Cari Artikel

Tampilkan postingan dengan label Sahabat Rasulullah SAW. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sahabat Rasulullah SAW. Tampilkan semua postingan

Urwah Bin Zubair RA



Urwah bin Zubair adalah saudara Abdullah bin Zubair, putra dari sahabat Zubair bin Awwam, ibunya adalah Asma binti Abu Bakar. Ia sempat mengikuti beberapa pertempuran bersama Rasulullah SAW walau saat itu ia masih sangat muda, termasuk pada Perang Tabuk.

Suatu ketika di masa tuanya, salah satu kakinya terluka cukup parah, tabib menyarankan Urwah bin Zubair untuk mengamputasi kaki tersebut karena dikhawatirkan akan merusak anggota tubuh lainnya. Karena proses tersebut sangat menyakitkan, sang tabib menawarkan untuk memberinya minuman yang mengandung bius, dan mendatangkan beberapa orang untuk memeganginya agar tidak bergerak. Tetapi dengan jiwa yang dipenuhi keimanan dan kesabaran, Urwah menolak tawaran itu dan berkata,
"Cukuplah kalian saja mengerjakan apa yang kalian kerjakan, aku tidak membutuhkan minuman atau orang-orang tersebut."

Begitulah, proses amputasi mulai dikerjakan, tulang mulai terbuka, minyak dididihkan, gergaji mulai digerakkan memotong tulang, dan obat ditaburkan. Proses demi proses berlangsung, tetapi Urwah tidak bergerak dan bergeming sedikitpun, begitu juga tidak terdengar kata keluhan dari mulutnya, kecuali kata ‘hasbi, Hasbi’ (maksudnya, cukuplah bagiku, cukuplah bagiku rahmat Allah).

Ketika seseorang datang memasuki ruangan saat proses pemotongan kakinya tersebut, ia berkata,
"Jika engkau menjengukku untuk kakiku ini, ia telah kuserahkan kepada Allah."
Tetapi orang itu berkata,
"Aku tidak datang menjengukmu untuk kakimu itu, aku hanya membawakan kabar, bahwa anakmu jatuh dari tunggangannya hingga terinjak-injak, dan akhirnya meninggal."

Mendengar kabar tersebut, tidak ada reaksi kaget sedikitpun, ia hanya berkata lirih,
"Ya Allah, jika Engkau menguji, pasti Engkau akan memberi ampunan, namun jika engkau mengambil, pasti Engkau akan mengabadikan."

Wa'il Bin Hajar RA



Suatu ketika Wa'il bin Hajar berkunjung kepada Nabi SAW, saat itu rambutnya dalam keadaan terurai panjang. Setelah beberapa saat duduk bersama Rasulullah RA, ia mendengar beliau berkata, "Dzubab, dzubab !!"

Kata itu adalah ungkapan tentang sesuatu yang buruk atau celaka.

Wa'il berfikir, jangan-jangan itu ditujukan pada keadaan rambutnya. Setelah pulang ke rumahnya, ia memotong dan merapikan rambutnya. Esok harinya ia mengunjungi Nabi SAW lagi. Melihat penampilannya yang berbeda dengan hari sebelumnya, beliau bersabda,
"Perkataanku kemarin bukan kutujukan kepadamu, tetapi hal ini lebih baik karena engkau telah memotong rambutmu!"

Seorang Penyapu Masjid



Seorang lelaki atau perempuan berkulit hitam bertugas sebagai penyapu masjid. Suatu ketika Nabi SAW menanyakan keberadaannya karena dalam beberapa hari ia tidak kelihatan menyapu lagi. Salah satu dari sahabat menjawab, "Ya Rasulullah, ia telah meninggal."

Mungkin bagi para sahabat itu tidak penting untuk memberitahukan kepada Nabi SAW, karena ia hanyalah seorang berkulit hitam. Tetapi ternyata beliau berpendapat lain, beliau berkata,
"Mengapa kalian tidak memberitahu aku, tunjukkan padaku kuburnya!"

Mereka mengantar Nabi SAW ke kuburnya dan beliau shalat ghaib untuknya.

Abdullah Bin Umar RA



Abdullah bin Umar adalah putra Umar bin Khaththab, ia telah memeluk Islam semenjak kanak-kanak. Ia melihat seorang lelaki yang selalu mendatangi Nabi SAW untuk menceritakan mimpinya jika ia bermimpi, karenanya ia sangat ingin bisa bermimpi dan menceritakan mimpinya kepada Nabi SAW seperti lelaki tersebut. Saat itu ia masih muda dan ia sering tidur di masjid.

Suatu ketika ia bermimpi melihat dua malaikat datang dan membawanya ke neraka. Di sana ia melihat bangunan seperti sumur yang mempunyai dua cabang, dan di dalamnya banyak orang yang dikenalinya, sehingga ia berkata,
"Semoga Allah melindungiku dari neraka ini…!"

Datanglah malaikat yang lain dan mengatakan agar ia tidak takut, dan ia terbangun.

Ia tidak punya keberanian untuk menceritakan mimpinya tersebut kepada Nabi SAW seperti yang diinginkan sebelumnya, karena itu ia menceritakannya kepada kakaknya yang juga istri Nabi SAW, Hafshah. Ketika Hafshah menceritakan mimpi tersebut kepada Nabi SAW, beliau bersabda,
"Abdullah bin Umar adalah anak yang baik, saya berharap semoga ia selalu melaksanakan shalat malam."

Sejak itulah ia banyak mengerjakan shalat malam, dan tidur hanya sebentar, padahal saat itu ia masih sangat muda remaja.

Abdullah bin Umar dikenal sebagai sahabat yang paling banyak meneladani Nabi SAW, bahkan pada hal-hal yang sebenarnya tak berarti. Ia selalu memperhatikan apa yang dilakukan beliau, dan kemudian ditirunya dengan cermat dan teliti. Misalnya ia melihat Nabi SAW shalat di suatu tempat, maka di tempat yang sama, ia akan melakukan shalat seperti beliau. Jika Nabi SAW berdoa dengan berdiri, ia juga akan berdoa dengan berdiri di tempat tersebut. Pernah, di suatu tempat di Makkah, ia melihat Nabi SAW berputar dua kali dengan untanya sebelum turun dan shalat dua rakaat. Maka setiap kali ia melewati tempat itu, ia akan memutar untanya dua kali, kemudian turun dan shalat dua rakaat seperti yang pernah dilakukan Nabi SAW. Padahal bisa saja unta Nabi SAW itu memutar sekedar untuk mencari tempat yang tepat untuk berhenti dan beristirahat.

Begitulah kesetiaannya dalam mengikuti jejak langkah Nabi SAW, sehingga Ummul Mukminin Aisyah RA pernah berkata,
"Tak seorangpun mengikuti jejak Rasulullah SAW di tempat-tempat pemberhentian beliau, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Umar…."

Hampir tidak ada suatu perilaku Nabi SAW, yang diketahuinya yang tidak ditirunya. Setelah lama waktu berlalu sepeninggal Nabi SAW, ia ingat sesuatu yang ia tidak tahu apa yang dilakukan oleh beliau dan ia belum menirunya. Waktu Fathul Makkah, beliau masuk ke dalam Ka'bah. Yang diketahuinya beliau menghancurkan berhala-berhala, setelah itu ia tidak tahu. Karenanya ia segera mencari Bilal bin Rabah yang saat itu mengikuti beliau masuk ke dalam Ka'bah untuk menanyakan hal tersebut. Atas pertanyaannya ini Bilal berkata,
"Beliau berdiri di antara dua tiang Ka'bah dan shalat dua rakaat…."

Mendengar penjelasan ini Abdullah bin Umar menangis penuh penyesalan. Beberapa kali ia mengunjungi Ka'bah dan ia tidak pernah meneladani perilaku beliau ini. Seolah sekian banyak ibadah, jihad dan kedermawanan dalam membelajakan hartanya di jalan Allah, tidak bisa menebus kelalaiannya dalam mengamalkan dua rakaat yang dilakukan Nabi SAW di dalam Ka'bah tersebut.

Bilal Bin Rabah Al Habsyi RA



Bilal bin Rabah al Habsyi hanyalah seorang budak biasa sebagaimana budak-budak lainnya, nasibnya sebagai putra seorang budak yang secara otomatis menjadikannya sebagai budak pula. Ia dimiliki oleh seorang tokoh Quraisy dari bani Jumah, Umayyah bin Khalaf, yang sangat membenci Nabi SAW dan kehadiran agama baru di lingkungan mereka. Tetapi justru kebencian tuannya kepada Nabi dan Islam ini yang menjadi jalan hidayah bagi Bilal. Mereka begitu semangat membahas, menghujat dan mencaci-maki, dan sesekali takjub atas munculnya agama baru dan sosok Nabi Muhammad SAW. Dan itu semua menjadi informasi tak terbatas bagi Bilal tentang Islam, yang akhirnya membawa langkahnya menemui Nabi SAW, tentu tanpa sepengetahuan tuannya, untuk memeluk Islam.

Bilal merupakan orang Islam pertama dari golongan budak, dan itu menjadikan Umayyah bin Khalaf merasa begitu terhina dan ternoda kehormatannya. Karena itu ia melakukan berbagai macam cara penyiksaan yang biadab untuk bisa mengembalikan Bilal kepada agama jahiliah. Ia tidak ingin, peristiwa ini menjadi preseden bagi budak-budak lainnya dan ia yang disalahkan oleh tokoh Quraisy lainnya.

Tetapi siksaan seperti apa yang bisa mengubah keyakinan seseorang jika telah begitu lekat di dalam jiwa. Jika tidak ada hal-hal lain yang diinginkan, dan jika kematian tidak lagi ditakuti, bagaimana mungkin bisa mengubah prinsip hidup seseorang. Itulah yang terjadi pada diri Bilal, makin berat siksaan yang dirasakannya, makin mendekatkan dirinya pada al Ahad, Allah SWT…, Ahad, Ahad, Ahad, itulah yang seolah menjadi simbol perjuangannya.

Siang hari yang sangat panas di padang pasir, ia dibaringkan di atas bara. Terkadang dalam keadaan telanjang ia dilemparkan ke atas pasir yang seperti menyala, kemudian ditindih dengan batu besar yang tak kalah panasnya. Sore hari ketika mulai dingin, ia ditegakkan dan lehernya dirantai kemudian diarak keliling melalui bukit-bukit dan jalanan di kota Makkah. Tidak satu hari dua hari, tidak satu minggu dua minggu, tetapi berbilang bulan, bahkan mungkin berbulan-bulan siksaan itu berlangsung.

Seolah karang yang tak hendak lapuk dan hancur diterjang ombak selama bertahun-tahun, begitulah keyakinan yang tertanam di dalam jiwa Bilal. Di dalam kelemahannya, di dalam ketidak-berdayaannya, hanya satu kata yang lekat dan tertanam erat, Ahad, Ahad, Ahad. Sampai-sampai para penyiksanya jatuh kasihan, atau juga menjadi bosan dengan apa yang dilakukannya. Tetapi mereka enggan untuk melepaskan Bilal begitu saja karena gengsi, takut nama baik dan kehormatannya sebagai tokoh kaum Quraisy tercemar, karena mengalah pada seorang budak yang keras kepala. Atau lebih tepatnya, seorang muslim yang begitu kokoh keimanannya.

Bahkan ada riwayat menyatakan, para penyiksa itu meminta Bilal untuk satu kali saja mengatakan "Latta dan Uzza", agar mereka punya alasan untuk melepaskannya, setelah itu terserah apa yang akan dilakukannya, bahkan mereka akan membebaskannya dari perbudakan. Tetapi Bilal tak bergeming, Cuma satu kata yang keluar dari mulutnya secara berulang-ulang, “Ahad, Ahad, Ahad…!!”

Di suatu pagi menjelang siang, seperti biasanya Bilal digiring ke padang pasir, ke tempat penyiksaannya, datanglah Abu Bakar kepada mereka dan berkata,
"Apakah kalian hendak membunuh seorang laki-laki yang mengatakan Tuhannya adalah Allah?"

Kemudian Abu Bakar berpaling kepada Umayyah bin Khalaf, sambil menyerahkan uang ia berkata,
"Terimalah uang ini sebagai tebusannya, ini lebih tinggi dari harganya, dan bebaskan dia!"

Tampak sekali kelegaan pada Umayyah bin Khalaf dan para penyiksa Bilal, mereka sudah sangat jenuh dan hampir putus asa. Mereka hanya butuh alasan kecil untuk bisa melepaskan Bilal, tetapi malah mendapat setumpuk uang, tentu saja mereka amat gembira, apalagi mereka ini pada dasarnya seorang pedagang. Namun demikian Umayyah berkata,
"Bawalah dia, demi Latta dan Uzza, andai saja engkau membayar tak lebih dari satu uqiyah, akau akan melepaskannya…"

Abu Bakar mengerti apa yang dimaksudkan Umayyah, yakni ingin merendahkan martabat Bilal. Karena itu ia berkata;
"Andai saja kalian tidak melepasnya kecuali dengan harga seratus uqiyah, aku pasti akan membayarnya."

Abu Bakar membawa Bilal ke hadapan Rasulullah SAW, sekaligus mengumumkan pembebasannya dari status budak. Sekelompok kecil sahabat yang hadir saat bergembira seolah sedang merayakan hari besar. Dan hari itu memang hari besar, bukan hanya buat Bilal, tetapi untuk seluruh umat manusia, hari yang sebenarnya lebih tepat untuk dijadikan sebagai "Hari Persamaan Hak Asasi Manusia."

Ketika Nabi SAW hijrah ke Madinah dan umat Islam bisa melaksanakan peribadatan tanpa gangguan dari pihak-pihak yang memusuhi, mulailah dicari cara mengumpulkan umat Islam untuk melaksanakan shalat jama'ah. Berbagai usulan muncul, tetapi akhirnya dipilih cara yang kini dikenal sebagai "adzan". Ada beberapa riwayat, tentang siapa yang pertama kali menyusun redaksi adzan, tetapi yang jelas pilihan pertama Nabi SAW untuk melantunkannya adalah Bilal bin Rabah. Suaranya yang empuk, merdu, lantang dan penuh keharuan merupakan alasan utama. Siapapun yang mendengarnya serasa disiram dengan segelas air dingin, kesejukan dari nilai keimanan.

Bilal adalah Muadzdzin pertama dalam Islam, dan namanya kini sangat dikenal di seluruh dunia karena identik dengan jabatan muadzdzin itu sendiri dalam setiap pelaksanaan shalat Jum'at. Selain sebagai muadzdzin, Nabi SAW juga menunjuk Bilal sebagai pengurus keuangan beliau. Namun walau disebut sebagai pengurus keuangan, Bilal tidak pernah memegang uang terlalu lama atau menyimpannya, karena Nabi SAW memang tidak pernah menyimpan sesuatu, baik uang atau barang, sampai malam harinya. Bilal hanya diserahi tugas untuk mengurus dan melayani apabila ada kaum muslimin yang datang meminta bantuan kepada Nabi SAW. Ia akan mencari pinjaman atas nama Nabi SAW, untuk memenuhi kebutuhan orang tersebut.

Suatu hari ada seorang musyrik kaya raya yang mendatangi Bilal dan berkata, "Hai Bilal, aku mempunyai banyak harta benda, jika kamu mempunyai keperluan, janganlah meminjam pada siapapun, berhutanglah pada saya!"
"Apalagi yang lebih baik daripada hal ini," Kata Bilal menyambut baik tawaran si orang musyrik tersebut.

Sebenarnya si orang musyrik ini, dalam riwayat lain adalah seorang Yahudi, merasa hasud (iri) dengan kedudukannya yang begitu dekat dengan Nabi SAW, pemimpin tertinggi kaum muslimin, atau bahkan bisa dikatakan pemimpin tertinggi Jazirah Arabia yang paling disegani saat itu. Pikirnya, “Dia hanya seorang bekas budak, berkulit hitam lagi. Bagaimana mungkin ia memperoleh kedudukan begitu mulia di sisi Muhammad (SAW)? Sungguh aku akan mengembalikannya seperti dahulu lagi!”

Tentu saja Bilal tidak mengetahui rencana yang tersimpan di kepala si orang musrik itu, yang jelas ia memperoleh kemudahan untuk melaksanakan tugas yang dibebankan Nabi SAW. Maka ketika ada perintah Rasulullah SAW, ia pun meminjam dari orang tersebut, dan menyerahkannya pada orang yang dikehendaki Nabi SAW untuk menerimanya. Hal ini berlangsung berulang-ulang hingga hutangnya menumpuk banyak pada orang musyrik itu.

Suatu kali ketika selesai berwudlu dan akan mengumandangkan adzan, orang musyrik ini mendatanginya dengan beberapa orang, ia mencaci maki Bilal dan berkata bengis, "Hai Habsyi, tinggal berapa hari lagi bulan ini?"
"Bulan ini hampir habis!!" Kata Bilal.
"Tinggal empat hari lagi," Kata orang musyrik itu, "Jika sampai akhir bulan engkau belum melunasi pinjamanmu kepadaku, maka aku akan menjadikanmu hamba sahaya dan engkau harus menggembala kambing seperti dulu lagi."

Setelah mengatakan itu, si orang musyrik meninggalkannya. Bilal menjadi sangat bingung dan gelisah. Selepas shalat isya, ia menemui Rasulullah dan menceritakan apa yang terjadi. Ia berkata, "Ya Rasulullah, engkau tidak mempunyai persediaan apapun untuk membayar hutang itu, dan saya juga tidak mempunyai apa-apa. Saya merasa orang ini ingin menghinakan saya lagi, karena itu, kalau diijinkan, saya ingin bersembunyi sambil mencari jalan untuk membayar hutang tersebut. Jika datang kepada engkau sesuatu untuk membayar hutang ini, saya akan datang lagi."

Ternyata Nabi SAW mengijinkannya. Bilal pulang dan mempersiapkan pedang, perisai dan apa yang diperlukan dalam perjalanan. Menjelang waktu shubuh, ia keluar tanpa tujuan. Tetapi belum jauh, datang seseorang diutus Nabi SAW untuk memanggilnya. Ia bergegas menemui Nabi SAW di masjid, dan tampak disana empat ekor unta dengan muatan penuh. Setelah sampai di masjid, Nabi bersabda,
"Dengarkanlah kabar gembira ini, wahai Bilal, Allah telah menyiapkan sesuatu untuk membayar hutangmu. Ambillah unta dan muatannya ini, barang-barang ini telah dikirim sebagai hadiah untukku dari ketua bani Fidak."

Bilal bersyukur penuh kegembiraan. Selesai shalat subuh, ia berlalu membawa unta-unta itu menemui si orang musyrik. Setelah melunasi semua hutang-hutangnya, ternyata masih tersisa cukup banyak. Ia kembali ke masjid menemui Nabi SAW dan berkata,
"Ya Rasulullah, aku bersyukur Allah telah membebaskan hutang-hutang kita tanpa sisa sedikitpun!"

Melihat masih ada yang tersisa dari barang tersebut, Nabi SAW bersabda,
"Bagikanlah barang-barang ini sampai habis sehingga aku menjadi tenang. Aku tidak akan pulang ke rumah sebelum sisa barang-barang ini habis dibagikan."

Bilal melaksanakan perintah Nabi SAW, ia berkeliling mencari orang-orang miskin yang membutuhkan, dan membagikan sisa barang tersebut. Setelah shalat isya, Nabi SAW menemui Bilal dan bertanya tentang sisa barang tersebut. Bilal menjawab,
"Masih ada, ya Rasulullah, karena sudah tidak ada orang yang memerlukannya lagi!"

Mendengar jawaban ini Nabi tidak pulang, tetapi tidur di masjid. Keesokan harinya, setelah shalat isya beliau bertanya lagi seperti sebelumnya. Kali ini Bilal menjawab,
"Tidak ada sisa, ya Rasulullah, Allah telah memberkati anda dengan ketentraman jiwa, semua sisa barang itu telah habis saya bagikan pada hari ini."

Mendengar jawaban itu, Rasulullah SAW bersyukur memuji Allah SWT dan pulang ke rumah istrinya.

Pada hari wafatnya Rasulullah SAW dan saat itu beliau belum dimakamkan, Bilal mengumandangkan Adzan seperti biasanya. Ketika sampai pada kalimah syahadah dimana nama Nabi SAW disebutkan, ia menangis dan banyak para sahabat lainnya menangis juga.

Setelah Beliau dikebumikan, Abu Bakar meminta Bilal untuk mengumandangkan adzan seperti biasanya, Bilal menolak dan berkata,
"Jika engkau dahulu memerdekakan aku agar aku selalu menyertaimu, itu memang seharusnya. Tetapi jika engkau memerdekakan aku karena Allah, maka ijinkanlah aku bersama Dzat Yang demi Dia, engkau memerdekakan aku."

Abu Bakar mengatakan bahwa ia memerdekakannya karena Allah, maka Bilal berkata,
"Aku tidak akan menjadi muadzdzin lagi setelah Rasulullah SAW wafat. Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, bahwa amalan seorang mukmin yang paling utama adalah jihad di jalan Allah, maka ijinkanlah aku untuk berjuang bersama para mujahid di Syam!"

Dalam satu riwayat dikatakan bahwa Abu Bakar mengijinkannya pergi ke Syam, dan riwayat lainnya menyatakan, Abu Bakar mempertahankannya tetap di Madinah walau tidak sebagai muadzdzin. Dan baru pada masa Umar ia memaksa untuk pergi berjihad di Syam, walau Umar berusaha mempertahankannya tetap tinggal di Madinah.

Ketika Khalifah Umar berkunjung ke Syam, beberapa orang mendatanginya dan memohon agar Bilal mau melantunkan adzan, walau untuk satu shalat saja. Mereka ini mungkin telah mendengar kisah kehidupan Bilal, tetapi sama sekali belum pernah mendengar adzan Bilal. Mereka ingin tahu seperti apa sehingga Nabi SAW memilihnya sebagai muadzdzin pertama. Ketika hal itu disampaikan Umar, sebenarnya Bilal menolak, tetapi karena banyaknya suara yang memintanya, ia pun memenuhinya. Bilal naik ke menara dan mulai melantunkan adzan.

Para sahabat yang hadir banyak yang menangis, mereka seolah dibawa kembali ke suasana saat Nabi SAW masih hidup. Dan yang paling keras tangisnya adalah Umar bin Khaththab dan Bilal sendiri, setelah ia selesai adzan. Itulah terakhir kalinya Bilal melantunkan adzan. Setelah itu ia berjuang di medan jihad sampai akhir hayatnya. Jenazahnya dimakamkan di bumi Damsyiq (kini Damaskus).

Khalid Bin Walid RA



Khalid bin Walid adalah seorang sahabat ahli peperangan, dan dikenal dengan nama Saifullah, Pedang Allah. Mungkin ia tidak bisa sepenuhnya disebut sebagai sahabat Muhajirin, namun demikian ia telah memeluk Islam sebelum terjadinya Fathul Makkah. Tidak ada suatu pertempuran yang dipimpinnya kecuali ia memperoleh kemenangan, termasuk ketika ia masih musyrik. Khalid-lah yang menjadi kunci kemenangan pasukan kafir Quraisy pada perang Uhud, padahal sebelumnya mereka telah kocar-kacir dan berada di ambang kekalahan.

Ketika Nabi SAW berniat umrah ke Makkah, yang berakhir dengan Perjanjian Hudaibiyah, Khalid bin Walid memimpin pasukan berkuda kaum Quraisy untuk menghalangi kedatangan beliau tersebut. Kedua golongan bertemu di Usfan, Nabi SAW dan sahabatnya berhenti untuk melakukan shalat Dhuhur di hadapan pasukan berkuda Khalid pada jarak tertentu, kemudian beliau melanjutkan dengan shalat Ashar dengan cara shalat Khauf.

Sebenarnya Khalid sudah berniat untuk menyerang pasukan muslim, tetapi niat itu tidak menguat untuk direalisasikan. Khalid sadar, selama beberapa kali pertempuran melawan pasukan muslim ia tidak pernah menang, walau sempat menggoyahkan seperti yang terjadi di perang Uhud. Setelah selesai shalat, ternyata Rasulullah SAW memutuskan untuk memilih jalan sebelah kanan sehingga terhindar pertemuan dengan pasukan berkuda Khalid. Melihat hal itu, Khalid berkata dalam hati, "Lelaki itu (Nabi SAW) sedang dihalangi…"

Khalid bin Walid adalah seorang ahli strategi, karenanya ia sadar bahwa perjanjian Hudaibiyah lebih merupakan kekalahan bagi kaum kafir Quraisy daripada kemenangan. Memang sekilas tampak golongan musyrik Quraisy Makkah lebih diuntungkan daripada kaum Muslimin Madinah, seperti juga persepsi sebagian besar kaum muslimin, termasuk Umar bin Khaththab. Tetapi tidak di mata Khalid bin Walid.

Khalid bergulat dengan pemikirannya sendiri, "Apa lagi yang masih tersisa? Kepada Najasyi? Sesungguhnya ia telah mengikuti Muhammad, dan para sahabat beliau berada di sisinya dalam keadaan aman. Haruskah aku menyertai Hiraqla dan mengikuti agama Nashrani? Atau memeluk Yahudi lalu hidup di kalangan orang-orang 'ajam?"

Ia tidak bisa segera memutuskan, dan tetap tinggal bersama kaumnya. Setahun kemudian, ketika Nabi SAW melakukan umrah Qadhiyyah, umrah pengganti yang dihalangi oleh kaum Quraiys sebelumnya, Khalid menyembunyikan diri karena tidak ingin menyaksikan kedatangan Rasulullah SAW dan para sahabatnya, yang sebagian dari mereka masih kerabatnya juga.

Walid bin Walid, saudaranya yang telah memeluk Islam berusaha menemukannya, tetapi tidak berhasil. Ia meninggalkan surat untuk Khalid. Dalam suratnya itu, Walid menceritakan kalau Rasulullah SAW menanyakan keberadaannya, beliau juga menyatakan keheranannya karena orang cerdas seperti Khalid belum bisa melihat nilai kebenaran Islam. Walid menceritakan bahwa Nabi SAW bersabda tentang dirinya, "Orang seperti dia masih tidak tahu tentang Islam? Jika ia berusaha dengan gigih dan menggunakan kemampuan perangnya untuk membantu orang Islam, tentu itu lebih baik baginya. Dan kami akan mendahulukannya sebelum yang lainnya."

Surat dari Walid ini seolah menjadi jalan keluar dari kebimbangannya selama ini, ada kegairahan untuk segera memeluk Islam. Ia pun bermimpi, seolah-olah berada di suatu negeri yang sangat sempit dan gersang, kemudian ia keluar menuju suatu negeri yang subur menghijau dan sangat luas. Ia membenarkan mimpinya ini dan menganggapnya sebagai perintah untuk pergi ke Madinah menemui Nabi SAW dan memeluk Islam.

Perjalanan ke Madinah tidaklah mudah untuk ditempuh sendirian, karena itu ia memerlukan seorang teman perjalanan yang sepemahaman, yang sekaligus bersedia untuk memeluk Islam. Khalid memilih di antar teman dekatnya, pertama ia mengajak Shafwan bin Umayyah, tetapi Shafwan menolak dengan penolakan yang kuat, bahkan ia berkata,
"Jika tiada siapapun lagi yang tersisa kecuali aku, pasti aku tidak akan mengikutinya selama-lamanya."

Khalid bisa memaklumi karena bapak dan saudaranya terbunuh di perang Badar, sehingga ia begitu dendam kepada Nabi SAW. Begitu dendamnya hingga ia pernah membiayai Umair bin Wahb untuk membunuh Nabi SAW setelah perang Badr selesai, tetapi makarnya ini justru membawa Umair bin Wahb masuk Islam.

Kemudian Khalid menghubungi Ikrimah bin Abu Jahal, tetapi iapun memberikan jawaban yang kurang lebih sama dengan Shafwan. Khalid minta pada Ikrimah untuk merahasiakan niatnya ini dari orang-orang Quraisy, dan Ikrimah menyetujuinya. Akhirnya ia memutuskan untuk berangkat sendiri.

Ketika sedang mempersiapkan perbekalan dan tunggangannya, ia melihat salah seorang sahabatnya yang lain, Utsman bin Thalhah. Ia ingin memberitahukan niatnya, tetapi sempat ragu-ragu karena seperti halnya Shafwan dan Ikramah, banyak saudaranya yang terbunuh ketika berperang melawan Nabi SAW. Bagaimanapun juga ia sudah dalam proses keberangkatan, karena itu tidak ada salahnya ia memberitahukannya pada Utsman. Maka Khalid menceritakan apa yang dirasakannya dan juga keputusannya untuk memeluk Islam, sebagaimana yang disampaikan pada Shafwandan Ikramah, dan ia mengajak Utsman memeluk Islam dan menemaninya menjumpai Nabi SAW di Madinah. Di luar dugaan, ternyata Utsman menyambut ajakan Khalid ini. Mereka membuat janji untuk bertemu besok paginya di Ya'juj, sekitar 8 mil di luar kota Makkah.

Khalid meninggalkan rumah ketika waktu sahur dan telah sampai di Ya'juj sebelum fajar, Utsman pun telah menunggunya. Mereka meneruskan perjalanan, dan beristirahat sesampainya di Haddah. Tak lama berselang datang seorang penunggang unta mendekat, yang ternyata 'Amr bin 'Ash. Ketiga orang ini ternyata mempunyai tujuan yang sama, bahkan 'Amr bin 'Ash telah menyatakan Islam di hadapan Najasyi, Raja Habasyah. Merekapun bersama -sama menuju Madinah menemui Nabi SAW.

Sesampainya di Harrah, di luar kota Madinah, mereka menambatkan ontanya dan Khalid berganti pakaian dengan pakaian yang terbaik dan berangkat menemui Rasulullah SAW. Walid bin Walid, adik Khalid yang telah menunggunya, berkata,
"Bersegeralah, sesungguhnya Rasulullah telah diberitahu tentang kedatangan kalian dan beliau sangat gembira. Beliau telah menunggu kedatangan kalian."

Mereka bertiga mempercepat langkah menuju masjid dimana Nabi SAW telah menunggu. Khalid mengucap salam pada beliau, setelah dijawab, ia langsung mengucap syahadat sebagai ba'iat keislamannya. Nabi bersabda,
"Marilah !! Segala puji bagi Allah yang telah memberikan hidayah kepadamu, sungguh aku telah melihat engkau sebagai orang yang berakal cerdik, dan aku berharap akalmu tidak akan mengantarkanmu kecuali kepada kebaikan semata!"

Khalid berkata,
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah terlibat dengan beberapa pertempuran melawan engkau dengan penuh penentangan, hendaknya engkau memohonkan ampun kepada Allah atas semua itu!"

Nabi SAW mendoakan ampunan untuk Khalid seperti yang dimintanya. Setelah itu menyusul 'Amr dan Utsman menghadap NabiSAW menyatakan ba'iat keislamannya.

Khalid begitu inginnya memperoleh syahid, tetapi kehendak Allah berbicara lain. Begitu banyak pertempuran dan medan juang yang diterjuninya, bahkan terkadang terkesan nekad demi untuk gugur sebagai syahid, tetapi tidak pernah menjadi kenyataan. Karena setiap pertempuran yang diikuti atau dipimpinnya, atas pertolongan Allah selalu berakhir kemenangan. Mungkin ini tidak lepas dari gelar yang diberikan Rasulullah SAW kepadanya, Saifullah, Pedang Allah, yang dengannya Allah SWT meninggikan panji-panji Islam di seantero jazirah Arabia.

Ia terbaring sakit di tempat tidurnya. Ketika tanda-tanda ajalnya telah dekat, ia berkata,
"Sungguh aku telah mencari kesyahidan di tempat-tempat yang mungkin ada, tetapi Allah tidak menakdirkan demikian kecuali kematian di atas tempat tidurku ini. Tidak ada satu amalan yang lebih kuharapkan, kecuali satu malam yang aku lalui bersiap memakai tameng dan senjata, sedang saat itu hujan sampai pagi, sampai akhirnya kami menyerang musuh."

Memang, kesibukannya berjuang di jalan Allah membuatnya ia tidak sempat membaca dan mempelajari Al Qur'an dengan intensif, sebagaimana kebanyakan sahabat lainnya. Ia juga juga berpesan, setelah kematiannya, kuda dan senjata-senjatanya hendaknya disedekahkan di jalan Allah. Ia meninggal di masa khalifah Umar, sebagian riwayat menyatakan ia meninggal di Madinah, sebagian yang lain di kota Homs.

Khadijah Binti Khuwailid RA, Ummul Mukminin



Khadijah binti Khuwailid RA merupakan seorang wanita terpandang di Makkah, dari keturunan yang mulia, juga seorang pengusaha yang sukses. Khadijah telah menikah dua kali sebelum pernikahannya dengan Rasulullah SAW. Sebagian riwayat mengatakan bahwa Khadijah menikah pertama kalinya dengan Atik bin Aidz, ia mempunyai seorang anak perempuan bernama Hindun, yang kemudian menjadi seorang muslimah yang taat. Setelah berpisah dengan Atik, Khadijah menikah lagi dengan Abu Halah, atau nama aslinya Nabasyi bin Malik. Dari pernikahannya ini ia mempunyai dua orang anak, lelaki dan perempuan (sebagian riwayat mengatakan, keduanya lelaki). Abu Halah meninggal terlebih dahulu. Riwayat lain menyebutkan, Abu Halah suami pertamanya, baru kemudian Atik bin Aidz.

Dalam status jandanya yang kedua kali ini, banyak sekali pemuka dari kaum Quraisy yang ingin memperistrinya, tetapi dengan tegas ia menolaknya. Khadijah mempunyai kebiasaan meminta seseorang untuk menjalankan dagangannya dan membagi keuntungan dengan mereka. Tatkala ia mendengar kabar tentang Muhammad yang mempunyai kejujuran, kredibilitas dan kemuliaan akhlak, ia menawarkan untuk menjalankan dagangannya ke Syam. Atas dorongan dan dukungan dari pamannya, Abu Thalib, Muhammad yang kala itu masih pemuda berusia 25 tahun menerima tawaran ini.

Beliau berangkat disertai pembantu Khadijah yang bernama Maisarah, dan perdagangannya ini memperoleh keuntungan yang sangat besar. Melihat hal ini Khadijah jadi sangat tertarik dengan Muhammad, apalagi setelah memperoleh cerita dari Maisarah tentang kejujuran dan ketinggian akhlak beliau selama menjalankan perdagangannya di Syam.

Suatu malam, Khadijah bermimpi melihat matahari turun ke kota Makkah, kemudian bergerak menuju ke rumahnya, sehingga cahayanya menerangi seluruh penjuru rumah dan sekelilingnya. Khadijah mendatangi anak pamannya, Waraqah bin Naufal, seorang pemeluk Nashrani yang mempunyai pengetahuan yang luas dan mampu menafsirkan impian seseorang. Setelah mendengar cerita Khadijah, Waraqah yang telah tua dan buta itu menyatakan bahwa akan turun seorang Nabi di kota Makkah dan Khadijah akan menjadi istrinya. Dan dari dalam rumahnya dakwah akan menyebar ke penjuru Arabia.

Khadijah mempunyai firasat kuat bahwa calon nabi tersebut adalah Muhammad. Siapa lagi orang di Makkah yang mempunyai kualitas akhlak dan perilaku yang lebih baik daripada dia. Ditambah lagi dengan cerita Maisarah selama mengiring Muhammad menjalankan perdagangannya ke Syam, di antaranya, adanya gulungan awan yang menaungi mereka sehingga terhindar dari teriknya matahari padang pasir. Karena itu muncul keinginannya untuk menikahinya.

Dengan perantaraan seorang temannya bernama Nafisah binti Munyah, Khadijah menyampaikan maksudnya untuk menikahi Muhammad kepada pamannya, Abu Thalib. Beliau menyambut baik keinginan Khadijah tersebut. Walau telah berusia 40 tahun, Khadijah adalah seorang wanita yang cantik dan pandai, kaya dan terpandang sekaligus sangat menjaga dirinya, sehingga memperoleh gelar Thahirah (wanita suci), dan sangat jauh dari budaya jahiliah.

Muhammad segera menghubungi paman-pamannya untuk melamar Khadijah. Perkawinan berlangsung meriah, dihadiri oleh Bani Hasyim dan pemuka Bani Mudhar. Mas kawin yang diberikan Nabi SAW adalah 20 ekor unta muda, yang menjadi wali Khadijah adalah pamannya, Umar bin Asad karena ayahnya, Khuwailid telah meninggal dunia. Perkawinan ini berlangsung dua bulan sepulangnya beliau dari perdagangan di Syam.

Nabi SAW sangat mencintai Khadijah, jauh melebihi istri-istri beliau lainnya, termasuk setelah kewafatannya, sehingga pernah memancing kecemburuan Aisyah. Ketika beliau menyebut nama Khadijah yang telah wafat, Aisyah berkata emosional, "Mengapa engkau masih saja mengingat wanita tua Quraisy, yang sudah meninggal itu. Bukankah Allah telah memberikan ganti dengan istri yang lebih baik darinya!!"

Memang, Aisyah merupakan istri yang paling dicintai beliau dibanding istri-istri beliau lainnya. Tetapi sebaik apapun Aisyah, di mata Rasulullah, ia tidak bisa dibandingkan dengan Khadijah. Beliau bersabda, "Demi Allah, tiada yang lebih baik dari dirinya. Ia telah mempercayaiku ketika semua orang mendustakan. Ia merelakan semua hartanya, ketika semua orang malah menahannya, dan Allah mengaruniakan anak-anak darinya dan tidak dari istri-istriku lainnya…"

Siapa yang tidak tahu, bagaimana besarnya peran Khadijah pada masa-masa awal beliau mengemban risalah Islam ini. Ketika beliau dalam kegoncangan jiwa saat pertama kali bertemu Jibril, dialah yang menentramkan dan menguatkan jiwa beliau, bahkan membawa beliau kepada Waraqah bin Naufal untuk memantapkan bahwa beliau berada di dalam kebenaran. Ketika hampir seluruh pemuka-pemuka Quraisy memusuhi dan mengingkarinya, dialah yang jadi pembela dan sandaran kekuatan beliau, bersama Abu Thalib. Maka tatkala dua orang ini meninggal, beliau tidak bisa menyembunyikan kesedihannya, sehingga dalam sejarah dikenal sebagai "Tahun Duka Cita" (Amul Huzni).

Suatu saat Nabi SAW dikirimi seseorang unta yang telah disembelih, beliau mengambil sendiri beberapa bagian, kemudian menyuruh seseorang mengantarkan kepada teman Khadijah. Melihat hal itu, Aisyah berkata,
"Mengapa engkau mengotori tanganmu sendiri, bukankah bisa orang lain mengerjakannya?"

Nabi SAW menjelaskan bahwa Khadijah pernah berwasiat kepada beliau seperti itu. Kontan muncul kecemburuan Aisyah, ia berkata,
"Khadijah lagi, Khadijah lagi… seolah-olah tidak ada lagi wanita di bumi ini selain Khadijah…!!"

Mungkin reaksi yang wajar dari seorang istri, dan beliau mungkin bisa memakluminya kalau menyangkut istri beliau lainnya. Tetapi karena ini menyangkut Khadijah, tampak sepercik kemarahan pada wajah beliau. Tanpa banyak bicara, beliau bangkit berdiri dan pergi.

Beberapa waktu kemudian beliau kembali menemui Aisyah, tampak ia menangis sedang ditemani ibunya, Ummu Ruman. Ummu Ruman berkata,
"Ya Rasulullah, ada apa antara engkau dengan Aisyah? Ia masih anak-anak, hendaklah engkau memaafkannya….!"

Nabi SAW tersenyum, sambil memegang ujung bibir Aisyah beliau berkata,
"Bukankah engkau sendiri yang berkata, tidak ada wanita lain di bumi ini selain Khadijah…!!"

Inilah Khadijah, walaupun Allah telah memberikan ganti dengan istri-istri lainnya, dari yang muda, dewasa, juga yang tua (yakni Saudah bin Zam'ah), yang cantik dan berbakti, yang mandiri, sabar dan tidak membebani Nabi SAW, tetapi tetaplah Khadijah yang menjadi sosok utama di dalam hati beliau.

Istri-Istri Rasulullah SAW



Secara umum, seorang lelaki muslim diperbolehkan atau diijinkan menikahi wanita muslimah lainnya hingga empat orang, tetapi bukan berarti disunnahkan.
Al-Qur’an sendiri menyarankan untuk menikahi hanya satu wanita saja jika tidak bisa berbuat adil, khususnya dalam hal yang bersifat lahiriah. Tetapi Rasulullah SAW diberi kekhususan, tidak hanya empat pernikahan. Bahkan tidak jarang Allah sendiri yang memerintahkan Nabi SAW untuk menikahi wanita tersebut, dan pada dasarnya Nabi SAW tidaklah menikahi seorang wanita kecuali diperintahkan atau diijinkan oleh Allah SWT.

Riwayat paling masyhur, istri-istri Rasulullah sebanyak sebelas orang, yakni :
  1. Khadijah binti Khuwailid RA
  2. Saudah binti Zam'ah RA
  3. Aisyah binti Abu Bakar RA (Khumaira)
  4. Hafshah binti Umar bin Khathhab RA
  5. Zainab binti Khuzaimah RA
  6. Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayyah RA
  7. Zainab binti Jahsy bin Rayyab RA
  8. Juwairiyah binti Harits bin Abu Dhirar RA
  9. Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan RA
  10. Shafiyah binti Huyyai bin Akhthab RA
  11. Maimunah binti Harits bin Hazn RA
Mereka ini adalah istri-istri Nabi SAW atau disebut juga Ummahatul Mukminin (para ibu kaum muslimin) yang dinikahi dan hidup bersama beliau, dan beliau tidak menikahi wanita lain (berpoligami) selama masih hidupnya Khadijah. Dua orang telah meninggal ketika beliau masih hidup, yakni Khadijah binti Khuwailid dan Zainab binti Khuzaimah. Beberapa riwayat menyebutkan, bahwa beliau juga pernah menikah dengan beberapa wanita lainnya, tetapi tidak sampai tinggal bersama mereka, yaitu;
  • 1. Seorang wanita dari Bani Qilab bernama Amrah binti Yazid al Qilabiyah.
  • Seorang wanita Bani Kindah bernama Asma binti Nu'man al Kindiyyah al Juwainiyah.
Keduanya dikembalikan kepada orang tuanya, sebelum sempat dikumpuli Rasulullah SAW.

Mengenai kegagalan pernikahan beliau dengan Asma binti Nu'man, sebuah riwayat menyebutkan adalah akibat kecemburuan Aisyah. Setelah pernikahannya dengan Mariyah al Qibthiyah, beliau menikahi Asma binti Nu'man. Aisyah sangat cemburu dengan kehadiran Asma dalam jajaran Ummahatul Mukminin, karena itu bersama dua istri Nabi SAW lainnya, Saudah dan Hafshah, mereka membuat rencana untuk menjebak Asma.

Setelah matang, dipilihlah Hafshah untuk melaksanakan rencana ini, ia menemui Asma, yang saat itu belum dikunjungi Nabi SAW, dan ia berkata,
"Wahai Asma, sesungguhnya Nabi SAW jika mengunjungi istri-istrinya, sangat senang disambut dengan ucapan 'A'udzubillah', kemudian berdirilah membelakangi beliau!"

Asma yang belum mengerti seluk beluk kehidupan istri-istri Rasulullah SAW, sangat berterima kasih dengan informasi ini. Ia sama sekali tidak berprasangka buruk pada Hafshah. Maka ketika beliau mengunjunginya, Asma dengan gembira dan wajah berseri menyambut beliau. Kemudian ia melaksanakan apa yang disarankan oleh Hafshah dengan lugunya, tanpa prasangka apa-apa kepada Rasulullah SAW.

Tetapi seketika itu ia jadi terkejut melihat reaksi Nabi SAW. Ia tidak sadar bahwa ucapan dan sikapnya itu sangat menusuk perasaan beliau. Nabi SAW bersabda, "Engkau telah memohon perlindungan kepada Allah?"

Setelah itu beliau meninggalkannya. Beliau membatalkan pernikahannya ini dan menyuruh seorang sahabat memberikan mut'ah kepada Asma, dan mengembalikannya kepada orang tuanya. Keluarga Asma sangat bersedih dengan peristiwa ini.

Setelah tahu duduk persoalannya, segera saja ayahnya, Nu'man bin Aswad menemui Nabi SAW untuk meminta maaf dan menjelaskan tentang apa yang dilakukan Hafshah atas perintah dan kesepakatan Aisyah dan Saudah. Mendengar penjelasan ini, beliau hanya tersenyum dan berkata,
"Mereka memang sama saja dengan perempuan-perempuan di zaman Nabi Yusuf AS. Siasat dan tipu daya mereka memang luar biasa."

Tetapi bagaimanapun juga Nabi SAW telah mengembalikan Asma kepada orang tuanya, dan Asma telah terlanjur meminta perlidungan kepada Allah dengan ucapannya tersebut, sehingga Nabi SAW tidak mungkin memperistrinya lagi.

Kisah ini sebenarnya cukup termasyhur, tetapi sebagian ahli hadits meragukan kesahihannya, karena rasanya tidak mungkin Nabi SAW memutuskan tali pernikahannya hanya karena kesalah-pahaman semata.

Selain mereka, Rasulullah SAW juga menikah dengan beberapa orang hamba sahaya, yaitu Mariyah al Qibthiyah, hadiah dari pembesar Mesir, Muqauqis, Raihanah binti Zaid an Nadhiriyah atau al Qurzhiyah, tawanan dari Bani Quraizhah, seorang tawanan bernama Jamilah dan juga seorang jariyah hadiah dari Zainab bin Jahsy, istri beliau sendiri.

Dakwah Nabi SAW kepada Juraij bin Mata, pembesar Mesir yang lebih terkenal dengan nama Muqauqis, walaupun ia tidak menyatakan diri memeluk Islam, tetapi ia memberikan sambutan yang baik atas seruan Nabi SAW, ia tidak menghalangi penyebaran Islam di bumi Mesir. Muqauqis membalas surat Nabi SAW dan diberikan kepada utusan beliau, Hathib bin Abi Balta'ah, bersama itu pula ia mengirimkan dua orang gadis yang mempunyai kedudukan terhormat bagi masyarakat Mesir, bahkan sebagian riwayat menyatakan mereka berdua adalah putri Muqauqis sendiri, yaitu Mariyah dan Sirin. Dua bersaudara ini dipersembahkan sebagai sahaya bagi Nabi SAW, juga beberapa lembar kain dan seekor baghal, yang bernama Duldul.

Nabi SAW mengambil Mariyah dan dinikahinya walaupun dalam status sebagai sahaya, sedang Sirin diberikan kepada sahabat Hasan bin Tsabit. Tidak seperti Ummahatul Mukminin lainnya yang tinggal di rumah di sebelah Masjid Nabi SAW, Mariyah ditempatkan di luar kota Madinah. Sebuah rumah di tengah kebun anggur di tempat bernama 'Alia. Sekarang ini dikenal dengan nama Masyraba Umm Ibrahim. Dari Mariyah inilah beliau memiliki seorang putra yang diberi nama Ibrahim, tetapi meninggal ketika masih kecil.

Seorang Raja Di Surga



Di dalam suatu majelis pengajaran, tiba-tiba Rasulullah SAW bersabda,
"Besok pagi akan ada seorang ahli surga yang bersembahyang bersama kamu!!"

Abu Hurairah, yang meriwayatkan hadits ini, berkata dalam hati,
"Aku berharap, akulah yang ditunjuk oleh beliau!"

Waktu subuh esok harinya, Abu Hurairah shalat di belakang beliau. Ia tetap tinggal di tempatnya ketika beberapa orang pamit untuk pulang. Tiba-tiba ada seorang hamba/budak hitam berpakaian compang-camping datang mendekat dan menjabat tangan Rasulullah SAW, ia berkata,
"Ya Nabiyallah, doakanlah aku semoga aku mati syahid!!"

Rasulullah SAW memenuhi permintaan orang tersebut. Sementara beliau berdoa, tercium bau kesturi dari tubuhnya yang kelihatan kumuh dan kotor. Setelah orang itu berlalu, Abu Hurairah bertanya,
"Apakah orang tersebut, Ya Rasulullah?"
"Benar," Kata Nabi SAW, "Ia hamba sahaya dari Bani Fulan"
"Mengapa tidak engkau beli dan engkau merdekakan, Ya Rasulullah!!" Kata Abu Hurairah.
"Bagaimana aku akan berbuat seperti itu, kalau karena keadaannya tersebut, Allah akan menjadikannya seorang raja di surga."

Beberapa saat kemudian, beliau bersabda lagi,
"Wahai Abu Hurairah, sesungguhnya di surga itu ada raja dan orang-orang terkemuka, dan dia ini salah satu raja dan orang terkemuka tersebut. Ya Abu Hurairah, sesungguhnya Allah amat kasih kepada orang yang suci hati, yang samar, yang bersih, yang terurai rambutnya, yang kempis perutnya kecuali dari hasil yang halal. Mereka ini, bila masuk menghadap penguasa tidak akan diizinkan, bila meminang wanita bangsawan tidak akan diterima, bila tidak ada ia tidak dicari, bila hadir tidak dihiraukan, bila sakit tidak dijenguk, bahkan bila mati tidak dihadiri jenazahnya."

Salah seorang sahabat bertanya,
"Ya Rasulullah, tunjukkanlah kepada kami salah seorang dari mereka (selain budak hitam tadi)!"
"Uwais al Qarany," Kata Nabi SAW, "Seseorang berkulit coklat, lebar kedua bahunya, sedang tingginya dan selalu menundukkan kepalanya sambil membaca al Qur'an. Tidak terkenal di bumi, tetapi sangat terkenal di langit. Jika ia bersungguh-sungguh meminta kepada Allah, pasti dikabulkan. Di bawah bahu kirinya ada bekas belang sedikit. Wahai Umar dan Ali, jika kamu bertemu dengannya, mintalah agar ia membacakan istighfar untukmu…!"

Dalam riwayat lainnya, beliau berpesan kepada Umar dan Ali, agar Uwais membacakan istrighfar untuk umat beliau.

Sa'd Bin Abi Waqqash RA



Sa'd bin Malik az Zuhri, atau lebih dikenal sebagai Sa'd bin Abi Waqqash masih termasuk paman Nabi SAW, tetapi usianya jauh lebih muda daripada beliau. Ia memeluk Islam ketika berusia 17 tahun, dan termasuk as sabiqunal awwalun. Sebagian riwayat menyatakan ia orang ke tiga, ke empat atau ke tujuh dari kalangan lelaki remaja/dewasa, yang jelas ia memeluk Islam lewat informsi dan pengaruh Abu Bakar.

Hidayah itu datang berawal dari sebuah mimpi. Sa’d bermimpi matahari tidak muncul lagi sehingga dunia diliputi kegelapan. Tidak ada lagi bedanya siang dan malam. Tetapi kemudian muncul seberkas cahaya, yang di antara cahaya tersebut ada wajah-wajah yang dikenalinya, Abu Bakar, Zaid bin Haritsah dan Ali bin Abi Thalib. Ia bertanya,
"Kapan kalian datang, tiba-tiba saja sudah ada di sini?"
Mereka berkata,
"Ya saat ini kami datang"

Setelah itu mereka lenyap dan Sa'd terbangun dari mimpinya. Ia gelisah memikirkan mimpinya sehingga fajar menjelang.

Pagi harinya ia berangkat ke tempat pekerjaannya seperti biasa, tetapi tidak ada kegairahan kerja seperti hari-hari sebelumnya. Dalam keadaan yang demikian, Abu Bakar muncul. Mereka berbincang-bincang dan Abu Bakar menceritakan tentang risalah yang dibawa Nabi SAW, Abu Bakar mengajaknya untuk memeluk Islam seperti dirinya. Tiba-tiba saja suasana hatinya berubah menjadi cerah, seperti suasana mimpinya ketika berkas cahaya muncul menyibak kegelapan tanpa matahari. Tanpa pikir panjang ia menerima ajakan Abu Bakar, mereka berdua berjalan menuju tempat Nabi SAW, dan Sa'd berba'iat memeluk Islam.

Ketika diketahui Sa'd bin Abi Waqqash masuk Islam, ibunya sangat tidak menyetujuinya, padahal Sa'd orang yang sangat menghormati dan menyantuni ibunya. Sang ibu menyuruh Sa'd untuk meninggalkan Islam, dan mengancam,
"Wahai Sa'd, agama apa yang kamu peluk itu? Sekarang kau harus pilih, kau kembali ke agama nenek moyangmu, atau aku tidak akan makan dan minum sampai aku mati karena perbuatanmu itu?"
Sa'd hanya berkata,
"Jangan kau lakukan itu wahai Ibu, tetapi aku tidak akan meninggalkan agamaku ini."

Ibunya pun melaksanakan ancamannya, ia tidak makan dan minum. Hingga hari ketiga, ketika keadaan ibunya sudah sangat payah dan mengkhawatirkan, Orang-orang menjemput Sa'd dan menghadapkan pada ibunya. Sa'd akhirnya berkata,
"Demi Allah, jika ibu mempunyai seribu nyawa, dan keluar satu persatu, aku tidak akan meninggalkan agama Islam ini."

Melihat tekad anaknya yang begitu kuat, tidak bisa ditawar-tawar lagi, akhirnya sang ibu mengalah dan makan minum lagi seperti biasanya, dan Sa'd pun tetap dengan baik bergaul dengan ibunya, walau tetap dalam agama jahiliahnya.

Sebagian riwayat menyebutkan, peristiwa Sa'd dengan ibunya ini menjadi asbabun nuzul dari Surah Luqman ayat 14-15, tentang bagaimana bergaul dengan orang tua.

Nabi SAW pernah menyatakan ada sepuluh sahabat yang dijamin pasti masuk surga, ketika mereka masih hidup. Selain empat sahabat Khulafaur Rasyidin, mereka adalah Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa'id bin Zaid, Abdurrahman bin Auf, Abu Ubaidah bin Jarrah dan tentunya Sa'd bin Abi Waqqash sendiri. Ia memang tidak pernah tertinggal berjuang bersama Nabi SAW, bahkan ia adalah orang Arab pertama yang memanah di jalan Allah. Ia pernah bersama Rasulullah dalam suatu pasukan tanpa bahan makanan yang mencukupi, kecuali hanya daun-daun pohon hublah dan pohon samurah. Akibatnya ada beberapa anggota pasukan yang kotorannya seperti kotoran kambing karena sangat keringnya.

Suatu ketika Nabi SAW merasa begitu senang dan berkenan dengan perilaku Sa'd, beliaupun berdoa,
"Ya Allah, tepatkanlah panahnya, dan kabulkanlah doanya."

Sejak saat itu, panah Sa'd merupakan senjata andalan dan sangat ditakuti oleh musuh. Siapapun yang menjadi sasaran panahnya, ia tidak akan lolos dan selamat lagi. Begitu juga dengan doanya, apapun yang dipanjatkannya seolah tak ada penghalang antara dirinya dengan Allah SWT.

Pernah suatu ketika ada seseorang yang memaki Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bib Awwam. Sa'd menasehatinya untuk menghentikan perbuatannya tersebut, tetapi orang tersebut masih terus saja memaki tiga orang sahabat utama tersebut. Sa'd pun mengancam akan mendoakan kepada Allah, tetapi dengan sinis ia berkata kepada Sa'd,
"Kamu menakut-nakuti aku seolah engkau seorang Nabi saja!"

Sa'd pun akhirnya pergi ke masjid, ia berwudhu dan shalat dua rakaat, kemudian berdoa,
"Ya Allah, kiranya menurut ilmu-MU, orang ini telah memaki sekelompok orang yang telah memperoleh kebaikan dari Engkau, dan sekiranya sikapnya tersebut mengundang kemurkaan-MU, aku mohon Engkau tunjukkan suatu pertanda yang akan menjadi pelajaran bagi yang lainnya"

Tidak lama kemudian, ada seekor unta yang menjadi liar masuk kerumunan orang. Anehnya ia seolah-olah mencari seseorang, dan ketika ditemukan lelaki yang memaki tiga sahabat tersebut, ia menerjang, menyepak dan menginjak-injak lelaki tersebut hingga tewas.

Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, Sa'd bin Abi Waqqash dipilih memimpin sebuah pasukan untuk memerangi tentara Persiadi bawah pimpinan Rustum. Pertempuran yang disebut dengan Perang Qadisiah ini sebenarnya tidak berimbang, tentara muslim hanya 30.000 sedang tentara Persia sebanyak 100.000 orang. Riwayat lain menyebutkan 120.000 orang. Namun demikian tidak ada kegentaran pada diri Sa'd.

Sebelum pertempuran dimulai, Rustum meminta agar mengirim utusan untuk melakukan pembicaraan atau negosiasi. Maka Sa'd mengirim Rib'i bin Amir. Esoknya Rustum masih meminta lagi, dikirimlah Huzaifah bin Mihsan. Dan ketiga kalinya, Sa'd mengirim Mughirah bin Syu'bah. Tiga kali pembicaraan ini menemui jalan buntu, karena bagi pasukan muslim, mereka hanya punya tiga pilihan seperti diperintahkan Nabi SAW, pertama agar mereka memeluk Islam, atau mereka tunduk kepada Madinah (Islam) walau tidak menerima Islam, tetapi harus membayar jizyah (pajak), atau pilihan terakhir perang.

Peperangan yang akhirnya terjadi, karena Rustum tidak mau memilih opsi pertama atau kedua. Ia merasa bisa dengan mudah mengalahkan pasukan muslim yang hanya sepertiga atau seperempatnya saja. Tetapi tepat ketika perang akan dimulai, Sa'd mengalami sakit bisul pada sekujur tubuhnya sehingga ia tidak bisa menaiki kuda. Karena itu ia memimpin pasukan dari tenda komandonya. Tetapi riwayat lain menyebutkan, ia menunjuk Khalid bin Arfathah untuk memimpin pasukan. Namun demikian pasukan muslim bisa memporak-porandakan pasukan Rustum yang jauh lebih besar. Mereka lari mengundurkan diri ke Nawahand, dan kemudian mundur lagi ke Madain, ibu kota Persia karena pasukan muslim terus mengejar mereka.

Setelah berlalu dua tahun, Khalifah Umar memerintahkan Sa'd untuk menyerang Madain. Walaupun kota Madain dipisahkan dengan sungai Tigris, pasukan muslim mampu menyeberangi sungai tersebut dengan strategi yang tepat. Pertama Sa'd mengirim dua kelompok pasukan yang dipimpin Ashim bin Amr dan Qa'qa' bin Amr menyeberang terlebih dahulu, dan mengamankan posisi di seberang. Baru setelah itu pasukan utama menyeberang, gelombang demi gelombang. Salman al Farisi yang aslinya berbangsa Persia sampai takjub tak percaya mereka mampu menyeberangi sungai Tigris dengan kuda-kudanya, seolah di daratan saja.

Sa'd, dengan doa makbulnya, hanya memerintahkan anggota pasukannya untuk berdzikir,
"Hasbunallah wa nikmal wakil," sepanjang mereka menyeberangi sungai Tigris, sehingga tidak seorangpun yang celaka, bahkan juga tidak satu barangpun yang hilang terbawa arus air sungai. Akhirnya Madain ditaklukkan, dan runtuhlah simbol kekuasaanpenyembah api yang telah ratusan atau ribuan tahun bertahan.

Mu'adz Bin Jabal RA



Mu'adz bin Jabal termasuk sahabat Anshar pada periode awal, ia telah memeluk Islam pada Ba'iat Aqabah ke dua, sehingga ia termasuk dari golongan as sabiqunal awwalun. Saat itu ia masih sangat muda, tetapi justru kemudaannya tersebut yang membuat ia lebih mudah dan lebih banyak menyerap ilmu-ilmu keislaman.

Ia termasuk sahabat yang berani mengemukakan buah pikirannya, seperti halnya Umar bin Khaththab, namun demikian ia tetap seorang yang rendah hati. Ia tidak pernah begitu saja mengemukakan pendapat atau pemikirannya (ijtihadnya) kecuali jika diminta atau diberi waktu mengemukakannya. Karena begitu luas dan mendalamnya pengetahuan yang dimilikinya, terutama menyangkut hukum-hukum Islam (Ilmu Fikih), Nabi SAW pernah bersabda tentang dirinya,
"Ummatku yang paling tahu akan halal dan haram adalah Mu'adz bin Jabal…"

Atas dasar sabda Nabi SAW inilah banyak sahabat-sahabat yang menjadikan Mu'adz sebagai rujukan jika ada permasalahan menyangkut hukum-hukum Islam (Fikih). Bahkan Umar bin Khaththab, yang diakui kecerdasannya oleh Nabi SAW, pada saat menjadi khalifah banyak meminta pendapat dan buah fikiran Mu'adz dalam memutuskan suatu permasalahan. Sampai akhirnya Umar berkata,
"Kalau tidaklah karena Mu'adz bin Jabal, akan celakalah Umar…"

Ketika Nabi SAW akan mengirimnya ke Yaman untuk membimbing dan mengajarkan seluk-beluk keislaman kepada penduduk di sana, beliau bertanya kepada Mu'adz,
"Apa yang menjadi pedoman bagimu untuk mengadili dan memecahkan suatu masalah, ya Mu'adz?"
"Kitabulah, ya Rasulullah!" Jawab Mu'adz.
"Jika tidak engkau temukan dalam Al Qur'an?"
"Akan saya cari pemecahannya berdasarkan sunnah-sunnahmu, Ya Rasulullah!!"
"Jika tidak engkau dapatkan juga??"
"Saya akan menggunakan fikiran saya untuk berijtihad, dan saya tidak akan berlaku sia-sia (dholim, tidak untuk kepentingan pribadi dan duniawiah"

Bersinarlah wajah Rasulullah SAW pertanda bahwa beliau puas dan senang dengan penjelasan Mu'adz, kemudian beliau bersabda,
"Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah, sebagaimana yang diridhai Rasulullah."

Khubaib Bin Adi RA



Khubaib bin Adi adalah seorang sahabat Anshar dari Suku Aus. Pada hari pertama ketika Nabi SAW datang di Madinah, Khubaib datang menghadap beliau dan menyatakan dirinya memeluk Islam. Kebanyakan kaum kerabatnya telah memeluk Islam ketika masih didakwahkan sahabat Mush’ab bin Umair dan As’ad bin Zurarah, ia sendiri belum tergerak hatinya. Tetapi ketika ia memandang langsung wajah Nabi SAW, hatinya seolah terbetot oleh ‘pesona’ yang membawanya untuk memeluk Islam.

Pada bulan Shafar tahun 4 Hijriah, beberapa waktu setelah terjadinya Perang Uhud, Nabi SAW mengirim utusan dakwah yang terdiri sekelompok sahabat yang dipimpin Ashim bin Tsabit, Khubaib termasuk di dalamnya. Rombongan yang dikirim atas permintaan Bani Adhal dan Qarah ini ternyata dikhianati. Mereka diserang oleh Bani Hudzail dan berakhir dengan tragedi Raji'. Khubaib ditawan dalam keadaan hidup bersama Zaid bin Datsinah dan Abdullah bin Thariq, sedang lainnya syahid. Sedianya, ketiganya akan dibawa ke Makkah untuk dijual, tetapi Abdullahbin Thariq berhasil lepas dan melawan, tetapi ia akhirnya terbunuhdi daerah Zhahran.

Khubaib dibeli oleh Hujair bin Abu ihab at Tamimi dari Bani Harits bin Amir bin Naufal dengan harga seratus ekor unta. Khubaib adalah pembunuh Harits bin Amir pada Perang Badar, mereka mengurungnya sementara waktu sampai saat yang disepakati oleh keluarga Harits untuk membunuhnya. Suatu ketika Khubaib meminjam pisau cukur untuk memotong rambutnya, salah seorang putri al Harits meminjaminya. Tidak berapa lama, putri al Harits tersentak dan berlari menuju tempat Khubaib ditawan, sambil berkata,
"Aku telah lalai meninggalkan anakku di dekat Khubaib….!"

Sesampainya di sana, ia melihat anaknya duduk di pangkuan paha Khubaib, seketika wajahnya pucat dalam ketakutan. Apalagi pisau cukur itu masih ada di tangan Khubaib. Melihat ekspresi putri al Harits tersebut, Khubaib berkata,
"Apakah engkau takut aku akan membunuhnya? Sekali-kali aku tidak akan melakukannya, insyaallah!!"

Ia kembali ke keluarganya dan berkata,
"Aku tidak pernah melihat tawanan sebaik Khubaib, dan yang mengherankan, ia sedang memakan setandan buah anggur, padahal tidak sedang musim buah-buahan di Makkah, tangan dan kakinya-pun tetap terikat dengan rantai besi. Tentulah buah-buahan tersebut rezeki dari Allah SWT...!"

Pada saat yang ditentukan untuk dieksekusi, Khubaib dibawa keluar dari tanah haram. Sebelum pelaksanaan pembunuhan, Khubaib meminta waktu untuk shalat dua rakaat, dan ia diijinkan. Inilah pertama kalinya shalat sunnah sebelum eksekusi kematian dijalankan. Usai shalat, Khubaib berkata, "Kalau tidak khawatir kalian mengira aku takut mati, pastilah aku akan memanjangkan dan menambah shalatku…"

Putra al Harits, Uqbah bin Harits bangkit untuk membunuh Khubaib, yang tubuhnya telah disalib pada sebatang kayu. Mayatnya dibiarkan tetap tersalib, dan menyuruh beberapa orang untuk menjaganya. Tetapi pada malam harinya, muncul sahabat Amr bin Umayyah adh Dhamry, ia berhasil menyiasati (mengakali) para penjaga dan menurunkan mayat Khubaib, kemudian membawanya pergi dan menguburkan pada tempat tersembunyi.

Khubaib dan Zaid bin Datsinah dibunuh pada waktu yang hampir bersamaan, dan Nabi SAW di Madinah bisa mendengar perkataan terakhir mereka sebelum dieksekusi, beliau berkata, "Salam dan keselamatan untuk kalian berdua…"

Kemudian beliau berpaling kepada para sahabat, "Khubaib dan Zaid telah dibunuh orang-orang Quraisy…"

Dalam suatu riwayat disebutkan, sebelum eksekusi dijalankan, Abu Sufyan bertanya kepadanya,
"Maukah kau, jika kepalamu yang akan dipenggal ini digantikan dengan kepala Muhammad, dan kamu dibebaskan sehingga bisa berkumpul dan bergembira bersama keluargamu?"

Tetapi Abu Sufyan dan orang-orang kafir itu memperoleh jawaban yang mengejutkan, Khubaib berkata,
"Demi Allah, kehidupanku bersama keluargaku tidak akan menjadi senang, jika aku membiarkan duri sekecil apapun menusuk badan kekasihku, Muhammad."

Tetapi riwayat lain menyebutkan, percakapan tersebut terjadi pada eksekusi Zaid bin Datsinah. Atau mungkin juga terjadi pada eksekusi kedua sahabat tersebut, karena mereka berdua ditangkap dan dijual ke kaum Quraisy bersama-sama, dan dieksekusi mati dalam waktu yang hampir bersamaan, dan sama-sama disaksikan oleh tokoh-tokoh kafir Quraisy.

Zaid Bin Datsinah RA



Zaid bin Datsinah RA, seorang sahabat Anshar yang termasuk dalam kelompok sepuluh sahabat dibawah pimpinan Ashim bin Tsabit. Kelompok sahabat ini dikirim Nabi SAW untuk mematai-matai kaum Quraisy (atau dalam riwayat lain, atas permintaan Bani Adhal dan Qarah untuk mendakwahi kaumnya). Kemudian mereka ini dikhianati sehingga terjadi pertempuran tidak seimbang dengan 100 orang kafir, delapan orang menemui syahidnya, Zaid bin Datsinah dan Khubaib bin Adi tertawan, dan dijual kepada orang-orang Quraisy di Makkah. Zaid dibeli oleh Shafwan bin Umayyah dengan harga 50 ekor unta.

Pada waktu yang ditetapkan untuk eksekusi, Zaid dibawa ke suatu tempat di luar Masjidil Haram. Orang-orang telah berkumpul untuk melihat hukuman mati yang akan dijatuhkan kepada Zaid. Sebagian orang-orang kafir melemparinya dengan anak panah sambil membujuknya kembali murtad. Tetapi ia tidak bergeming sedikitpun dan memasrahkan dirinya kepada Allah.

Abu Sufyan bertanya kepadanya,
"Maukah kau, jika kepalamu yang akan dipenggal ini digantikan dengan kepala Muhammad, dan kamu dibebaskan sehingga bisa berkumpul dan bergembira bersama keluargamu?"

Tetapi Abu Sufyan dan orang-orang kafir itu memperoleh jawaban yang mengejutkan, Zaid berkata,
"Demi Allah, kehidupanku bersama keluargaku tidak akan menjadi senang, jika aku membiarkan duri sekecil apapun menusuk badan kekasihku, Muhammad."

Abu Sufyan berkata,
"Kasih sayang yang ditunjukkan sahabat-sahabatnya kepada Muhammad tidak ada bandingannya."

Shafwan telah menugaskan salah satu hamba sahayanya bernama Nisthas untuk membunuh Zaid, ia menikam tubuh Zaid dengan lembing sehingga menemui syahidnya. Sebelum ajal menjemputnya, ia sempat berkata,
"Ya Allah, sampaikan salamku kepada Rasulullah SAW….!"

Nabi SAW yang berada di Madinah mendengar salam yang disampaikannya lewat malaikat Jibril, dan beliau membalasnya, sambil mengabarkan pada sahabat-sahabat lainnya tentang pembunuhan Zaid dan Khubaib oleh orang kafir Quraisy

Iyas Bin Mu'adz RA



Iyas bin Mu'adz adalah seorang pemuda dari Bani Abdul Asyhal, salah satu kabilah Suku Khazraj di Madinah. Suatu ketika ia diajak oleh Abul Haisar Anas bin Rafi bersama beberapa pemuda lainnya dari Bani Abul Asyhal, untuk menemui kaum Quraisy Makkah dalam rangka perjanjian kerjasama pertahanan. Saat itu Suku Khazraj sedang berperang dengan Suku Aus.

Di Makkah rombongan ini didatangi oleh Rasulullah SAW, beliau menjelaskan tentang Islam dan mengajak mereka untuk memeluk agama Islam. Mendengar dakwah Nabi SAW tersebut. Iyas bin Mu'adz berkata,
"Wahai kaumku, ini lebih baik daripada maksud kedatangan kalian (yakni untuk menjalin perjanjian kerjasama dengan orang-orang kafir Quraisy)!!"

Anas bin Rafi sebagai pimpinan kelompok ini marah mendengarnya, dan melemparkan segengam pasir ke wajah Iyas. Iyas hanya terdiam dan Nabi SAW meninggalkan mereka.

Beberapa waktu berlalu, terjadilah Perang Bu'ats di Madinah, perang saudara antara Suku Khazraj dan Suku Aus. Dalam peperangan tersebut Iyas bin Mu'adz meninggal akibat luka-lukanya yang dialaminya. Tetapi orang-orang Madinah itu menyaksikan, bahwa menjelang kematiannya, Iyas selalu bertahlil, bertakbir dan bertasbih sampai malaikat maut menjemputnya. Karena itu mereka menyimpulkan bahwa Iyas telah memeluk Islam sejak mendengar dakwah Nabi di Makkah, dan tewas dalam memeluk agama barunya (Agama Islam) tersebut.

Ghitrif Dan Ghatafan Bin Sahl, Urwah Bin Abdullah R.hum



Pada suatu musim haji, Rasulullah SAW mendatangi Bani Ka'b bin Rabiah dari kabilah Bani Amir bin Sha'sha'ah yang sedang berada di Pasar Ukazh. Kabilah ini yang mempunyai kekuatan cukup besar, dan jarang ada kabilah lain yang berani berperang dengannya. Beliau menyeru mereka kepada Islam dan menjelaskan risalahnya. Ternyata mereka belum bersedia untuk masuk Islam, tetapi bersedia untuk membela beliau dalam menyampaikan risalah Islam.

Nabi SAW mengikuti mereka ke perkemahannya dengan penyambutan yang baik. Dalam sebuah transaksi jual beli, seseorang bernama Baiharah bin Firas al Qusyairi mencela Bani Ka'b bin Rabiah ini atas perlindungannya atas Rasulullah SAW. Ia kemudian berpaling kepada Nabi SAW dan berkata,
"Bangunlah, kembalilah kepada kaummu, Demi Allah, jika kau tidak sedang di antara kaumku, pasti aku akan memenggal kepalamu."

Setelah Nabi SAW naik unta, Baiharah menendang kaki unta beliau dan dua orang melemparinya. Saat itu ada seorang wanita dari Bani Amir bin Sha'sha'ah yang telah memeluk Islam, yakni Dhuba'ah binti Amir bin Qurth. Ia berseru kepada keluarganya untuk membela Nabi SAW. Muncullah satu orang memukul Baiharah, dan dua orang lagi tampil memukul dua orang yang melempar Nabi SAW. Melihat hal itu, Nabi berdoa,
"Ya Allah, berkatilah tiga orang itu (yang membantu Nabi SAW) dan laknatilah orang yang membantu Baiharah."

Tiga orang tersebut adalah anak-anak paman Dhuba'ah, Ghitrif bin Sahl dan Ghatafan bin Sahl, dua anak lelaki Sahl, dan satunya lagi Urwah bin Abdullah. Dua orang yang membantu Baiharah dan kemudian mati dalam keadaan dilaknat oleh Allah SWT adalah Hazn bin Abdullah dan Muawiyah bin Ubadah. Tiga orang yang membantu Nabi SAW akhirnya mendapat berkah doa beliau, setelah beberapa waktu berlalu, mereka masuk Islam dan berjihad bersama Rasullullah SAW hingga menemui syahidnya.

Zaid Bin Arqam RA



Zaid bin Arqam RA adalah seorang Anshar yang telah memeluk Islam ketika masih anak-anak. Ketika terjadi perang Uhud, ia bergabung dengan pasukan muslim yang siap berangkat, tetapi keberadaannya diketahui oleh Nabi SAW dan beliau memulangkannya, karena ia masih sangat muda. Ia sangat sedih dengan larangan Rasulullah ini.

Pada tahun 5 hijriah Zaid mengikuti peperangan Bani Musthaliq. Usai peperangan, ketika masih menetap di Muraisi, sempat terjadi ketegangan antara kaum Muhajirin dan Anshar, yang dipicu oleh persenggolan ketika mengambil air di mata air, antara Jahjah al Ghifary, orang upahan Umar bin Khaththab, dan Sinan bin Wabar al Juhanny, salah seorang sahabat Anshar. Perselisihan ini sendiri sebenarnya telah bisa didamaikan Rasulullah SAW. Tetapi tokoh munafiq, Abdullah bin Ubay mengomentari peristiwa itu, ia berkata kepada kaumnya,
"Inilah yang kalian lakukan, andai kata kalian tidak memberikan harta kalian kepada mereka, tentu mereka akan berpindah ke tempat lain. Demi Allah, jika kita telah kembali ke Madinah, maka penduduknya yang mulia akan benar-benar mengusir penduduknya yang hina."

Zaid bin Arqam, yang memang satu kabilah dengan tokoh munafik itu, begitu mendengar ucapan Abdullah bin Ubay ini merasa tidak senang, ia menyampaikan hal itu kepada pamannya, dan pamannya mengabarkannya kepada Nabi SAW. Umar bin Khaththab yang saat itu bersama Rasulullah SAW, meminta beliau agar menyuruh Abbad bin Bisyr RA membunuh tokoh munafik ini, tetapi beliau tidak mengijinkannya.

Setelah Abdullah bin Ubay mengetahui bahwa Nabi SAW telah mendengar ucapannya ini, segera saja ia menemui beliau dan bersumpah atas nama Allah, bahwa ia tidak mengatakan seperti apa yang disampaikan Zaid. Abdullah bin Ubay adalah salah satu tokoh masyarakat Madinah, dan Zaid bin Arqam hanya seorang pemuda remaja. Karena itu ada sebagian sahabat Anshar yang lebih mempercayai ucapan tokoh munafik itu daripada Zaid. Ia berkata,
"Boleh jadi ia (Zaid bin Arqam) hanya menduga-duga saja tentang apa yang dikatakan Abdullah bin Ubay."

Zaid menjadi sedih dengan perkembangan yang terjadi, apa yang dilaporkannya kepada Nabi SAW seolah-olah hanya dugaan dan rekaannya semata. Apalagi Rasulullah SAW sepertinya bisa menerima sumpah yang diucapkan Abdullah bin Ubay. Bagaimanapun juga dirinya masih anak-anak, dan tidak memiliki ketenaran dan kekuasaan seperti halnya Abdullah bin Ubay.

Dalam beberapa hari berikutnya Zaid bin Arqam mengurung diri di rumah, tidak menghadiri majelis Rasulullah SAW seperti biasanya. Pamannya sampai berkata,
"Aku tidak bermaksud agar Rasulullah SAW membencimu dan tidak mempercayaimu lagi!"

Beberapa waktu kemudian, Allah SWT menurunkan Surah Al Munafiqun ayat 1, yang isinya mengabarkan kedustaan yang dilakukan oleh orang-orang munafiq, khususnya Abdullah bin Ubay. Nabi SAW mendatangi Zaid bin Arqam dan beliau membacakan wahyu yang baru beliau terima, kemudian beliau bersabda,
"Wahai Zaid, Sesungguhnya Allah telah membenarkanmu!"

Badzan, Abanauah Dan Jadd Jamirah



Badzan adalah wakil Kisra Persia yang membawahi wilayah Yaman. Setelah Kisra Persia merobek-robek surat Nabi SAW, dan utusan beliau, sahabat Syuja bin Wahb al Asadi meninggalkan istana Kisra, Kisra memerintahkan Badzan untuk mengirimkan surat dengan dua utusan untuk menemui Nabi SAW. Isi surat itu antara lain memerintahkan beliau untuk menghadap Kisra Persia dengan segera. Dua orang itu adalah Abanauah, seorang menteri urusan khusus kerajaan Romawi, dan seorang lelaki dari al Furs yang dikenal dengan nama Jadd Jamirah.

Mereka berdua sempat singgah di Thaif, dan mencari informasi dari orang-orang Quraisy yang sedang berdagang di sana. Orang Quraisy ini sempat gembira karena Kisra Persia menunjukkan sikap bermusuhan dengan Nabi SAW, yang artinya berada di pihak yang sama dengan mereka. Kedua utusan Badzan ini meneruskan perjalanan ke Madinah.

Sesampainya di Madinah dan menghadap Nabi SAW, Abanauah menyampaikan suratdari Badzan, dan berkata,
"Sesungguhnya Kisra telah menulis surat kepada Badzan agar mengirim utusan kepadamu yang dapat membawamu menghadap kepada Kisra, dan Badzan menyuruhku agar engkau ikut bersamaku."

Rasulullah SAW hanya tersenyum dan menyuruh dua utusan tersebut beristirahat terlebih dahulu, dan meminta mereka menemui beliau lagi keesokan harinya.
Ketika Abanauah dan Jadd Jamirah menemui Nabi SAW keesokan harinya, Beliau memberitakan bahwa Kisra Persia akan dibinasakan oleh Allah, dan putranya, Shiruyah akan mengalahkannya pada tanggal, bulan dan tahun yang disebutkan beliau.

Tentu saja kedua orang utusan ini terkejut dan setengah tak percaya, mereka berkata,
"Apakah engkau tahu benar apa yang engkau katakan? Dan bolehkah kami menulis mengenai hal ini untuk pimpinan kami, Badzan?"
"Silahkan engkau tulis," Kata Nabi SAW,
"Dan katakan juga kepadanya: Jika kamu masuk Islam, maka Nabi SAW akan mengaruniakan kepadamu apa yang ada dalam kekuasaanmu saat ini."

Mereka menulis secara lengkap pembicaraan Rasulullah SAW, yang bisa dikatakan sebagai ramalan atas kerajaan Persia, setelah itu berpamitan. Beliau memberikan hadiah pada Jadd Jamirah, sebuah ikat pinggang yang di dalamnya berisi emas dan perak. Kedua orang ini kembali ke Yaman, dan ketika diceritakan apa yang dialami bersama Nabi SAW, Badzan hanya berkata,
"Demi Allah ucapan itu bukanlah ucapan seorang raja. Kita akan menunggu apakah ucapannya itu benar atau tidak?"

Tak lama berselang, datanglah utusan dari Persia yang membawa surat Shiruyah untuk Badzan, surat itu berisi sebagai berikut:
"Amma Ba'du, sesungguhnya aku telah membunuh Kisra sebagai bentuk kemarahan rakyat Persia, karena ia telah membolehkan pembunuhan tokoh-tokoh mereka. Hendaklah engkau menaatiku, dan janganlah engkau mencaci ‘seorang lelaki’ (yakni Nabi SAW) yang karena dia, Kisra telah menulis surat kepadamu."

Setelah membaca surat Shiruyah tersebut, Badzan merasa yakin bahwa Muhammad adalah benar-benar utusan Allah, ia pun memeluk Islam beserta orang-orang Persia yang berada di Yaman, termasuk Abanauah dan Jadd Jamirah.

Ali Bin Abi Thalib RA



Tumbuh dalam Didikan Kenabian Nabi SAW

Ali bin Abi Thalib masih sepupu Nabi SAW, putra dari Abi Thalib bin Abdul Muthalib, paman yang mengasuh beliau sejak usia delapan tahun. Pamannya ini bersama Khadijah, istri beliau menjadi pembela utama beliau untuk mendakwahkan Islam selama tinggal di Makkah, walau Abi Thalib sendiri meninggal dalam kekafiran. Ali bin Abi Thalib lahir sepuluh tahun sebelum kenabian, tetapi telah diasuh Nabi SAW sejak usia 6 tahun.

Sebagian riwayat menyebutkan ia orang ke dua yang memeluk Islam, yakni setelah Khadijah, riwayat lainnya menyebutkan ia orang ke tiga, setelah Khadijah dan putra angkat beliau Zaid bin Haritsah. Bisa dikatakan ia tumbuh dan dewasa dalam didikan akhlakul karimah Nabi SAW dan bimbingan wahyu. Maka tidak heran watak dan karakter Ali bin Abi Thalib mirip dengan Nabi SAW. Dan secara keilmuan, ia mengalahkan sebagian besar sahabat lainnya, sehingga beliau SAW pernah bersabda,
"Ana madinatul ilmu, wa Ali baabuuha…"(Saya kotanya ilmu dan Ali adalah pintunya).
Apalagi, ia kemudian dinikahkan dengan putri kesayangan Nabi SAW, Fathimah az Zahra, sehingga bimbingan pembentukan kepribadian Ali bin Abi Thalib oleh Nabi SAW terus berlanjut hingga kewafatan beliau.


Jiwa Perjuangan dan Kepahlawanan Ali bin Abi Thalib

Salah satu yang terkenal dari Ali bin Abi Thalib adalah sifat ksatria dan kepahlawanannya. Bersama pedang kesayangannya yang diberi nama Dzul Fiqar, sebagian riwayat menyatakan pedangnya tersebut mempunyai dua ujung lancip, ia menerjuni hampir semua medan jihad tanpa sedikit pun rasa khawatir dan takut. Walau secara penampilan fisiknya Ali tidaklah kekar dan perkasa seperti Umar bin Khaththab misalnya, tetapi dalam setiap duel dan pertempuran dengan pedangnya itu ia hampir selalu memperoleh kemenangan. Tidak berarti bahwa ia tidak pernah terluka dan terkena senjata musuh, hanya saja luka-luka yang dialaminya tidak pernah menyurutkan semangatnya. Nabi SAW seolah mengokohkan kepahlawanannya dengan sabda beliau,
"Tiada pedang (yang benar-benar hebat) selain pedang Dzul Fiqar, dan tiada pemuda (yang benar-benar ksatria dan gagah berani) selain Ali bin Abi Thalib…" (Laa fatan illaa aliyyun).

Ali bin Abi Thalib tidak pernah ketinggalan berjuang bersama Rasulullah SAW menerjuni medan pertempuran. Ketika perang Badar akan dimulai, tiga penunggang kuda handal dari kaum musyrik Quraisy maju menantang duel. Mereka dari satu keluarga, Utbah bin Rabi'ah, Syaibah bin Rab'iah dan Walid bin Utbah. Tampillah tiga pemuda Anshar menyambut tantangan mereka, Auf bin Harits al Afra, Muawwidz bin Harits al Afra dan Abdullah bin Rawahah. Tetapi tokoh Quraisy ini menolak ketiganya, dan meminta orang terpandang dari golongan Quraisy juga. Nabi SAW memerintahkan Ubaidah bin Harits, Hamzah dan Ali bin Abi Thalib. Ali menghadapi Walid, sebagian riwayat menyatakan ia menghadapi Syaibah. Ini adalah pertempuran pertamanya, tetapi dengan mudah Ali mengalahkan lawannya, yang jauh lebih terlatih dan berpengalaman.

Pada perang Uhud, ketika pemegang panji Islam, Mush'ab bin Umair menemui syahidnya, Nabi SAW memerintahkan Ali menggantikan kedudukannya. Tangan kiri memegang panji, tangan kanan mengerakkan pedang Dzul Fiqarnya, menghadapi serangan demi serangan yang datang. Tiba-tiba terdengar tantangan duel dari pemegang panji pasukan musyrik, yakni pahlawan Quraisy Sa’ad bin Abi Thalhah. Karena masing-masing sibuk menghadapi lawannya, tantangan tersebut tidak ada yang menanggapi, ia pun makin sesumbar, dan Ali tidak dapat menahan dirinya lagi. Setelah mematahkan serangan lawannya, ia meloncat menghadapi orang yang sombong tersebut, ia berkata,
"Akulah yang akan menghadapimu, wahai Sa'ad bin Abi Thalhah. Majulah wahai musuh Allah…!!"

Merekapun terlibat saling serang dengan pedangnya, di sela-sela dua pasukan yang bertempur rapat.
Pada suatu kesempatan, Ali berhasil menebas kaki lawannya hingga jatuh tersungkur. Ketika akan memberikan pukulan terakhir untuk membunuhnya, Sa'ad membuka auratnya dan Ali-pun berpaling dan berlalu pergi, tidak jadi membunuhnya. Ketika seorang sahabat menanyakan alasan mengapa tidak membunuhnya, ia berkata,
"Ia memperlihatkan auratnya, sehingga saya malu dan kasihan kepadanya…"

Usai pertempuran, Ali dikerumuni orang-orang yang berusaha mengobati lukanya, tetapi kesulitan karena begitu banyak luka yang dialaminya. Ketika Nabi SAW menghampiri, mereka berkata,
"Wahai Rasulullah, kami merasa kesulitan, kalau kami obati satu lukanya, terbukalah luka lainnya…"

Akhirnya beliau turun tangan ikut membalut luka, dan dengan berkah tangan beliau yang penuh mu'jizat, luka- lukanya dapat diobati dengan mudah.
Setelah itu beliau bersabda,
"Sesungguhnya seseorang yang mengalami semua ini karena membela agama Allah, sungguh telah berjasa besar dan diampuni dosa-dosanya…"

Pada perang Khandaq, sekelompok kecil pasukan musyrik Quraisy berhasil menyeberangi parit, mereka ini antara lain, Amr bin Abdi Wudd, Ikrimah bin Abu Jahal dan Dhirar bin Khaththab. Segera saja Ali bin Abi Thalib dan sekelompok sahabat yang berjaga pada sisi tersebut mengepung mereka. Amr bin Abdi Wudd adalah jagoan Quraisy yang jarang memperoleh tandingan. Siapa pun yang melawannya kebanyakan akan kalah. Ia melontarkan tantangan duel, dan segera saja Ali bin Abi Thalib menghadapinya. Amr bin Wudd sempat meremehkan Ali karena secara fisik memang ia jauh lebih besar dan gagah. Setelah turun dari kudanya, ia menunjukkan kekuatannya, ia menampar kudanya hingga roboh. Namun semua ia tidak membuat Ali gentar, bahkan dengan mudah Ali merobohkan dan membunuhnya. Melihat keadaan itu, anggota pasukan musyrik lainnya lari terbirit-birit sampai masuk parit untuk menyelamatkan diri.

Menjelang perang Khaibar, Nabi SAW bersabda sambil memegang bendera komando (panji peperangan),
"Sesungguhnya besok aku akan memberikan bendera ini pada seseorang, yang Allah akan memberikan kemenangan dengan tangannya. Ia sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya"

Esoknya para sahabat berkumpul di sekitar Rasullullah SAW dan sangat berharap dialah yang akan ditunjuk Beliau untuk memegang bendera tersebut. Alasannya jelas, 'Sangat Mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya juga mencintainya', derajad apalagi yang lebih tinggi daripada itu, dan itu diucapkan sendiri oleh beliau. Pandangan Rasulullah SAW berkeliling untuk mencari seseorang, para sahabat mencoba menunjukkan diri dengan harapan akan ditunjuk beliau.Tetapi beliau tidak menemukan yang dicari, maka beliau bersabda,
"Dimanakah Ali bin Abi Thalib?"

Seorang sahabat menjelaskan kalau Ali sedang mengeluhkan matanya yang sakit. Nabi SAW menyuruh seseorang untuk menjemputnya, dan ketika Ali telah sampai di hadapan Rasulullah SAW, beliau mengusap mata Ali dengan ludah beliau dan mendo'akan, seketika sembuh. Sejak saat itu Ali tidak pernah sakit mata lagi. Beliau menyerahkan panji peperangan kepada Ali. Ali berkata,
"Wahai Rasulullah, aku akan memerangi mereka hingga mereka sama seperti kita!!"
"Janganlah terburu-buru," Kata Nabi SAW.
"Turunlah kepada mereka, serulah mereka kepada Islam. Demi Allah, lebih baik Allah memberi hidayah mereka melalui dirimu, daripada ghanimah berupa himar yang paling elok sekali pun!!"

Sebagian riwayat menyebutkan, pemilihan Ali sebagai pemegang komando atau panji, setelah dua hari sebelumnya pasukan muslim gagal merebut atau membobol benteng Na'im, benteng terluar dari Khaibar. Khaibar sendiri memiliki delapan lapis benteng pertahanan yang besar, dan beberapa benteng kecil lainnya.

Ketika perisainya pecah pada peperangan ini, Ali menjebol pintu kota Khaibar untuk menahan serangan panah yang bertubi-tubi, sekaligus menjadikannya sebagai tameng untuk terus menyerang musuh.
Usai perang, Abu Rafi dan tujuh orang lainnya mencoba membalik pintu tersebut tetapi mereka tidak kuat. Dalam peperangan ini benteng Khaibar dapat ditaklukkan dan orang-orang Yahudi yang berniat menghabisi Islam justru terusir dari jazirah Arabia.

Begitulah, hampir tidak ada peperangan yang tidak diterjuninya, dan Ali bin Abi Thalib selalu menunjukkan kepahlawanan dan kekesatriaannya, sekaligus kualitas akhlaknya sebagai didikan wahyu, didikan Nabi SAW. Sampai pernah diceritakan, dalam suatu pertempuran Ali sudah hampir membunuh musuhnya, tiba-tiba musuh tersebut meludahi wajahnya. Tampak tersirat kemarahan Ali, tetapi justru ia meninggalkan dan membiarkannya hidup. Sebagian anggota pasukan muslim melihatnya dengan heran menanyakan sikapnya tersebut. Ali menjawab,
"Ketika aku bertempur dan akan membunuhnya, aku masih berjuang karena agama Allah. Tetapi ketika ia meludahiku dan ada sedikit kemarahan dalam diriku, aku takut membunuhnya itu karena (nafsu) kemarahanku yang muncul."


Sebagian Kisah Pancaran Akhlak Ali bin Abi Thalib

Salah satu bentuk didikan Nabi SAW yang jelas-jelas mencerminkan kepribadian beliau pada diri Ali adalah kesederhanaan (zuhud)-nya. Beberapa orang sahabat sering melihat Ali bin Abi Thalib menangis pada malam-malamnya, sambil berbicara sendiri,
"Wahai dunia, apakah engkau hendak menipuku? Apakah kamu mengawasiku? Jauh sekali… jauh sekali… Godalah orang selain aku, sesungguhnya aku telah menceraikanmu dengan thalak tiga. Umurmu pendek, majelis-majelismu sangat hina, kemuliaan dan kedudukanmu sangat sedikit dan tidak berarti (akan habis). Alangkah sengsaranya aku, bekalku sedikit sedangkan perjalanan sangat jauh dan jalannya sangat berbahaya."

Itulah prinsip-prinsip mendasar dari akhlak Ali bin Abi Thalib, yang secara umum mewarnai jalan kehidupannya, termasuk ketika ia menjabat sebagai khalifah.


Bekerja pada Orang Yahudi

Suatu ketika Rasullullah SAW mengunjungi kedua cucunya, Hasan dan Husain, tetapi di sana beliau hanya menjumpai putrinya, Fathimah Ketika beliau bertanya tentang keberadaan kedua cucunya, Fathimah berkata kalau keduanya sedang mengikuti ayahnya, Ali bin Abi Thalib, yang sedang bekerja menimba air pada orang Yahudi karena pada hari itu memang tidak ada persediaan makanan bagi mereka sekeluarga.

Rasulullah SAW menjumpai Ali di kebun orang Yahudi itu, ia menimba air untuk menyiram tanaman di kebun tersebut dengan upah satu butir kurma untuk satu timba air. Hasan dan Husain sendiri sedang bermain-main di suatu ruang sementara tangannya sedang menggenggam sisa-sisa kurma. Nabi SAW berkata kepada Ali,
"Wahai Ali, apa tidak sebaiknya engkau bawa pulang anak-anakmu sebelum terik matahari akan menyengat mereka?"
Ali menjawab,
"Wahai Rasulullah, pagi ini kami tidak memiliki sesuatu pun untuk dimakan, karena itu biarkanlah kami disini hingga bisa mengumpulkan lebih banyak kurma untuk Fathimah."

Rasulullah SAW akhirnya ikut menimba air bersama Ali, hingga terkumpul beberapa butir kurma untuk bisa dibawa pulang.


Pengadilan Atas Kepemilikan Baju Besi

Ketika menjadi khalifah, Ali bin Abi Thalib telah kehilangan baju besinya pada perang Jamal. Suatu ketika ia berjalan-jalan di pasar, ia melihat baju besinya ada pada seorang lelaki Yahudi. Ali menuntut haknya atas baju besi itu dengan menunjukkan ciri-cirinya, tetapi si Yahudi bertahan bahwa itu miliknya.

Ali mengajak si Yahudi menemui kadhi (hakim) untuk memperoleh keputusan yang adil. Yang menjadi kadhi adalah Shuraih, seorang muslim. Ali menyampaikan kepada kadhi tuntutan kepemilikannya atas baju besi yang sedang dibawa oleh si Yahudi. Ia menunjukkan ciri-cirinya, dan membawa dua orang saksi, Hasan putranya sendiri dan hambanya yang bernama Qanbar.

Mendengar penuturan Ali, yang tak lain adalah Amirul Mukminin yang menjadi ‘Presiden’ kaum muslimin saat itu, Shuraih berkata dengan tegas,
"Gantikan Hasan dengan orang lain sebagai saksi, dan kesaksian Qanbar saja tidak cukup!"
"Apakah engkau menolak kesaksian Hasan?" Tanya Ali kepada Shuraih.
"Padahal Rasulullah pernah bersabda Hasan dan Husain adalah penghulu pemuda di surga?"
"Bukan begitu Ali," Kata Shuraih, ia sengaja tidak menyebut Amirul Mukminin, karena begitulah kedudukannya di depan hukum, ia meneruskan,
"Engkau sendiri pernah berkata bahwa tidak sah kesaksian anak untuk bapaknya."

Karena Ali tidak bisa menunjukkan saksi lain yang menguatkan kepemilikannya atas baju besi itu, Shuraih memutuskan baju besi itu milik si Yahudi, dan Ali menerima keputusan tersebut dengan lapang dada.

Si Yahudi begitu takjub dengan peristiwa ini. Ia-pun mengakui kalau baju itu ditemukannya di tengah jalan, mungkin terjatuh dari unta milik Ali. Ia langsung mengucapkan syahadat, menyatakan dirinya masuk Islam, dan mengembalikan baju besinya kepada Ali. Tetapi karena keislamannya ini, justru Ali menghadiahkan baju besi tersebut kepadanya, dan menambahkan beberapa ratus uang dirham.
Lelaki ini selalu menyertai Ali sehingga ia terbunuh syahid dalam perang Shiffin.


“Engkau Bebas karena Allah!”

Suatu ketika Ali memanggil salah seorang budaknya, tetapi tidak ada jawaban. Sampai dua dan tiga kali ia mengulanginya tetapi belum juga datang. Maka Ali mencari keberadaan budaknya tersebut, yang ternyata tidak jauh dari tempat itu. Dengan heran Ali berkata,
”Tidakkah engkau mendengar panggilanku, wahai Ghulam!”
Dengan santai budaknya itu berkata,
“Ya, saya mendengar!”
“Mengapa engkau tidak memenuhi panggilanku?”
Jawabannya sungguh mengejutkan, budak itu berkata,
“Saya sangat mengenalmu, dan saya merasa tidak bakal dihukum, karena itu saya membiarkan saja panggilan itu!”

Bagi Ali, seorang budak dimaksudkan untuk memudahkan kehidupan, khususnya untuk merambah jalan akhirat, kalau sikapnya seperti itu justru akan mengotori hati saja. Karena itu ia berkata,
“Engkau bebas karena Allah, engkau aku merdekakan!”


Karena Ali Memuliakan Seorang Lanjut Usia

Suatu ketika di shalat jamaah subuh, tiba-tiba Nabi SAW ruku’ dalam waktu cukup lama. Bukan karena apa, tetapi malaikat Jibril datang dan menggelar salah satu sayapnya di punggung beliau sehingga beliau tidak bisa bangkit. Setelah Jibril pergi barulah beliau bisa i’tidal dan meneruskan shalat hingga selesai. Usai shalat para sahabat terheran-heran, dan salah satunya bertanya,
“Apa yang terjadi, wahai Rasulullah, sehingga engkau memperpanjang ruku begitu lama yang sebelumnya belum pernah engaku lakukan?”

Nabi SAW menceritakan tentang malaikat Jibril yang menahan beliau dalam ruku. Sahabat itu bertanya lagi,
“Mengapa bisa seperti itu?”
Nabi SAW bersabda,
“Aku tidak tahu!”

Tidak berapa lama Jibril datang lagi dan berkata,
“Wahai Muhammad, Ali tergesa-gesa untuk ikut berjamaah, tetapi di depannya ada seorang lelaki tua nashrani yang berjalan sangat pelan. Ali tidak mau mendahuluinya karena sangat memuliakan lelaki tua itu! Karena itu Allah memerintahkan aku untuk menahanmu dalam ruku, agar Ali dapat ikut jamaah!”

Nabi SAW tampak terkagum-kagum dengan penjelasan Jibril tersebut, tetapi Jibril meneruskan,
“Yang lebih mengagumkan lagi, Allah memerintahkan malaikat Mikail untuk menahan perputaran matahari dengan sayapnya, sehingga waktu subuh tidak habis karena menunggu Ali hadir!”

Nabi SAW memanggil Ali. Ketika Nabi SAW meng-konfirmasi hal itu, Ali berkata dengan tenangnya seolah-olah tidak ada sesuatu yang ajaib terjadi,
“Benar, ya Rasulullah, lelaki tua itu sangat pelan jalannya dan aku tidak suka untuk mendahuluinya karena memuliakannya. Tetapi ternyata ia tidak datang untuk shalat, untungnya engkau masih dalam keadaan ruku’ sehingga aku tidak tertinggal shalat jamaah bersamamu!”
Nabi SAW hanya tersenyum, dan menceritakan duduk permasalahannya kepada para sahabat. Setelah itu beliau bersabda,
“Inilah derajad orang yang memuliakan seorang lanjut usia, walau ia bukan seorang muslim!”


Ali di Jalan Zakaria dan Fathimah di Jalan Maryam

Suatu ketika Ali bertanya kepada istrinya,
“Wahai Fathimah, ada makanan untuk kusantap hari ini?”
Fathimah berkata,
“Tidak ada, aku berpagi hari dalam keadaan tidak ada makanan untukmu, begitu juga untukku dan kedua anak kita!”
“Tidakkah engkau menyuruhku untuk untuk mencari makanan?” Tanya Ali.
“Aku malu kepada Allah untuk meminta kepadamu yang engkau tidak memilikinya!”

Kemudian Ali keluar rumah, ia yakin dan khusnudzon kepada Allah dan meminjam uang satu dinar untuk membeli makanan bagi keluarganya. Tetapi belum sempat membelanjakan uang satu dinar itu, ia melihat sahabat Nabi SAW lainnya, Miqdad al Aswad, sedang berjalan sendirian di padangpasir yang panas. Ali menghampirinya dan berkata,
“Wahai Miqdad, apa yang menggelisahkanmu?”
Miqdad berkata,
“Wahai Abul Hasan, janganlah mengganggu aku, janganlah menanyakan kepadaku sesuatu yang di belakangku (peristiwa yang menimpa sebelumnya)!”
Ali berkata lagi,
“Wahai Miqdad, tidak seharusnya engkau menyembunyikan keadaanmu dari aku!!”
“Baiklah kalau engkau memang memaksa, demi Dzat yang memuliakan Muhammad dengan kenabian, tidak ada yang menggelisahkan aku dalam perjalanan ini, kecuali karena aku meninggalkan keluargaku dalam keadaan kelaparan. Ketika aku mendengar tangisan mereka, bumi serasa tidak mampu memikulku, aku pergi dengan tidak mempunyai muka (sangat malu)!”

Miqdad enggan menceritakan keadaannya karena ia sangat mengenal Ali. Keadaan Ali tidaklah lebih baik daripada dirinya, apalagi ia seorang yang sangat perasa dan pemurah. Dan hasil dari ceritanya itu langsung tampak. Ali mengucurkan air mata hingga membasahi jenggotnya. Dengan terbata ia berkata,
“Aku bersumpah dengan Dzat yang engkau bersumpah dengan-Nya, tidaklah menggelisahkanku kecuali seperti yang menggelisahkan engkau juga, untuk itu aku telah meminjam uang satu dinar, ini untukmu saja, ambillah! Aku dahulukan engkau daripada diriku sendiri!”

Miqdad menerima uang itu dengan gembira, dan Ali berlalu pergi ke Masjid untuk shalat zhuhur karena waktunya hampir menjelang. Ia tetap tinggal di masjid hingga shalat ashar dan maghrib. Usai shalat mangrib, tiba-tiba Nabi SAW menghampirinya dan berkata,
“Wahai Abul Hasan, apakah kamu punya makanan untuk kita makan malam?”

Pada masa Nabi SAW, beliau lebih sering mengerjakan shalat jamaah isya’ pada akhir waktu, yakni menjelang tengah malam. Karena itu setelah shalat magrib biasanya para sahabat pulang dahulu. Ali tersentak kaget mendengar pertanyaan beliau, ia tidak bisa berkata apa-apa karena malu kepada Nabi SAW. Karena ia diam saja, beliau bersabda lagi,
“Jika kamu berkata ‘tidak’ maka aku akan pergi. Jika engkau berkata ‘ya’ maka aku akan pergi bersamamu!!”
“Baiklah, ya Rasulullah, marilah ke rumah saya!”

Mereka berjalan beriringan ke rumah Ali, dan Fathimah langsung menyambut ketika mengetahui kedatangan Rasulullah SAW, dan mengucap salam. Beliau menjawab salam putri tercintanya itu sambil mengusap kepalanya, kemudian bersabda,
“Bagaimana engkau malam ini? Sudah siapkah makan malam untuk kita? Semoga Allah mengampunimu, dan Dia telah melakukannya!”

Fathimah mengambil mangkuk besar berisi makanan, yang beberapa waktu sebelumnya tiba-tiba saja telah berada di rumahnya tanpa tahu siapa yang membawakannya. Ali mencium aroma makanan yang sangat lezat, yang belum pernah rasanya ia menemukan makanan seperti itu. Ia memandang tajam kepada istrinya, sebuah pertanyaan keras dan kemarahan bercampur dalam pandangannya itu. Fathimah berkata,
“Subkhanallah, alangkah tajamnya pandanganmu! Apakah aku telah berbuat kesalahan sehingga engkau tampak begitu murka?”
Ali berkata,
“Apakah ada dosa yang lebih besar daripada yang engkau perbuat hari ini? Tadi pada aku menjumpaimu dan engkau bersumpah tidak memiliki makanan apapun, bahkan sudah dua hari lamanya!!”
Fathimah menengadah ke langit sambil berkata,
“Tuhanku Maha Tahu, bahwa aku tidaklah berkata kecuali kebenaran semata!!”

Nabi SAW tersenyum melihat pertengkaran kecil tersebut. Sambil meletakkan tangan di pundak Ali dan mengguncang-guncangkannya, beliau bersabda,
“Wahai Ali, inilah pahala dinarmu, inilah balasan dinarmu. Allah memberi rezeki kepada siapa saja yang dikehendakinya!”

Sesaat kemudian Nabi SAW menangis penuh haru, dan bersabda,
“Segala puji bagi Allah, Dzat yang telah mengeluarkan kalian berdua di dunia ini, yang telah memperjalankan engkau, wahai Ali di jalan (Nabi) Zakaria, dan memperjalankan engkau, wahai Fathimah di jalan Maryam!!”