan menuju Madinah beliau mendengar Rasulullah saw dan sahabat sedang berjihad di medan peperangan Uhud.

Didapatinya medan Uhud yang begitu panas terik, ringkikan kuda menambah pikuk suasana. Unta-unta berlarian di hela penunggangnya, kilatan pedang menambah silau panas siang itu.
Nampak oleh Wahab bin Qabus ra Rasulullah saw sedang dikepung oleh musuh Allah, jumlahnya terlalu banyak dan Rasulullah saw menghadapi seorang diri karena sahabat-sahabat yang lain juga dalam kondisi yang sulit.
Dengan lantang dan penuh semangat Rasulullah saw bersabda;
"Barang siapa di antara kamu sekalian yang dapat menceraikan musuh ini, dia akan menjadi temanku ketika di Syurga kelak"

Wahab bin Qabus ra menyambut seruan itu dengan memacu kudanya kencang-kencang. Kini pedang terhunus telah ia siapkan menyambut musuh-musuh yang mengepung Rasulullah saw. Dia berhasil membubarkan mereka. Tapi gelombang pasukan kedua dan ketiga dari pihak musuh makin menjadi-jadi dan mereka berhasil merobohkan Wahab bin Qabus ra dari keduanya. Sahabat yang mulia ini telah menjemput syahidnya.

Peperangan telah usai, kini waktunya mengumpulkan jenazah para sahabat.
Sahabta Nabi saw Saad bin Wahab ra ketika melihat jenazah Wahab bin Qabus berkata;
"Aku sekali-kali tidak pernah melihat pejuang Islam yang benar-benar berjuang dengan beraninya tanpa sedikit pun tersingkap kegentaran di hatinya seperti Wahab ra. Aku melihat Rasulullah saw terpaku berdiri disisi mayatnya lalu bersabda; "Wahab! Wahab! Sesungguhnya kamu telah menyenangi hatiku. Semoga Allh akan memberi kemenangan terhadapmu"

Inilah bukti rasa cinta yang sebenarnya. Cinta yang tidak hanya terucap oleh lisan, tapi juga oleh amal nyata.
Wahab bin Qabus ra memberi kita teladan bagaimana menyenangkan hati Rasulullah saw.


Seorang penyair berkata;

Lelah dan letih aku menapaki jalan.
Aku tetap melangkah menuju yang kukasihi.....
Tak peduli gunung dan lautan membentang, mereka tak akan menghalangiku menuju Ridho Illahi

Abdurrahman Bin Auf RA Tak Ingin Masuk Syurga Dengan Merangkak



Pada suatu hari, saat kota Madinah sunyi senyap, debu yang sangat tebal mulai mendekat dari berbagai penjuru kota hingga nyaris menutupi ufuk. Debu kekuning-kuningan itu mulai mendekati pintu-pintu kota Madinah. Orang-orang menyangka itu badai, tetapi setelah itu mereka tahu bahwa itu adalah kafilah dagang yang sangat besar. Jumlahnya 700 unta penuh muatan yang memadati jalanan Madinah. Orang-orang segera keluar untuk melihat pemandangan yang menakjubkan itu, dan mereka bergembira dengan apa yang dibawa oleh kafilah itu berupa kebaikan dan rizki.

Ketika Ummul Mukminin Aisyah RHA mendengar suara gaduh kafilah, maka dia bertanya,
"Apa yang sedang terjadi di Madinah?"
Ada yang menjawab,
"Ini kafilah milik Abdurrahman bin Auf RA yang baru datang dari Syam membawa barang dagangan miliknya."
Aisyah bertanya,
"Kafilah membuat kegaduhan seperti ini?"
Mereka menjawab,
"Ya, wahai Ummul Mukminin, kafilah ini berjumlah 700 unta."
Ummul Mukminin menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian berkata,
"Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'Aku bermimpi melihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak'." (al-Kanz, no. 33500)

Renungkanlah, wahai orang-orang yang punya akal pikiran; Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak!
Sebagian sahabatnya menyampaikan berita ini kepadanya. Ia teringat bahwa ia pernah mendengar hadits ini dari Nabi SAW lebih dari sekali, dan dengan lafazh yang berbeda-beda. Ia pun melangkahkan kakinya menuju rumah Ummul Mukminin Aisyah RHA dan berkata kepadanya,
"Sungguh engkau telah menyebutkan suatu hadits yang tidak akan pernah aku lupa-kan."
Kemudian ia berkata,
"Aku bersaksi bahwa kafilah ini berikut muatan dan pelananya, aku infakkan di jalan Allah SWT."
Muatan 700 unta itu pun dibagi-bagikan kepada penduduk Madinah dan sekitarnya dalam "pesta besar". Itulah Abdurrahman bin Auf, seorang pedagang sukses, orang kaya raya, mukmin yang mahir... yang menolak bila kekayaannya itu menjauhkannya dari kafilah iman dan pahala surga. Bagaimana tidak? Sedangkan ia adalah salah seorang dari delapan orang yang telah lebih dahulu masuk Islam, dan termasuk salah seorang yang diberi kabar gembira dengan surga.
Ia adalah salah seorang dari enam anggota musyawarah yang ditunjuk oleh al-Faruq Umar RA untuk memilih khalifah di antara mereka sepeninggalnya seraya berkata,
"Rasulullah SAW wafat dalam keadaan ridha kepada mereka."
Ia berhijrah ke Habasyah, kemudian kembali ke Makkah. Kemudian berhijrah ke Habasyah untuk kedua kalinya. Kemudian berhijrah ke Madinah, dan mengikuti perang Badar, Uhud dan semua peperangan.

Ketika Rasulullah SAW mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar, beliau mempersaudarakan antara Abdurrahman bin Auf dengan Sa'd bin ar-Rabi' RA. Mengenai hal itu, Anas bin Malik RA menuturkan, "Sa'd berkata kepada Abdurrahman, 'Wahai saudaraku, aku adalah penduduk Madinah yang paling banyak hartanya, lihatlah separuh hartaku lalu ambillah. Aku punya dua istri, lihatlah mana di antara keduanya yang paling engkau kagumi, maka aku akan menceraikannya untuk engkau nikahi.' Abdurrahman bin Auf menjawab, 'Semoga Allah memberkahimu berkenaan dengan keluargamu dan hartamu... Tunjukkanlah padaku letak pasar.' Lalu ia pergi ke pasar, lalu membeli dan menjual serta mendapatkan keuntungan."
Perdagangannya sukses lagi diberkahi, dia mencari yang halal dan menjauhi yang haram serta syubhat. Dalam perdagangannya terdapat bagian yang sempurna untuk Allah, yang disampaikan untuk keluarga dan saudara-saudaranya, serta untuk menyiapkan pasukan kaum muslimin.

Ia pernah mendengar Rasulullah a bersabda kepadanya pada suatu hari,

يَۧ ْۧۚنَ Űčَوْفٍ، Ű„ِنَّكَ مِنَ ْۧÙ„ŰŁَŰșْنِيَۧۥِ، وَŰ„ِنَّكَ ŰłَŰȘَŰŻْŰźُلُ Ű§Ù„ْŰŹَنَّŰ©َ Ű­َŰšْوًۧ، فَŰŁَقْ۱ِ۶ِ Ű§Ù„Ù„Ù‡َ يُŰ·ْلِقْ لَكَ قَŰŻَمَيْكَ

"Wahai Ibnu Auf, sesungguhnya kamu termasuk kaum yang kaya raya, dan kamu akan masuk surga dengan merangkak. Oleh karena itu, pinjamkanlah suatu pinjaman kepada Allah sehingga Allah membebaskan kedua telapak kakimu." (HR. al-Hakim, 3/ 311 dan al-Hilyah, 1/ 99).

Sejak saat itu, ia memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, sehingga Allah melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Suatu hari ia menjual tanah seharga 40.000 dinar, kemudian membagikan semuanya untuk keluarganya yaitu Bani Zahrah, untuk Ummahatul Mukminin, dan kaum fakir dari kalangan kaum muslimin.

Suatu hari ia memberikan untuk pasukan kaum muslimin se-banyak 500 kuda. Pada hari yang lain, ia memberikan sebanyak 1500 unta.

Ketika meninggal, ia mewasiatkan sebanyak 50.000 dinar di jalan Allah. Ia mewasiatkan untuk masing-masing orang yang masih hidup dari peserta perang Badar mendapat-kan 400 dinar di jalan Allah. Sampai-sampai Imam Syahid Utsman bin Affan RA mengambil bagiannya dari wasiat tersebut seraya berkata,
"Harta Abdurrahman adalah halal dan bersih, dan menikmati harta tersebut menjadi kesembuhan dan keberkahan."
Karena itu dia berkata,
"Penduduk Madinah semuanya adalah sekutu Ibnu Auf berkenaan dengan hartanya... karena sepertiganya ia pinjamkan kepada mereka, sepertiganya untuk membayarkan hutang mereka, dan sepertiganya lagi ia sampai-kan dan berikan kepada mereka."

Sekarang... mari kita lihat air mata orang shalih ini yang menjadikannya sebagai golongan orang-orang yang shalih, zuhud, dan jauh dari dunia berikut segala isinya.

Suatu hari ia dibawakan makanan untuk berbuka, karena ia berpuasa. Ketika kedua matanya melihat makanan itu dan mengundang seleranya, ia menangis seraya berkata,
"Mush'ab bin Umair gugur syahid dan ia lebih baik daripada aku, lalu ia dikafani dengan selimut. Jika kepalanya ditutupi, maka kedua kakinya kelihatan dan jika kedua kakinya ditutupi, maka kepalanya kelihatan. Hamzah gugur sebagai syahid dan ia lebih baik daripada aku. Ia tidak mendapatkan kain untuk mengkafaninya selain selimut. Kemudian dunia dibentangkan kepada kami, dan dunia diberikan kepada kami sedemikian rupa. Aku khawatir bila pahala kami telah disegerakan kepada kami di dunia."

Pada suatu hari sebagian sahabatnya berkumpul untuk me-nyantap makanan di kediamannya. Ketika makanan dihidangkan di hadapan mereka, maka ia menangis. Mereka bertanya,
"Apa yang membuatmu menangis, wahai Abu Muhammad?"
Ia menjawab,
"Rasulullah SAW telah meninggal dalam keadaan beliau berikut ahli baitnya belum pernah kenyang makan roti gandum... Aku tidak melihat kita diakhirkan, karena suatu yang lebih baik bagi kita."

Demikianlah Abdurrahman bin Auf, sampai-sampai dikatakan tentang dia, seandainya orang asing yang tidak mengenalnya melihatnya sedang duduk bersama para pelayannya, maka ia tidak bisa membedakan di antara mereka.

Ketika al-Faruq Umar bin al-Khaththab RA akan melepas nyawanya yang suci, dan memilih enam orang dari sahabat Rasulullah SAW untuk memilih khalifah baru, di antara mereka ialah Abdurrahman bin Auf, maka pada saat itu banyak jari yang menunjuk ke arah Ibnu Auf.
Ketika sebagian sahabat mendukungnya berkenaan dengan hal itu, maka ia berkata,
"Demi Allah, mata anak panah diambil lalu diletakkan di kerongkonganku, kemudian diteruskan ke sisi lainnya, lebih aku sukai daripada menjadi khalifah."

Setelah itu, ia memberitahukan kepada kelima saudaranya bahwa dirinya mundur dari pencalonan. Tetapi mereka berpendapat agar dialah yang menjadi hakim dalam memilih khalifah. Dialah orang yang dinilai oleh Imam Ali bin Abi Thalib RA,
"Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW menyifatimu sebagai orang kepercayaan di penduduk langit dan orang kepercayaan di penduduk bumi."
Di sinilah terjadi pemilihan yang benar. Ia memilih Dzun Nurain, seorang yang dermawan dan pemalu, penggali sumur untuk kaum muslimin, orang yang menyiapkan pasukan penak-lukan Makkah, Imam Syahid Utsman bin Affan RA. 
Akhirnya, yang lainnya mengikuti pilihannya.

Pada tahun 32 H., Ibnu Auf menghembuskan nafas terakhirnya. Ummul mukminin Aisyah RHA ingin memberikan penghargaan khusus kepadanya yang tidak pernah diberikannya kepada selainnya. Aisyah menawarkan kepadanya, pada saat Ibnu Auf berbaring di atas ranjang kematiannya, untuk dikuburkan di kamarnya di sisi Rasul SAW, Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin al-Khaththab RA. Tetapi ia seorang muslim yang terdidik dengan sangat baik oleh keislamannya, sehingga ia merasa malu mengangkat dirinya kepada derajat seperti ini. Apalagi ia punya perjanjian yang sangat kuat bersama Utsman bin Mazh'un RA, ketika keduanya mengadakan perjanjian pada suatu hari, bahwa siapa di antara keduanya yang mati belakangan, maka ia dikuburkan di dekat sahabatnya.
Ketika ruhnya siap untuk melakukan perjalanan baru, maka kedua matanya mengalirkan air mata, dan lisannya berucap,
"Sesungguhnya aku takut tertahan untuk berjumpa sahabat-sahabatku karena banyaknya harta yang aku miliki."
Tetapi Allah SWT menurunkan ketentramanNya, dan wajahnya berbinar-binar dengan cahaya. Seolah-olah ia mendengar sesuatu yang menyejukkan yang dekat dengannya. Sepertinya ia mendengar suara sabda Rasul SAW di masa lalu,
"Abdurrahman bin Auf masuk surga."
Sepertinya ia mendengar janji Allah dalam Kitab SuciNya,
"Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (Al-Baqarah: 262).


CATATAN KAKI:
* Abdurrahman bin Auf az-Zuhri al-Qurasyi, salah seorang dari sepuluh orang yang diberi kabar gembira dengan surga, salah seorang yang lebih dulu masuk Islam. Meninggal pada tahun 32 H. Lihat, al-A'lam, 3/ 321.

Al-Barra Bin Malik Semangat Dalam Berjihad



Beliau adalah saudara Anas bin Malik, namanya Al-Barra’ bin Malik. Beliau adalah salah seorang sahabat Rasulullah SAW yang juga pahlawan perang
Walau bertubuh kerempeng dan berkulit legam, namun ia mampu menewaskan ratusan orang musyrik dalam perang tanding satu lawan satu.
Dalam Perang Yamamah, perang melawan pasukan Musailamah Al-Kadzdzab pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash- Shiddiq, Al-Barra’ bin Malik menunjukkan kepahlawanannya. Ketika panglima perang Khalid bin Walid melihat pertempuran kian berkobar, ia berpaling kepada Al-Barra’ seraya berseru,
“Wahai Al-Barra’, kerahkan kaum Anshar!” Saat itu juga Al-Barra’ berteriak memanggil kaumnya.
“Wahai kaum Anshar, kalian jangan berpikir kembali ke Madinah! Tidak ada lagi Madinah setelah hari ini. Ingatlah Allah, ingatlah surga!”
Setelah berkata demikian, dia maju mendesak kaum musyrikin, diikuti prajurit Anshar. Pedangnya berkelebat, menebas musuh-musuh Allah yang datang mendekat.

Melihat prajuritnya berguguran, Musailamah dan kawan-kawannya kecut dan gentar. Mereka lari tunggang-langgang dan berlindung di sebuah benteng yang terkenal dalam sejarah dengan nama Kebun Maut.
Kebun Maut adalah benteng terakhir bagi Musailamah dan pasukannya. Pagarnya tinggi dan kokoh. Sang pendusta dan pengikutnya mengunci gerbang benteng rapat-rapat dari dalam. Dari puncak benteng, mereka menghujani kaum Muslimin yang mencoba masuk dengan panah.

Menghadapi keadaan yang demikian, kaum Muslimin sempat kebingungan. Dalam benak Al- Barra’ muncul ide. Ia pun berteriak,
“Angkat tubuhku dengan galah dan lindungi dengan perisai dari panah-panah musuh. Lalu lemparkan aku ke dalam benteng musuh. Biarkan aku syahid untuk membukakan pintu, agar kalian bisa menerobos masuk.”

Dalam sekejap, tubuh kerempeng Al-Barra’ telah dilemparkan ke dalam benteng. Begitu mendarat di benteng bagian dalam, ia langsung membuka pintu gerbang. Dan kaum Muslimin pun membanjir menerobos masuk.
Pedang mereka berkelebat menyambar tubuh dan kepala musuh. Lebih dari 20.000 orang murtad tewas, termasuk pimpinan mereka; Musailamah Al-Kadzdzab.

Keberanian Saad Bin Abu Waqqash RA



Ibnu Asakir telah mengeluarkan dari Az-Zuhri dia telah berkata: Pada suatu hari Rasulullah SAW telah mengutus Sa'ad bin Abu Waqqash ra untuk memimpin suatu pasukan ke suatu tempat di negeri bagian Hijaz yang dikenal dengan nama Rabigh. Mereka telah diserang dari belakang oleh kaum Musyrikin, maka Sa'ad bin Abu Waqqash ra mengeluarkan panah-panahnya serta memanah mereka dengan panah-panah itu.
Dengan itu, maka Sa'ad bin Abu Waqqash ra. menjadi orang pertama yang memanah di dalam Islam, dan peristiwa itu pula menjadi perang yang pertama terjadi di dalam Islam. (Al-Muntakhab 5:72)

Ibnu Asakir mengutip dari Ibnu Syihab, dia berkata: Pada hari pertempuran di Uhud Sa'ad bin Abu Waqqash ra telah membunuh tiga orang Musyrikin dengan sebatang anak panah. 
Dipanahnya seorang, lalu diambilnya lagi panah itu, kemudian dipanahnya orang yang kedua dan seterusnya orang yang ketiga dengan panah yang sama.
Banyak para sahabat merasa heran tentang keberanian Sa'ad itu. Maka Sa'ad berkata: "Nabi SAW yang telah memberiku keberanian itu, sehingga aku menjadi begitu berani sekali." (Al-Muntakhab 5:72)

Bazzar telah mengeluarkan dari Abdullah bin Mas'ud ra dia berkata:
"Pada hari pertempuran di Badar, Sa'ad bin Abu Waqqash ra. telah menyerang musuh dengan berkuda dan dengan berjalan kaki." (Majma'uz Zawa'id 6:82)

Orang Yang paling Berani



Al Bazzar meriwayatkan dalam kitab Masnadnya dari Muhammad bin Aqil katanya,
"Pada suatu hari Ali bin Abi Talib pernah berkhutbah di hadapan kaum Muslimin dan beliau berkata,
"Hai kaum Muslimin, siapakah orang yang paling berani ?"
Jawab mereka,
"Orang yang paling berani adalah engkau sendiri, hai Amirul Mukminin."
Kata Ali,
"Orang yang paling berani bukan aku tapi adalah Abu Bakar. Ketika kami membuatkan Nabi gubuk di medan Badar, kami tanyakan siapakah yang berani menemani Rasulullah s.a.w dalam gubuk itu dan menjaganya dari serangan kaum Musyrik ? Di saat itu tiada seorang pun yang bersedia melainkan Abu Bakar sendiri. Dan beliau menghunus pedangnya di hadapan Nabi untuk membunuh siapa saja yang mendekati gubuk Nabi s.a.w Itulah orang yang paling berani."

"Pada suatu hari juga pernah aku menyaksikan ketika Nabi sedang berjalan kaki di kota Mekah, datanglah orang Musyrik mengusir beliau dan menyakiti beliau dan mereka berkata,
"Apakah kamu menjadikan beberapa tuhan menjadi satu tuhan?"
Di saat itu tidak ada seorang pun yang berani mendekat dan membela Nabi selain Abu Bakar. Beliau maju ke depan dan memukul mereka sambil berkata,
"Apakah kamu hendak membunuh orang yang bertuhankan Allah?"

Kemudian sambil mengangkat kain selendangnya beliau mengusap air matanya. Kemudian Ali berkata,
"Adakah orang yang beriman dari kaum Firaun yang lebih baik daripada Abu Bakar?"
Semua jamaah diam saja tidak ada yang menjawab.
Jawab Ali selanjutnya,
"Sesaat dengan Abu Bakar lebih baik daripada orang yang beriman dari kaum Firaun walaupun mereka sepuluh dunia, kerana orang beriman dari kaum Firaun hanya menyembunyikan imannya sedang Abu Bakar menyiarkan imannya."

Pendakwah Yang Tak Gentar



Kekalahan kaum muslimin dalam perang Uhud menyebabkan kemarahan kaum Badui di sekitar Madinah mengejek dan memanfaatkan pembalasan lama yang selama ini tersembunyi.
Namun tanpa kecurigaan sedikitpun, Rasulullah menyambut baik kedatangan sekelompok pedagang Arab yang mengutarakan keinginan sukunya untuk mendengar dan memeluk Islam. Untuk itu, mereka meminta juru da'wah dikirim ke kampung suku itu.
Rasulullah saw menyetujui. Enam orang sahabat saleh diutus untuk melaksanakan tugas tersebut. Mereka berangkat dengan para pedagang Arab.

Di desa Ar-Raji, wilayah suku Huzail, para pedagang tiba-tiba melakukan pengepungan enam sahabat Nabi saw, sambil meminta bantuan Huzail. Keenam juru da'wah itu dengan cepat mengambil senjata mereka dan siap bertempur, setelah menyadari bahwa mereka sedang di jebak.
Para pedagang licik berteriak,
"Sabarlah saudara-saudara. Kami tidak bermaksud membunuh atau menganiaya kalian. Kami hanya ingin menangkap kalian agar kami dapat menjual kalian ke Makkah sebagai budak.

Keenam sahabat Rasulullah saw tahu nasib mereka lebih buruk lagi. dari pada terbunuh dalam pertempuran. Karena mereka langsung takbir sembari menyerang dengan lincah.
Terjadilah pertarungan seru antara enam penda'wah yang tulus dan orang-orang ganas yang jumlahnya jauh lebih besar.

Pedang mereka ternyata cukup tajam. Beberapa orang lawan telah menjadi korban. Akhirnya tiga sahabat tertusuk musuh dan langsung gugur.
Seorang lagi dilempari batu beramai-ramai hingga tewas

Dua sisanya adalah Zaid bin Addutsunah dan Khusaib bin Adi.

Apalah daya dua orang pejuang, betapa pun lincahnya perlawanan merek, menghadapi begitu banyak musuh yang tangguh ? Selang beberapa saat sesudah jatuhnya empat sahabat tadi, kedua orang itu dapat dilumpuhkan dan belenggu.

Kemudian mereka dibawa ke pasar budak di Makkah.
Zaid dibeli oleh Shafwan bin Umayyah. Ayah Shafwan, Umayyah bin Khalaf, adalah majikan dari Bilal dan Amir bin Fuhairah. Umayyah terkenal sangat kejam terhadap budak mereka. Bilal pernah disalibkan di atas pasir dan dijemur di tengah matahari dengan tubuhnya ditindihi batu.
Untung Bilal ditebus oleh Saiyidina Abu Bakar Assidiq dan dimerdekakan.
Orang Habsyi ini kemudian terkenal sebagai sahabat dekat Rasulullah saw dan diangkat sebagai Muazin, tukang azan.
Dalam pertempuran Badar, Umayyah bin Khalaf berhadapan langsung dengan bekas budaknya. Dan Bilal berhasil membunuhnya dalam pertempuran sengit satu lawan satu.

Adapun Khubaib ibn Adi diambil oleh Uqbah ibn Al-Harits dengan tujuan yang sama dengan niat Shafwan untuk membeli Zaid ibn Abdutsunah. Itu untuk membalas kebencian mereka terhadap Muslim.
Maka oleh orang Quraisy, Zaid diseret ke Tan'im, salah satu tempat miqat umrah. Disitulah Zaid akan dipenggal, melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukannya, yaitu pembunuhan Umayyah bin Khalaf, ayah Shafwan.

Sebelum algojo menebas parangnya, pemimpin musyrik Abu Sufyan bertanya dengan garang,
"Zaid bajingan, apakah kamu akan senang jika Muhammad ada di tempatmu, sementara kamu hidup damai dengan keluarga di rumah?"
"Jangan seperti itu," protes Zaid lantang.
"Bahkan dalam situasi seperti ini, saya tidak ingin Rasulullah tertusuk duri kecil di rumahnya."
Abu Sufyan menjadi marah.
"Bereskan!" teriaknya kepada algojo.
Dalam sekejap mata, parang berkilau di tengah terik matahari dan darah segar menyembur keluar. Zaid bin Abdutsunah jatuh setelah kepalanya dipenggal, menambah jumlah penghuni surga dengan syuhada lagi.
Di hati Abu Sufyan dan kaum Quraisy lainnya ada keheranan atas kesetiaan para sahabat kepada Muhammad. Abu Sufyan berkata dengan heran,
"Aku tidak pernah menemukan orang yang begitu dicintai oleh sahabat seperti Muhammad."

Setelah pemenggalan Zaid, kelompok lain datang dan menyeret Khubaib bin Adi. Sesuai dengan hukum yang berlaku di seluruh Arab, pelanggar qisas yang dijatuhi hukuman mati diberi hak untuk mengajukan permintaan terakhir. Begitu pula Khubaib.
Khatib yang pandai ini meminta izin shalat sunnah dua rakaat. permintaan itu dikabulkan.
Dengan rasa hormat dan ketenangan, seolah-olah dalam suasana damai tanpa ancaman kematian, Khubaib melaksanakan ibadahnya sampai akhir.

Setelah salam dan mengangkat kedua tangan, dia berkata,
"Demi Allah. Jika bukan karena dikira saya takut menghadapi kematian, maka shalatku akan aku lakukan lebih panjang."

Khubaib disalibkan terlebih dahulu dan kemudian dieksekusi seperti yang dilakukan pada Zaid bin Abdutsunah.
Jasadnya telah lebur seperti jenazah kelima temannya yang lain. Namun semangat dakwah mereka yang dilandasi keikhlasan menyebarkan ajaran kebenaran tidak akan pernah hilang dari muka bumi. Semangat terus bergema sehingga semakin banyak pendakwah yang dengan kekuatan mereka sendiri, dengan biaya pribadi, menyusup masuk dan keluar dari pedalaman berbatu atau berhutan untuk menyampaikan firman Allah kepada keselamatan.

Kesabaran Seorang Perempuan Yang Kerasukan



Ata' bin Abi rabah berkata, Ibnu Abbas r.a telah bertanya kepadanya,
"Mahukah aku tunjukkan kepada engkau seorang perempuan ahli syurga?" 

Jawab Ata;
"Siapakah perempuan itu?" 

Ibnu Abbas berkata;
"Perempuan hitam itu telah menemui Rasulullah saw mengadu ia telah dirasuk. 
Sabda Rasulullah saw kepada perempuan itu,
"Jika engkau tahan dan sanggup bersabar maka syurga bagimu, sekiranya engkau tidak tahan dan tidak sanggup bersabar aku akan doakan engkau supaya engkau pulih segar." 

Jawab perempuan itu,
"Aku tahan dan sanggup bersabar (maka baginya syurga)"

Demikian tercatat dalam kitab sahih Bukhari dan Muslim. Dari sini dapatlah kita dapat keterangan, bahwa penyakit sarak atau rasukan bukanlah ia sesuatu yang baru tetapi telah diketahui sejak zaman berzaman dan zaman Nabi dan sahabat.

Nasehat Rasulullah SAW



Sabda Rasulullah SAW kepada Mu'adz,
"Wahai Mu'adz, apabila di dalam amal perbuatanmu itu ada kekurangan;
Jagalah lisanmu supaya tidak terjatuh di dalam ghibah terhadap saudaramu/muslimin.
Bacalah Al-Qur'an.
tanggunglah dosamu sendiri untukmu dan jangan engkau tanggungkan dosamu kepada orang lain.
Jangan engkau mensucikan dirimu dengan mencela orang lain.
Jangan engkau tinggikan dirimu sendiri di atas mereka.
Jangan engkau masukkan amal perbuatan dunia ke dalam amal perbuatan akhirat.
Jangan engkau menyombongkan diri pada kedudukanmu supaya orang takut kepada perangaimu yang tidak baik.
Jangan engkau membisikkan sesuatu sedang dekatmu ada orang lain.
Jangan engkau merasa tinggi dan mulia daripada orang lain.
Jangan engkau sakitkan hati orang dengan ucapan-ucapanmu.
Nescaya di akhirat nanti, kamu akan dirobek-robek oleh anjing neraka.

Firman Allah SWT yang artinya;
"Demi (bintang-bintang) yang berpindah dari satu buruj kepada buruj yang lain."

Sabda Rasulullah S.A.W., "Dia adalah anjing-anjing di dalam neraka yang akan merobek-robek daging orang (menyakiti hati) dengan lisannya, dan anjing itupun merobek serta menggigit tulangnya."

Kata Mu'adz,
" Ya Rasulullah, siapakah yang dapat bertahan terhadap keadaan seperti itu, dan siapa yang dapat terselamat daripadanya?"

Sabda Rasulullah SAW, "Sesungguhnya hal itu mudah lagi ringan bagi orang yang telah dimudahkan serta diringankan oleh Allah SWT."

Hikmah Meninggalka Bohong



Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Luqman Hakim diceritakan bahwa pada suatu hari seseorang datang menemui Rasulullah SAW karena mereka ingin memeluk Islam.
Setelah mengucapkan dua kata syahadat, pria tersebut kemudian berkata:
"Ya Rasulullah. Padahal, hamba ini selalu berbuat dosa dan berusaha meninggalkannya."
Rasulullah menjawab:
"Apakah Anda ingin berjanji bahwa Anda dapat meninggalkan kebohongan?"
"Ya, saya janji" jawab pria itu singkat.

Setelah itu, dia kembali ke rumahnya.
Menurut riwayat, sebelum pria itu masuk Islam, dia sangat terkenal sebagai orang yang jahat. Hobinya hanya mencuri, berjudi dan minum alkohol.

Setelah dia memeluk Islam, dia melakukan segala upaya untuk meninggalkan semua kejahatan. Itulah mengapa dia meminta nasihat dari Rasulullah SAW.

Dalam perjalanan pulang dari pertemuan dengan Nabi SAW. Pria itu berkata dalam hatinya:
"Sulit juga bagiku untuk meninggalkan apa yang diinginkan Rasulullah."

Setiap kali hatinya terdorong untuk melakukan kejahatan, hati kecilnya terus mengejek.
“Berani berbuat jahat. Apa jawabanmu nanti ketika ditanya oleh Nabi. Apakah kamu bersedia membohonginya?” bisik hati kecil.
Kapanpun dia berniat melakukan kejahatan, maka dia teringat semua pesan Nabi SAW dan setiap kali hatinya berkata:
“Jika aku berbohong kepada Rasulullah itu berarti aku telah mengkhianati janjiku padanya. Sebaliknya jika aku berkata jujur ​​itu berarti aku akan menerima hukuman sebagai seorang Muslim. Ya Tuhan ... . memang di dalam amanat Nabi terkandung hikmah yang sangat berharga.”

Setelah dia bergulat dengan nafsunya, pria itu akhirnya berhasil melawan keinginan nalurinya.

Menurut hadits lagi, sejak hari itu dimulailah babak baru dalam hidupnya. Dia telah bermigrasi dari kejahatan menuju kemuliaan hidup sebagaimana diuraikan oleh Nabi SAW, hingga akhirnya ia telah berubah menjadi seorang mukmin yang alim dan berakhlak mulia.