Cari Artikel

Mimpi Sa'id Bin Harits



Sebagian orang berkata bahwa mimpi itu adalah bunga tidur. Ada juga yang mengatakan mimpi hanyalah seseorang yang ingin mencapai sesuatu namun sangat sulit diwujudkan dalam kenyataan. Tapi mimpi seorang yang Shaleh lagi bersungguh-sungguh dalam amal agama maka itu adalah isyarat atau ilham dari Rabb yang maha suci, bahkan apabila kita bermimpi bertemu Rasulullah saw maka itu adalah sebuah pertemuan dengan Rasulullah saw, sebagaimaa pertemuan Beliau dengan sahabat-sahabatnya sewaktu mereka masih hidup, karena Syaitan tidak atau pernah bisa meniru bentuk fisik dari Rasulullah saw.

Berikut sebuah mimpi yang menjadi penyemangat berjihad di jalan Allah SWT. Mimpi ini dialami oleh seorang yang Shaleh bernama Sa'id bin Harits. Mimpi ini ia alami pada waktu ia berjihad melawan Romawi pada tahun 38H.

Sa'id bin Harits dikenal sebagai ahli ibadah. Siangnya diisi dengan puasa dan malamnya diisi dengan tahajud. Begitu juga dengan amalan dzikir tilawahnya selalu istiqamah dia kerjakan, seakan-akan itu adalah menu makanan sehari-hari yang tidak bisa ia tinggalkan.
Malam itu Sa'id sedang bergantian berjaga/ khirosah dengan teman satu tendanya di daerah pertahanan musuh. Karena merasa ngantuk maka Sa'id minta agar diberi kesempatan tidur lebih dulu sehingga nanti ia bisa bangun tengah malam bergiliran untuk mendapat tugas menjaga temannya sekalian mendirikan Qiyamul lail. Lalu Beliau tidur. Disaat tidur terdengar Sa'id berbicara dan tertawa, kemudian ia berkata;
"semalam" setelah berkata seperti itu tiba- tiba ia melompat dari tempat tidurnya dan terbangun dan bergegas ia bertahlil, bertakbir dan bertahmid.
Sepontan saja teman satu tendanya merasa kaget dan menanyakan apa yang baru saja ia alami dalam mimpinya.
Sa'id menjawab;
“Aku melihat ada dua orang yang belum pernah aku lihat kesempurnaan dalam diri mereka dan belum pernah aku melihat mereka sebelumnya. Dua orang itu berkata;
"Wahai Sa'id berbahagialah sesungguhnya Allah SWT telah mengampuni dosa-dosamu, memberkati usahamu, menerima amalmu dan mengabulkan do'amu. Pergilah bersama kami, agar kami menunjukkan kepadamu kenikmatan-kenikmatan apa yang telah dijanjikan oleh Allah SWT kepadamu"
Tak henti-hentinya Sa'id menceritakan yang dilihatnya, mulai dari gedung-gedung yang megah, para Bidadari, permadani-permadani yang indah, sungai madu dan cangkir- cangkir yang terbuat dari emas hingga tempat tidur yang di atasnya ada seorang Bidadari yang tubuhnya bagaikan mutiara yang tersimpan di dalamnya. Bidadari itu berkata kepadanya;
"Sudah lama kami menunggu kehadiranmu"
Lalu aku bertanya kepadanya;
"Dimana aku?"
Dia menjawab;
"Di Syurga Ma'wa"
Aku bertanya lagi;
"Siapa kamu?"
Dia menjawab;
"Aku adalah istrimu untuk selamanya"
Said melanjutkan ceritanya;
“Kemudian aku ulurkan tanganku untuk menyentuhnya. Akan tetapi dia menolak dengan lembut sambil berkata;
"Untuk saat ini jangan dulu, karena engkau akan kembali ke dunia"
Aku berkata kepadanya;
"Aku tidak mau kembali"
Lalu dia berkata;
"Hal itu adalah keharusan, kamu akan tinggal disana selama 3 hari, lalu kemudian berbuka puasa bersama kami pada malam ketiga. Insya Allah"
Lalu aku berkata;
"Semalam, semalam"
Dia menjawab;
"Hal itu adalah kepastian"
"Kemudian aku bangkit dari hadapannya, dan aku melompat karena dia berdiri dan saya bangun dari tidurku"

Mendengar cerita itu, sahabatnya berkata;
"Bersyukurlah kepada Allah wahai saudaraku, karena Dia telah memperlihatkan pahala dari amalmu"
Lalu Sa'id bertanya;
"Apakah ada orang lain yang bermimpi seperti mimpiku?"
"Tidak ada"
"Dengan nama Allah, aku meminta kepadamu untuk merahasiakan hal ini selama aku masih hidup"
"Baiklah" Jawabnya.

Lalu Sa'id keluar untuk berjihad mengangkat pedang melawan musuh-musuh Allah sambil berpuasa, dan dimalam hari ia melakukan Shalat malam, tilawah dan dzikir sambil dipenuhi isak tangis. Sampai pada malam ketiga. Ia masih saja berperang melawan musuh, ia membabatkan musuh-musuhnya tanpa sedikitpun terluka. Pada saat mahari menjelang terbenam, seseorang melemparkan panahnya dari atas benteng dan tepat mengenai tenggorokannya. Kemudian ia jatuh tersungkur, sahabat yang satu tenda mendekatinya dan berkata kepadanya;
"Selamat atas kemenanganmu, kamu akan berbuka pada malam ini, seandainya aku bisa bersamamu, seandainya...."
Dengan sangat lirih meregang nyawa Sa'id ingin mengatakan;
"Rahasiakan cerita ini sampai aku meninggal"
Kemudian dari bibirnya keluar kata-kata;
"Segala puji bagi Allah yang telah menepati janjiNya kepada kami"
Maka demi Allah, ia tidak berucap kata-kata selain itu sampai ia meninggal.
Sahabat itupun berlari ke kawan-kawannya lalu menyeru dengan lantang;
"Wahai hamba-hamba Allah, hendaklah kalian semua melakukan amalan untuk hal seperti ini"

Keesokan harinya pasukan Muslim pergi menyerbu benteng musuh dengan niat yang tulus dan dengan hati yang penuh kerinduan kepada Allah SWT. Dan sebelum berlalunya waktu Dhuha benteng sudah bisa dikuasai berkat seorang lelaki Shaleh itu, yaitu Sa'id bin Harits.

Mu'jizat Rasulullah SAW Air Keluar Dari Sela-Sela Jari



Ketika waktu untuk shalat subuh tiba, Rasulullah saw akan berwudhu. Tapi, sama sekali tak ada air, padahal, yang akan berwuhdu cukup banyak.
Para sahabat hendak shalat berjama'ah bersama Rasulullah saw. Tentunya air banyak sangat diperlukan untuk berwudhu.
Rasulullah saw bertanya;
“Apa ada kantung air?”
Seorang sahabat menyaut;
“Ada, ya Rasulullah."
Kemudian seorang sahabat itu membawa kantung air yang bahannya terbuat dari kulit kambing.
Biasanya kantung air itu digunakan untuk membawa persediaan air ketika dalam perjalanan panjang.
Kemudian Rasulullah saw meletakkan tangan kanannya di atas kantung kulit kambing itu. Jari-jarinya terbuka. Dari sela-sela jarinya memancar air yang bening sekali.
Rasulullah saw kemudian berseru kepada Bilal bin Rabah, salah satu sahabat Rasulullah;
“Hai, Bilal, Panggil orang-orang itu untuk berwudhu!”
Orang-orang yang akan shalat subuh itu pun dipanggil oleh Bilal untuk berwudhu dengan air yang memancar dari sela-sela jari Rasulullah saw.
Bukan hanya berwudhu, bahkan seorang sahabat Rasul yang bernama Ibnu Mas’ud sampai meminum air tersebut. Air tersebut memiliki rasa yang sejuk, seperti air yang memancar lagsung dari sumber dalam bahwa tanah. Air tersebut mancur terus sampai semua orang dapat berwudhu.
Itulah salah satu mukjizat yang dikaruniakan oleh Allah yang maha kuasa kepada Nabi Muhammad saw.
Mukjizat merupakan karunia yang diberikan oleh Allah kepada para Nabi.
Setelah selesai menjalankan ibadah shalat subuh, Rasulullah saw duduk dengan para jamaahnya di masjid.
Kemudian Rasulullah saw bertanya kepada para jamaahnya;
“Siapakah orang yang paling menakjubkan imannya?”
Salah satu orang dalam jama'ah menjawab
“Malaikat.”
Rasul pun berkata;
“Bagaimana malaikat tidak beriman, sedangkan mereka pelaksana perintah Allah?”
Berarti, jawaban salah satu sahabat tersebut tidak benar.
Tentu saja malaikat beriman, karena mereka bertugas sebagai pelaksana perintah Allah.
Kemudian sahabat lain menjawab;
“Para nabi!”
Rasul pun berkata;
“Bagaimana para nabi tidak beriman, sedangkan wahyu dari Allah di turunkan kepada mereka?”
“Kalau begitu, sahabat-sabahatmu, ya Rasulullah.” Jawab sahabat.
Rasul pun berkata lagi;
“bagimana mereka tidak beriman, sedangkan mereka menyaksikan mukjizatku, hidup bersamaku, mengenal dan melihatku dengan mata kepala mereka sendiri?”
Sahabat pun bertanya;
“jadi siapa makhluk Allah yang imannya paling menakjubakan, ya Rasulullah?”
Rasulullah saw pun menjawab;
“Kaum yang hidup sesudah kalian,”
Maksudnya adalah umat yang lahir setelah para sahabat rasul sudah tidak hidup lagi atau manusia yang hidup pada masa yang akan datang.
“Mereka membenarkan aku, padahal mereka tidak pernah menyaksikan aku. Mereka menemukan tulisan dan beriman. Mereka mengamalkan apa yang ada dalam tulisan itu. Mereka membelaku, seperti kalian membelaku. Alangkah inginnya aku bertemu dengan mereka!”

Seorang Pendosa


Pada masa Nabi Musa AS, ada seorang lelaki dari umat beliau yang sering kali melakukan maksiat, tetapi tidak lama setelah itu ia bertaubat kepada Allah. Sayangnya lelaki ini masih ‘terkalahkan’ dengan hawa nafsu dan angan-angannya sehingga ia selalu mengulangi maksiat-maksiatnya. Namun demikian kesadarannya selalu muncul dan ia kembali bertaubat kepada Allah. Hal seperti itu terus berulang-ulang dilakukannya hingga dua puluh tahun lamanya. 

Suatu ketika Allah berfirman kepada Nabi Musa tentang lelaki itu,
“Wahai Musa, katakanlah kepada hamba-Ku si fulan bahwa Aku murka kepadanya!!”

Nabi Musa menyampaikan firman Allah tersebut kepadanya, dan ia jadi sangat bersedih. Dalam kekalutannya karena dimurkai Allah, ia lari ke tengah padang yang luas. Di sana ia berseru,
“Ya Allah, sudah habiskah rahmat-Mu, ataukah maksiatku membahayakan diri-Mu? Ya Allah, sudah habiskah simpanan maghfirah (ampunan)-Mu, ataukah Engkau telah kikir dengan hamba-hamba-Mu yang berdosa, dosa manakah yang lebih besar daripada ampunan-Mu? Ya Allah, kemuliaan ada di antara sifat-sifat-Mu yang qadim (telah ada sejak awal dan selalu ada, tidak akan pernah berakhir), sedangkan kehinaan ada di antara sifat-sifatku yang hadist (baru, diadakan/diciptakan dan akan berakhir), bagaimana bisa sifatku mengalahkan sifat-sifat-Mu? Ya Allah, apabila telah Engkau halangi hamba-Mu dari rahmat kasih-Mu, maka kepada siapa lagi mereka akan mengharapkan? Apabila Engkau telah menolak mereka, maka kepada siapa lagi mereka akan mengadu? Ya Allah, kalau memang rahmat-Mu telah habis, dan tidak ada jalan lagi kecuali dengan menyiksa aku, maka pikulkanlah kepadaku semua siksaan yang akan Engkau timpakan kepada semua hamba-hamba-Mu, aku ingin menebus mereka dengan diriku!!”

Tidak ada yang diucapkannya dalam pelarian dan penyendiriannya di padang luas itu, kecuali kalimat-kalimat dalam seruan/munajatnya tersebut. Ia diliputi dengan penyesalan sehingga terlupa, tidak pernah lagi, atau tidak sempat lagi berbuat maksiat.

Setelah berlalu beberapa waktu lamanya, Allah berfirman kepada Nabi Musa,
“Hai Musa, pergilah engkau kepada hamba-Ku si fulan di padang sana, dan katakan kepadanya : Seandainya dosamu memenuhi bumi,  Aku akan tetap melimpahkan ampunan kepadamu, setelah engkau mengenali-Ku dengan kekuasaan-Ku yang sempurna, ampunan dan rahmat-Ku yang tiada batasnya!!”

Memang, semua pertanyaan atau pernyataan dalam munajatnya tersebut, jawabannya adalah tidak atau tidak ada, dan itu benar-benar diketahuinya, dan ia sangat meyakini kebenaran itu. Inilah suatu tingkat ma’rifat (pengenalan) kepada Allah yang dicapainya ketika ia ‘tenggelam’ dalam penyesalan atas dosa-dosanya, yang sedikit atau banyak berperan juga dalam mengundang ampunan Allah. 

Dalam suatu kesempatan, Nabi SAW pernah menyabdakan, bahwa tidak ada suatu suara yang lebih dicintai Allah daripada suara seorang hamba yang berdosa, kemudian bertaubat, dan ia sangat sering menyeru atau menyebut nama-Nya, “Ya Allah, ya Allah,…ya Tuhanku, ya Tuhanku (ya Rabbii, ya Rabbii)!!” 

Maka Allah akan menjawab seruannya, walau hamba itu sendiri tidak mendengar-Nya, “Ya, ya, (labbaik, labbaik) wahai hamba-Ku, mintalah yang engkau kehendaki, engkau di sisi-Ku seperti sebagian malaikat-malaikat-Ku, Aku berada di sisi kananmu, di sisi kirimu, di atasmu dan sangat dekat dengan isi harimu!! Wahai para malaikat-Ku, saksikanlah, sesungguhnya Aku telah mengampuninya!!”

Dalam kesempatan lainnya, Nabi SAW juga bersabda, “Sesungguhnya ada seorang hamba yang melakukan suatu dosa, kemudian ia masuk surga dengan sebab dosa itu!!”

Para sahabat yang berkumpul di sekitar beliau tampak keheranan, dan salah satunya berkata,
“Wahai Rasulullah, bagaimana itu bisa terjadi??”
Dengan tersenyum Nabi SAW bersabda,
“Karena yang terpampang di depan matanya hanyalah bertaubat dari dosa itu, dan ia terus saja berlari darinya (dari dosa itu) hingga akhirnya ia sampai di surga!!”

Abdullah Bin Amr Bin Ash RA



Abdullah bin Amr bin Ash RA adalah putra dari seorang ahli strategy perang dan negarawan ulung, Amr bin Ash, tetapi ia lebih dahulu memeluk Islam daripada bapaknya itu. Ia seorang yang saleh, banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah, kecuali jika sedang berjihad di jalan Allah. Ketika menyandang senjata untuk mempertahankan dan meninggikan kalimat-kalimat Allah, ia akan berada di barisan terdepan karena sangat merindukan memperoleh ‘rezeqi’ kesyahidan.

Dalam usianya yang masih muda, aktivitas ibadahnya begitu tinggi, siang berpuasa, malam dihabiskan dengan tahajud dan membaca Al Qur'an sehingga ia mampu mengkhatamkannya dalam sehari. Ia begitu zuhud, bahkan tidak pernah ia membicarakan masalah duniawiah sejak ia berba'iat kepada Nabi SAW, padahal lingkungan keluarga termasuk kalangan bangsawan dan kaya-raya.

Ketika ia dinikahkan, beberapa hari kemudian ayahnya datang mengunjungi dan bertemu istrinya. Amr bin Ash berkata,
“Bagaimana keadaan kalian?”

Istrinya berkata,
“Sungguh aku tidak mencela akhlak dan kesalehannya, tetapi sepertinya ia tidak membutuhkan seorang wanita di sisinya!!”

Amr bin Ash menatap tidak mengerti, tetapi kemudian ia mendapat penjelasan, kalau Abdullah bin Amr sama sekali belum menyentuhnya dalam beberapa hari setelah menikah itu. Ia begitu intens beribadah seperti biasanya, sehingga tidak ada sedikitpun waktu untuk istrinya. Hal itu memaksa Amr bin Ash melaporkannya kepada Rasululah SAW, sehingga beliau campur tangan untuk ‘mengerem’ semangat ibadahnya. Tetapi di hadapan Rasulullah SAW, Abdullah bin Amr justru berkata,
"Ya Rasulullah, ijinkanlah saya menggunakan sepenuh tenaga saya untuk beribadah kepada Allah?"

Nabi SAW bersabda,
"Jika engkau melakukan semua itu, badanmu akan lemah, matamu akan sakit karena tidak tidur semalaman. Sesungguhnya badanmu punya hak, keluargamu juga punya hak, dan para tamupun punya hak atas dirimu…!"

Maka terjadilah "tawar-menawar" antara Abdullah dan Rasulullah SAW dalam soal ibadahnya. Kalau umumnya manusia akan meminta ijin beribadah seringan dan sesedikit mungkin, maka Abdullah meminta ijin untuk beribadah sebanyak dan seberat mungkin. Dalam soal puasa misalnya, Nabi SAW menyarankannya agar berpuasa tiga hari dalam sebulan, tetapi Abdullah minta tambahan, diberi dua hari dalam seminggu, masih minta tambahan lagi, akhirnya ditetapkan Nabi SAW sehari berpuasa sehari berbuka, yakni puasanya Nabi Dawud AS.

Begitu juga dalam soal mengkhatamkan Al Qur'an, pertama Nabi SAW menyarankannya untuk khatam sebulan sekali saja. Abdullah melakukan penawaran, sehingga Nabi SAW menetapkan 20 hari sekali, kemudian 10 hari sekali, dan seminggu sekali. Tetapi Ibnu Amr bin Ash masih meminta lebih lagi, akhirnya Nabi SAW menetapkannya untuk khatam Al Qur’an setiap tiga hari sekali (dalam riwayat lain, lima hari sekali). Begitu juga soal shalat malam, beliau melarang Abdullah menghabiskan waktu malam untuk shalat sunnah terus-menerus, harus ada waktu untuk mengistirahatkan tubuhnya dengan tidur, dan mempergauli istrinya.

Walau telah dinasehati langsung oleh Nabi SAW, semangatnya untuk beribadah tidak segera mengendor begitu saja, tetapi ia tidak melalaikan kewajiban dan hak-hak keluarga, badan, tamu dan lain-lainnya. Ibadahnya dengan intensitas tinggi masih saja berlangsung tanpa bisa dihalangi lagi. Melihat keadaannya itu, Nabi SAW akhirnya bersabda, "Sesungguhnya engkau tidak tahu, bisa jadi Allah akan memanjangkan umurmu...!!"

Benarlah apa yang disabdakan Nabi SAW, ia mencapai usia tua, tubuhnya mulai lemah dan tulangnya seakan tak mampu menyangga tubuhnya dalam waktu lama. Ia susah payah menetapi amal istiqomah yang telah "dijanjikannya" kepada Nabi SAW di masa mudanya. Ia jadi menyesal mengapa tidak menerima nasehat beliau saat mudanya itu. Ia seringkali berkata, "Aduhai malangnya nasibku, mengapa tidak aku ikuti keringanan yang diberikan Rasulullah SAW…!!"

Abdullah bin Amr mempunyai kebiasaan mencatat apapun yang disabdakan Nabi SAW, dalam sebuah catatan yang disebut Shadiqah, hal ini dimaksudkan agar ia mudah menghafalkannya. Rasulullah SAW memang pernah melarang para sahabat untuk mencatat sabda-sabda beliau karena dikhawatirkan akan tumpang tindih dengan ayat-ayat Al Qur'an. Tetapi kemudian Nabi SAW secara khusus menugaskan beberapa orang sahabat untuk mencatat firman-firman Allah tersebut, dan Ibnu Amr bin Ash tidak termasuk di dalamnya sehingga beliau membiarkannya.

Beberapa sahabat juga berkata,
"Rasulullah SAW juga manusia biasa, terkadang beliau marah, dan dalam marahnya ini beliau mengatakan sesuatu. Begitu juga terkadang beliau hanya bercanda dalam ucapannya itu. Karena itu jangan engkau mencatat apapun yang beliau sabdakan!!"

Karena nasehat mereka ini, Abdullah bin Amr sempat menghentikan kebiasaannya tersebut. Tetapi tampaknya ia merasa ‘gatal’ jika sesaat saja tidak ‘merekam’ apa yang dilakukan Rasulullah SAW. Karena itu ia bertanya kepada Nabi SAW tentang apa yang dilakukannya, termasuk nasehat beberapa orang sahabat, maka beliau bersabda,
"Teruskanlah menulis, demi Allah yang jiwaku ada di tanganNya, setiap perkataanku adalah kebenaran, walaupun aku dalam keadaan marah, ataupun senang."

Abu Hurairah juga pernah berkomentar atas kebiasaan Abdullah bin Amr ini,
"Di antara para sahabat, tidak ada yang menyamai saya dalam hal hafalan hadits-hadits Nabi SAW, kecuali Ibnu Amr bin Ash, karena dia selalu mencatat segala apa yang disabdakan Nabi SAW, sedangkan saya hanya mengandalkan ingatan saja."

Ketika terjadi pertikaian antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah, sesungguhnya ia tidak ingin berpihak kepada kedua kelompok sebagaimana dianut beberapa sahabat seperti Muhammad bin Maslamah, Usamah bin Zaid, dan beberapa sahabat lainnya. Tetapi menjelang terjadinya perang Shiffin, ayahnya, Amr bin Ash yang berpihak kepada Muawiyah mendatanginya dan mengajaknya berperang di pihaknya. Abdullah bin Amr berkata,
"Bagaimana mungkin? Rasulullah SAW telah berwasiat kepadaku untuk tidak menaruh pedangku di leher seorang muslim untuk selama-lamanya…..!!"

Bukan Amr bin Ash namanya kalau tidak mampu bersiasat, ia mengemukakan berbagai alasan, terutama menyangkut "menuntut bela atas pembunuhan Utsman bin Affan". Setelah beberapa argumen ayahnya mampu dipatahkannya, akhirnya Amr bin Ash berkata,
"Ingatkah engkau wahai Abdullah wasiat terakhir Nabi SAW, beliau mengambil tanganmu dan meletakkan di atas tanganku, dan memerintahkan engkau untuk taat kepada ayahmu ini? Dan sekarang saya menghendaki engkau turut bersama kami, berperang bersama kami….!!"

Mendengar argumen ini, Abdullah bin Amr dilanda kebimbangan yang amat sangat. Jauh di dalam hatinya, kebenaran yang sangat diyakininya, ia tidak ingin terlibat dalam pertikaian itu. Tetapi ia seakan tidak punya kekuatan menolak ketika diingatkan akan pesan Nabi SAW dan janjinya untuk melaksanakannya. Akhirnya ia mengikuti pertempuran tersebut dengan setengah hati dan berada di pihak Muawiyah. Ia mengetahui bahwa Ammar bin Yasir berperang di pihak Ali, dan masih jelas terngiang nubuwat Nabi SAW tentang kematian Ammar bin Yasir di tangan para pendurhaka. Ia hadir juga dalam penggalian parit khandaq ketika Nabi SAW menyabdakan hal itu.

Sebagian riwayat menyebutkan, ia tidak pernah mengangkat senjatanya walau ia berada di antara personal pasukan Muawiyah. Tetapi begitu ia mendengar kabar bahwa Ammar bin Yasir telah terbunuh, ia langsung berteriak keras, "Apa? Ammar telah terbunuh, dan kalian pembunuhnya? Kalau demikian kalianlah kaum pendurhaka itu, kalian berperang di jalan yang salah…..!!"

Abdullah bin Amr berjalan berkeliling sambil meneriakkan kata-kata tersebut sehingga melemahkan semangat pasukan Muawiyah. Ketika hal itu dilaporkan kepada Muawiyah, ia memanggil Amr bin Ash dan anaknya tersebut, dan berkatakepada Amr bin Ash,
"Kenapa tidak engkau bungkam anakmu yang gila ini..!!"

Amr bin Ash hanya diam, tetapi justru Abdullah berkata dengan tegas tanpa ketakutan sedikitpun,
"Aku tidak gila, tetapi aku telah mendengar Nabi SAW bersabda kepada Ammar, bahwa ia akan dibunuh oleh kaum yang durhaka atau aniaya…!!"

"Kalau begitu, kenapa engkau ikut bersama kami??" Tanya Muawiyah.
"Tidak, " Kata Abdullah bin Amr, "Aku hanya mengikuti wasiat Nabi SAW untuk taat kepada ayahku, dan akutelah menaatinya dengan pergi kesini, tetapi aku tidak pernah ikut berperang bersamamu…!!"

Di tengah pembicaraan tersebut, pengawal Muawiyah mengabarkan kalau pembunuh Ammar ingin menghadap masuk. Abdullah bin Amr langsung berkata, "Suruhlah dia masuk, dan sampaikan kabar gembira kepadanya, dia akan menjadi umpan api neraka…!!"

Muawiyah menjadi murka mendengar perkataannya tersebut, tetapi Abdullah bin Amr tetap bertahan dengan perkataannya tersebut, bahwa pembunuh Ammar bin Yasir adalah kaum yang durhaka dan berperang di jalan yang salah, begitu Nabi SAW mengabarkan bertahun-tahun sebelumnya, dan ia meyakini akan kebenarannya. Ia berpaling kepada ayahnya dan berkata,
"Kalau tidaklah Rasulullah menyuruh saya menaati ayah, saya tidak akan pernah menyertai perjalanan ayah ke sini, dan kini saya telah memenuhi wasiat beliau…"

Setelah itu Abdullah bin Amr kembali ke Madinah dan mengurung diri di mushalla rumahnya. Ia tidak habis-habisnya menyesali keterlibatannya di perang Shiffin dan berada di pihak Muawiyah. Ia selalu menangis dan mengeluh, "Wahai, apa perlunya aku ke Shiffin…apa perlunya aku memerangi kaum muslimin…!!!"

Suatu hari ia duduk di masjid bersama beberapa orang sahabat, lewatlah Husein bin Ali. Setelah menyampaikan salam, ia berlalu masuk ke masjid tanpa memperdulikan kumpulan sahabat. Abdullah bin Amr berkata,
"Tahukah kalian penduduk bumi yang paling dicintai penduduk langit? Dialah Husein bin Ali yang baru saja berlalu di hadapan kita. Sejak perang Shiffin, ia tidak mau berbicara denganku… Sungguh, ridhanya kepadaku lebih aku sukai daripada barang berharga apapun juga…!!"

Ia meminta tolong kepada sahabat Abu Sa'id al Khudri untuk bisa bertemu dengan Husein, dan mereka diijinkan untuk berkunjung ke rumah cucu kesayangan Rasulullah SAW itu. Terjadilah berbagai macam pembicaraan, sampai akhirnya Husein bertanya, "Apa yang membawamu ikut berperang di pihak Muawiyah?"

Abdullah bin Amr berkata, "Ayahku pernah mengadukan aku kepada Rasulullah karena berpuasa setiap hari, shalat malam sepanjang malam dan mengkhatamkan al Qur'an setiap hari, maka Nabi SAW berwasiat kepadaku, 'Hai Abdullah puasalah dan berbuka, shalatlah malam dan tidurlah, bacalah Qur'an dan berhentilah, dan taatilah ayahmu…' Saat perang Shiffin terjadi, ayahku mendatangiku dan memaksaku mengikutinya dengan membawa wasiat Nabi SAW tersebut… tetapi demi Allah, aku tidak pernah menghunus pedang, melemparkan tombak atau melepaskan anak panah pada perang tersebut…."

Abdullah bin Amr juga menjelaskan apa yang dilakukannya terhadap Muawiyah setelah terbunuhnya Ammar bin Yasir, dan sikapnya meninggalkan pertempuran tersebut. Husein akhirnya ridha kepadanya setelah semua penjelasannya tersebut. Abdullah bin Amr menangis penuh haru.

Pada masa pemerintahan Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Amr meninggal pada usia 72 tahun di mushalla rumahnya, ketika itu ia baru selesai menjalankan shalat dan sedang bermunajat kepada Allah. Sungguh saat akhir yang amat indah (khusnul khotimah) yang amat dirindukan oleh semua kaum muslimin.

Ahir Hayat Si Pendengki



Ada seorang Arab Badui menemui Khalifah al-Mu'thasim, lalu ia dinkat oleh Khalifah menjadi orang dekat dan kepercayaannya, ia kemudian dengan leluasa menemui istrinya tanpa perlu minta izin dulu.

Sang Khalifah memiliki minteri yang memiliki sifat dengki. Melihat kepercayaan yang demikian besar diberikan Khalifah kepada orang Badui itu, ia cemburu dan dengki terhadapnya. Didalam hati ia berkata;
"Kalau aku tidak membunuh orang Badui itu, kelak ia bisa mengambil hati sang Khalifah dan menyingkirkanku"

Kemudian ia merancang sebuah tipu muslihat dengan cara bermanis-manis terlebih dahulu terhadap si Badui itu. Ia berhasil membujuk Badui itu dan mengajaknya mampir ke rumahnya. Disana, ia memasakan makanan untuk orang Badui dengan memasukkan bawang merah sebanyak-banyaknya. Ia berkata;
"Hati-hati, jangan mendekat ke Amirul Mukminin, sebab bila mencium bau bawang merah itu darimu pasti ia sangat terusik, ia membenci aromanya"

Setelah tak beberapa lama, si menteri yang pendengki ini menghadap Khalifah, ia berkata kepada Khalifah;
"Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya orang Badui itu membicarakanmu kepada orang-orang bahwa Tuan mulutnya berbau dan ia hampir mati karena aroma mulut Tuan"

Ketika si orang Badui menemui Khalifah, ia menutup mulutnya dengan lengan bajunya karena khawatir aroma bawang merah yang ia makan tercium oleh Khalifah.
Namun ketika Khalifah melihat orang Badui menutup mulutnya, ia berkata dalam hati;
"Benar, apa yang dikatakan sang menteri mengenai orang Badui ini"
Maka, Khalifah menulis sebuah surat berisi pesan kepada salah seorang pengawalnya, berbunyi;
"Bila pesan ini sampai kepadamu, maka penggallah leher si pembawanya"
Kemudian Khalifah menyerahkan surat itu kepada si Badui seraya berkata;
"Bawalah surat ini untuk si Fulan, setelah itu berikan aku jawabannya"
Si Badui yang begitu lugu dan polos menyanggupi apa yang diperintahkan Khalifah. Ia mengambil surat itu lantas pergi dari sisi Khalifah.
Ketika berada di pintu gerbang, si menteri yang selalu mendengki itu menemuinya seraya berkata;
"Hendak kemana engkau?"
"Aku akan membawa pesan Khalifah ini kepada pengawalnya, si Fulan" Jawab orang Badui.
Dalam hati, si menteri berkata;
"Pasti dari tugas yang di emban orang Badui ini, ia akan memperoleh harta yang banyak"
Maka berkatalah ia kepadanya;
"Wahai Badui, bagaimana pendapatmu bila ada orang yang mau meringankanmu dari tugas yang tentu akan melelahkanmu sepanjang perjalanan nanti, bahkan ia malah memberimu upah 2000 dinar?"
"Kamu seorang pembesar dan juga sang pemutus perkara, apapun pendapatmu lakukanlah!" Kata si Badui
"Berikan surat itu kepadaku!" Kata sang menteri.
Si Baduipun menyerahkan surat kepadanya, lalu sang menteri memberinya upah 2000 dinar. Surat itu ia bawa ke tempat yang dituju.

Sesampainya disana, pengawal yang ditunjuk Khalifah pun membacanya, lalu setelah memahami isinya, ia memerintahkan agar memenggal leher sang menteri.

Setelah beberapa hari, sang Khalifah baru teringat masalah si Badui. Karena itu, ia bertanya tentang keberadaan sang menteri. Lalu ada yang memberitahukan beberapa hari ini tidak muncul dan justru si orang Badui masih ada di kota.
Mendengar informasi itu, sang Khalifah tertegun, lalu memerintahkan agar orang Badui itu dibawa menghadap.

Ketika si Badui hadir, ia menanyakan tentang kondisinya, maka ia pun menceritakan kisahnya dengan sang menteri dan kesepakatan yang dibuat bersamanya sekalipun ia tidak tahu menahu apa urusannya. Dan, ternyata apa yang dilakukannya terhadap dirinya itu, tidak lain hanyalah siasat licik sang menteri dan kedengkian terhadapnya.
Lalu si Badui ini memberi tahukan kepada Khalifah perihal undangan sang menteri kepadanya untuk makan-makan di rumahnya, termasuk menyantap banyak bawang merah dan apa saja yang terjadi disana, ia berkata;
"Wahai Amirul Mukminin, Allah telah membunuh dengki, alangkah adilnya Dia, ia (dengki) memulainya dengan si pemilik (tuan)nya lalu membunuhnya.

Setelah peristiwa itu, si orang Badui dibebas tugaskan dari tugas terdahulu dan diangkat menjadi menteri.
Sang menteri (yang dahulu) telah beristirahat bersama kedengkiannya.

Sumber
Nihaayah azh-Zhaalimiin.
Karya; Ibrahim bin Abdullah al-Hazimy