Cari Artikel

Nabi Idris AS Menyiasati Malaikat Izrail



Menurut sebagian riwayat, Nabi Idris AS belum pernah mengalami kematian ketika hidupnya di dunia seperti halnya Nabi Isa as, hanya saja mempunyai kisah dan keadaan yang berbeda.
Tentang Nabi Isa as dalam versi kita kaum muslimin, ketika pasukan kaum Yahudi berhasil menemukan tempat persembunyian Nabi Isa as dan para sahabat beliau kaum Hawariyyun, Allah SWT mengangkat beliau ke langit, kemudian Allah menyerupakan wajah Yudas Iskariot menyerupai wajah Nabi Isa. Murid beliau yang satu ini berkhianat dan menunjukkan persembunyian beliau kepada kaumYahudi karena iming-iming harta kekayaan. Yudas Iskariot inilah yang ditangkap, disalib, kemudian dibunuh oleh orang-orang Yahudi karena memang memiliki wajah Nabi Isa AS.

Sedang tentang Nabi Idris AS, semuanya berawal dari malaikat maut yang ingin bersahabat dengan beliau. Keinginan dan kerinduan Izrail itu muncul karena setiap hari (pada waktu ashar) dan malamnya (pada waktu subuh) ia melihat begitu indah dan cemerlangnya amal-amal Nabi Idris AS yang diangkat ke langit.

Maka Izrail memohon kepada Allah SWT merealisasikan keinginannya itu, dan Allah mengabulkannya.
Maka Izrail menjelma menjadi manusia dan turun ke bumi.
Nabi Idris AS mempunyai amalan berpuasa setiap harinya sepanjang masa, dan berdiri untuk shalat sepanjang malam setelah waktu berbukanya, hingga matahari terbit.

Izrail dalam bentuk manusia datang bertamu, setelah mengucap salam dan diijinkan untuk masuk, ia langsung duduk di sebelah Nabi Idris. Beliau berkata;
“Apakah engkau mempunyai keperluan dengan aku?”
Tentu saja Nabi Idris AS tidak mengetahui kalau tamunya itu adalah malaikat maut, disangkanya hanya manusia biasa seperti kebanyakan tamu beliau. Izrail berkata;
“Tidak, aku hanya ingin menemani engkau jika diijinkan!”
Nabi Idris mengijinkannya dan beliau meneruskan aktivitas pekerjaan.

Sebagian riwayat menyebutkan, pekerjaan beliau adalah seorang penjahit. Setelah tiba waktu berbuka, datang malaikat dengan membawa hidangan surga.
Nabi Idris menghadapi hidangan itu sambil berkata kepada tamunya;
“Marilah makan bersamaku!”
Tentu saja Izrail tidak memerlukan makanan-makanan itu, maka ia menolak dan mempersilahkan Nabi Idris berbuka dan makan sendirian saja.

Usai berbuka, beliau langsung meneruskan beribadah seperti biasanya, berdiri untuk shalat sepanjang malam itu, sementara Izrail tetap duduk di tempatnya seperti sebelumnya.
Ketika matahari terbit dan Nabi Idris mengakhiri ibadah shalatnya, ia keheranan karena tamunya itu masih saja duduk menemaninya tanpa banyak perubahan seperti sebelumnya. Keheranan yang tidak perlu andai saja beliau tahu kalau tamunya itu seorang malaikat.

Pada pagi hari seperti itu biasanya Nabi Idris mulai bekerja menjahit, tetapi karena hari itu mempunyai tamu yang dalam sehari-semalam ini hanya duduk menemaninya, beliau berkata:
“Wahai Tuan, apakah tuan bersedia berjalan-jalan bersamaku sehingga engkau merasa senang?”
Izrail berkata:
“Baiklah!”

Mereka berdua berjalan, hingga ketika sampai pada suatu ladang, Izrail berkata:
“Apakah engkau mengijinkan aku mengambil beberapa tangkai dari tanaman ini untuk makanan kita berdua?”
“Subkhanallah,” Kata Nabi Idris, “Kemarin aku mengajak makan tetapi engkau menolak makanan yang jelas halalnya, tetapi hari ini engkau ingin makan dari yang haram!”
Malaikat Izrail hanya tersenyum mendengar jawaban itu, kemudian mereka melanjutkan perjalanan.

Mereka terus berjalan hingga empat hari lamanya, dan setiap kali masuk waktu berbuka, datang malaikat membawa hidangan untuk Nabi Idris. Setiap kali beliau mengajak makan hidangan surga itu, tentu saja Malaikat Izrail menolak. Akhirnya Nabi Idris menyadari kalau tamunya ini bukanlah manusia biasa, beliau berkata:
“Sebenarnya siapakah tuan ini?”
Izrail berkata:
“Saya adalah malaikat maut?”
Nabi Idris terkejut mendengarnya, dan berkata:
“Jadi engkau yang mencabut nyawa?”
“Ya,” Jawab Izrail.
Beliau berkata lagi:
“Engkau selalu berada di sisiku sejak empat hari yang lalu, apakah engkau juga mencabut nyawa seseorang (selama itu)?”
Izrail menjawab:
“Ya, bahkan banyak sekali aku mencabut nyawa!”
Beliau berkata:
“Bagaimana engkau melakukannya?”
Izrail berkata:
“Ruh-ruh semua mahluk itu ada di depanku, sebagaimana sebuah hidangan makanan. Mudah sekali aku meraih dan mengambilnya (yang telah tiba waktunya), seperti halnya engkau mengambil makanan di depanmu!”
Nabi Idris manggut-manggut tanda mengerti, walau mungkin beliau tidak melihat langsung bagaimana Malaikat Maut mencabut nyawa seseorang, pada saat yang sama sedang berjalan bersama dirinya selama empat hari terakhir.
Beliau berkata lagi:
“Apakah maksud kedatangamu kepadaku, sekedar berkunjung atau untuk mencabut nyawaku?”
Izrail berkata:
“Aku datang sekedar berziarah kepadamu dengan seizin Allah SWT!”

Sejenak Nabi Idris AS terdiam seperti memikirkan sesuatu, kemudian berkata;
“Wahai Malaikat Maut, kebetulan sekali, sesungguhnya aku mempunyai hajat (keperluan) kepadamu!”
“Apa hajatmu kepadaku?”
“Hajatku kepadamu adalah, hendaklah engkau mencabut nyawaku, dan aku memohon kepada Allah agar Dia menghidupkan aku lagi, sehingga aku bisa makin giat beribadah setelah aku merasakan sakitnya sakaratul maut!”
Izrail berkata;
“Aku tidak bisa mencabut nyawa seseorang kecuali atas seizin Allah, yakni yang telah sampai pada saat ajalnya. Sedangkan saat ini belum tiba saat ajalmu!”

Tetapi sesaat kemudian turun perintah Allah kepada Izrail agar mencabut nyawa Nabi Idris.
Maka Izrail memberitahukan perintah Allah tersebut kepada Nabi Idris, yang dengan senang hati menerimanya.
Izrail segera mencabut nyawa Nabi Idris dan beliau meninggal, tetapi setelah itu Izrail menangis tersedu-sedu karena merasa kehilangan sahabatnya dalam empat hari tersebut. Ia terus menangis dan merendahkan diri kepada Allah, sambil meminta agar Allah menghidupkan kembali Nabi Idris.

Setelah beberapa waktu lamanya Izrail dirundung kesedihan, Allah menghidupkan kembali Nabi Idris. Tentu saja Izrail sangat gembira, dan ia berkata:
“Bagaimana engkau merasakan sakitnya kematian?”
Nabi Idris berkata:
”Sesungguhnya hewan ketika dikelupas kulitnya (dikuliti) dalam keadaan hidup, maka sakitnya kematian itu seribu kali lebih sakit daripada itu!”
Izrail berkata:
“Sesungguhnya aku bersikap sangat lembut dan sangat hati-hati ketika mencabut nyawamu, yang belum pernah aku lakukan sebelumnya kepada siapapun!”
Nabi Idris berkata lagi:
“Aku masih mempunyai hajat kepadamu, sesungguhnya aku ingin melihat neraka jahanam, dan aku berharap bisa makin giat beribadah kepada Allah setelah melihat siksaan, rantai, belenggu dan berbagai macam azab neraka lainnya!”
Izrail berkata:
“Bagaimana aku bisa membawamu ke neraka jahanam tanpa seizin Allah!”

Tetapi sesaat kemudian Allah berfirman kepadanya untuk memenuhi permintaan Nabi Idris tersebut.
Izrail membawa beliau mengunjungi jahanam, memperlihatkan berbagai macam siksaan yang dipersiapkan bagi orang-orang yang mendurhakai Allah, seperti rantai dan belenggu api, ular, kalajengking, aspal, air yang mendidih, zaqqum dan berbagai macam siksaan lainnya. Semua itu membuat Nabi Idris menggigil penuh ketakutan, setelah itu ia membawa beliau kembali ke tempat semula di dunia.

Kemudian Nabi Idris berkata lagi:
“Wahai Malaikat Maut, aku masih mempunyai hajat lainnya kepadamu, yakni bawalah aku ke surga. Jika aku telah melihat dan merasakan kenikmatan surga, aku akan lebih bersemangat dalam beribadah dan melaksanakan ketaatan kepada Allah!”
Lagi-lagi Izrail berkata:
“Bagaimana mungkin aku membawamu ke surga tanpa seizin Allah!”

Dan seperti sebelumnya, Allah menurunkan perintah-Nya agar membawa Nabi Idris ke surga seperti permintaannya.
Segera saja Izrail membawa beliau, dan berhenti di pintu surga, yang dari sana telah terlihat berbagai kenikmatan di dalamnya, tetapi tidak membawa beliau masuk ke dalamnya.
Maka Nabi Idris berkata:
"Wahai saudaraku, aku telah merasakan sakitnya kematian, merasakan (pengaruh) dahsyatnya siksa neraka dan keterkejutan melihatnya. Apakah engkau berkenan meminta kepada Allah agar mengizinkan aku memasuki surga, sekedar minum seteguk airnya, untuk menghilangkan bekas-bekas sakitnya kematian dan dahsyatnya siksaan neraka!”
Izrail memanjatkan doa kepada Allah sesuai permintaan beliau, dan Allah mengabulkan serta mengizinkannya.
Maka Nabi Idris memasuki surga dan hanya minum seteguk air sesuai janjinya.
Tetapi sebelum keluar lagi, beliau meninggalkan terompah beliau di bawah pohon. Setelah berada di pintu surga lagi bersama Izrail, Nabi Idris berkata:
“Wahai Malaikat Maut, terompahku tertinggal di surga, aku akan mengambilnya!”

Nabi Idris segera masuk ke surga, tetapi beberapa waktu lamanya Izrail menunggu beliau tidak keluar juga, maka ia berkata:
“Wahai Idris, segeralah keluar!”
Nabi Idris menyahut dari dalam surga:
“Wahai Malaikat Maut, aku telah mendengar firman Allah bahwa tidak seorang manusia-pun kecuali akan merasakan sakitnya kematian, kemudian akan mendatangi neraka dan merasakan (walau hanya sedikit pengaruhnya) beratnya siksaan di dalamnya. Dan kalau beruntung, dia akan mendatangi surga dan merasakan kenikmatan di dalamnya, dan tidak pernah dikeluarkan lagi. Sesungguhnya aku telah merasakan seperti itu, dan kini telah masuk ke surga, maka aku tidak akan keluar lagi!”
Mendengar hujjah (argumentasi) itu Malaikat Izrail jadi ketakutan. Bagaimanapun semua itu terjadi berawal dari keinginannya untuk bersahabat dengan Nabi Idris. Ia takut Allah akan murka kepada dirinya karena sikap Nabi Idris yang tidak mau keluar dari surga, kembali ke dunia seperti semula.
Tetapi kemudian Allah berfirman kepadanya:
“Wahai Izrail, biarkanlah dia di sana, sesungguhnya telah menjadi ketetapan-Ku sejak zaman azali bahwa ia termasuk ahlul jannah!”

Sandaran Untuk Masa Depan



Alkisah, ada seorang anak yang bertanya pada ibunya, “Ibu, temanku tadi cerita kalau ibunya selalu membiarkan tangannya sendiri digigit nyamuk sampai nyamuk itu kenyang supaya ia tak menggigit temanku. Apa ibu juga akan berbuat yang sama?”
Sang ibu tertawa dan menjawab terus terang, “Tidak. Tapi, Ibu akan mengejar setiap nyamuk sepanjang malam supaya tidak sempat menggigit kamu atau keluarga kita.”

Mendengar jawaban itu, si anak tersenyum dan kembali meneruskan kegiatan bermainnya. Tak berapa lama kemudian, si anak kembali berpaling pada ibunya. Ternyata mendadak ia teringat sesuatu.
“Terus Bu, aku waktu itu pernah dengar cerita ada ibu yang rela tidak makan supaya anak-anaknya bisa makan kenyang. Kalau ibu bagaimana?” Anak itu mengajukan pertanyaan yang hampir sama.
Kali ini sang Ibu menjawab dengan suara lebih tegas, “Ibu akan bekerja keras agar kita semua bisa makan sampai kenyang. Jadi, kamu tidak harus sulit menelan karena melihat ibumu menahan lapar.”

Si anak kembali tersenyum, dan lalu memeluk ibunya dengan penuh sayang. “Makasih, Ibu. Aku bisa selalu bersandar pada Ibu.”
Sembari mengusap-usap rambut anaknya, sang Ibu membalas,
“Tidak, Nak! Tapi Ibu akan mendidikmu supaya bisa berdiri kokoh di atas kakimu sendiri, agar kamu nantinya tidak sampai jatuh tersungkur ketika Ibu sudah tidak ada lagi di sisimu. Karena tidak selamanya ibu bisa mendampingimu.”

Ada berapa banyak orang tua di antara kita yang sering kali merasa rela berkorban diri demi sang buah hati? Tidak sadarkah kita bahwa sikap seperti itu bisa menumpulkan mental pemberani si anak?
Jadi, adalah bijak bila semua orang tua tidak hanya menjadikan dirinya tempat bersandar bagi buah hati mereka, melainkan juga membuat sandaran itu tidak lagi diperlukan di kemudian hari. Adalah bijak jika para orang tua membentuk anak-anaknya sebagai pribadi mandiri kelak di saat orang tua itu sendiri tidak bisa lagi mendampingi anak-anaknya di dunia.

Kesederhanaan Seorang Khalifah



Rasulullah saw pernah bersabda dan berharap bahwa Islam akan menjadi kuat bila salah satu dari dua tokoh pemberani Quraisy akan masuk Islam. Dua tokoh yang di maksud adalah Umar bin Khattab dan Abu Jahal. Ternyata hidayah Allah jatuh kepada Umar bin Khattab ra. Semenjak Umar bin Khattab masuk Islam kaum Muslimin berani beribadah secara terang-terangan dan mental keberanian mulai bangkit. Sungguh masuknya Umar bin Khattab ra menjadikan rahmat bagi semenanjung Arabia dan juga bagi dunia.

Dalam catatan penulis modern dari barat Michael Hart, ia mencantumkan Umar bin Khattab dalam deretan seratus orang paling berpengaruh di dunia sepanjang sejarah peradaban manusia. Sudah tentu manusia nomer wahid diisi oleh Rasulullah Muhammad saw
Saat menjabat Khalifah Umar bin Khattab berlaku sangat zuhud meski beliau sesungguhnya seorang yang sangat kaya.
Pernah suatu hari jama'ah kaum Muslimin hendak menunaikan Shalat Jum'at, waktu sudah mepet dan khotbah Jum'at sudah disampaikan, tapi Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra belum juga keluar dari rumahnya.
Sebagian jama'ah mulai menebak-nebak, jangan-jangan Khalifah sedang sakit karena tidak seperti biasanya ia terlambat menyampaikan khutbah jum'at.
Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra adalah seorang yang disiplin tinggi, tidak pernah ia melalaikan kewajibannya sebagai pemegang amanat umat.
Dan tak beberapa lama kemudian Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra keluar dari rumahnya menemui jama'ah kaum Muslimin yang sudah menanti di mulainya Khutbah jum'at.
Setelah memuji Allah dan bershalawat kepada Nabi Muhammad saw dan menyampaikan pesan taqwa kepada jama'ah ia menyampaikan perihal keterlambatannya mengisi khutbah jum'at. Amirul Mukminin Umar bin Khattab berkata;
"Bahwa aku hanya memiliki selembar pakaian ini saja yang selalu aku pakai setiap hari dalam menjalankan tugas kekholifahanku dan tadi aku mencucinya dan lama aku menungguinya hingga mengering." Sambil berkata seperti itu beliau selalu mengibas-ngibaskan pakaian gamisnya karena belum kering sepenuhnya.

Apa yang di lakukan Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra adalah suatu teladan kesederhanaan yang sudah di contohkan dua orang sahabatnya yang sudah wafat terlebih dahulu yaitu Rasulullah saw dan Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. Umar bin Khattab pernah berkata;
"Rasulullah saw telah mendahuluiku dan Beliau telah memperoleh rahmat di sisi Allah, begitu juga Abu Bakar juga telah berhasil mencontohnya maka ia juga memperoleh rahmat di sisi Allah, dan sekarang tinggal aku seorang yang belum jelas nasibnya, maka akan menyesal aku bila tidak mencontoh mereka berdua"

Khalifah sebelumnya yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq ra dalam sehari rumah tangganya hanya menghabiskan sekitar 6 atau 7 dirham saja dan Abu Bakar telah mengganti semua gajih yang ia dapatkan dari Baitul Mal selama dua setengah tahun sebanyak 6.000 dirham. Abu Bakar telah menjual property yang ia miliki dari hasil perniagaannya selama ini dan hasil dari penjualannya itu di serahkan cash Baitul Mal.
Abu Bakar Ash-Shiddiq rq saat menjelang akhir hayatnya berwasiat kepada anaknya, Aisyah ra agar baju yang ia kenakan sekarang diberikan kepada Khalifah berikutnya karena masih layak pakai.

Mengetahui akan hal ini maka Umar bin Khattab ra berkata;
"Wahai Abu Bakar engkau telah menjadikan posisi Khalifah berikutnya sangat sulit"

Inilah contoh keteladanan yang pernah umat lihat, umat rasakan dan umat jalani. Memang benar bila harta melimpah yang kita peroleh dengan jalan yang halal bisa kita nikmati asal sudah ditunaikan zakatnya. Tapi di mata rakyat mereka akan melihat contoh pemimpinnya dalam hal kesederhanaan. Rakyat akan merasa sakit bila pemimpin mereka berpenampilan mewah dan glamor.

Semoga kita bisa di amanati menjadi pemimpin yang bisa mengikuti contoh teladan para khalifah terdahulu.

Ketika Malaikat Protes



Ketika Allah SWT berkehendak untuk menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi, malaikat melakukan protes tentang tindakan merusak dan kemaksiatan yang akan dilakukan oleh manusia, sebagaimana yang telah dilakukan oleh jenis jin yang telah mendiami bumi. Bahkan para malaikat ini agak membanggakan diri dengan berkata,
“Ya Allah, mengapakah Engkau menciptakan manusia yang akan berbuat kerusakan dan berbuat maksiat di muka bumi, sementara kami selalu bertasbih (memahasucikan, membaca subkhaanallah) dan bertahmid (memuji, membaca hamdalah) serta ber-taqdis (meng-qudus-kan, menyucikan dan membersihkan Engkau dari hal yang tidak layak)”

Tentu saja para malaikat itu tidak tahu, bahwa ketika Allah berkehendak menciptakan alam semesta dan segala isinya, hanyalah karena kecintaan-Nya kepada ar-Ruh al-Muhammadiyah, ruh Nabi Muhammad SAW yang nantinya ditiupkan pada mahluk berjenis manusia, jenis mahluk yang diputuskan Allah sebagai yang termulia. Maka, kebanggaan para malaikat itu, dijawab Allah dengan kesombongan yang memang hanya pantas untuk-Nya dan bukan selain-Nya, dengan firman-Nya, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui!!”

Allah al Khaliq, hanya Allah yang Maha Pencipta, hanya Allah yang sebenarnya Maha Pencipta skenario kehidupan. Ketika Nabi Adam AS telah diciptakan, Allah berkehendak mengajarkan segala nama-nama kepadanya, kemudian dikonfrontasikan dengan malaikat dalam suatu forum semacam “cerdas-cermat”. Tentu saja para malaikat tidak berkutik dan kalah telak dalam pertandingan tersebut, karena Allah memang tidak mengajarkan hal-hal itu kepadanya. Dan puncaknya, para malaikat diperintahkan untuk bersujud kepada Adam, bukan sujud ubudiyah, tetapi sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan kemuliaan Adam sebagaimana dikehendaki Allah SWT. Mereka semua patuh bersujud kepada Adam kecuali Iblis, yang tetap bertahan dengan kesombongannya.

Kisah tersebut di atas telah sangat kita kenali karena diabadikan dalam beberapa ayat Al Qur’an, antara pada Surat Al Baqarah ayat 30-34.

Berlalulah waktu, Nabi Adam AS telah turun ke bumi dan anak keturunannya mulai banyak dan menyebar. Tindakan kriminal diawali oleh Qabil yang membunuh adiknya Habil, yang kemudian terus berkembang dan meluas, bahkan tindakan merusak lainnya dilakukan oleh anak cucu Adam. Bisa jadi lebih parah daripada yang dilakukan oleh para jin, ketika diserahi untuk mengelola bumi sebelumnya.

Melihat pemandangan di bumi seperti itu, dalam suatu forum sekali lagi para malaikat itu melontarkan pertanyaan yang bernada protes kepada Allah seperti sebelumnya,
“Ya Rabbi, apakah Engkau jadikan di bumi itu orang-orang yang merusak dan menumpahkan darah, padahal kami tetap bertasbih dan bertahmid, selalu men-sucikan dan memuji-muji Engkau?”

Dan sebagaimana pada awal penciptaan Nabi Adam, Allah SWT hanya berfirman, “Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui!!”
Para malaikat berkata,
“Kami lebih taat kepada-Mu daripada anak Adam, Ya Allah!!”

Para malaikat itu lupa, kalau mereka selama ini selalu taat dan beribadah, itu karena Allah telah melakukan “setting” seperti itu. Mereka selalu taat karena memang Allah menghendaki mereka “
hanya untuk taat, tidak diberikan pilihan lain. Berbeda dengan jin dan manusia yang memang diberikan Allah kemampuan memilih perbuatan yang diinginkannya, diberikan sebagian sangat kecil dari sifat-sifat Allah seperti berkehendak, berkuasa, mengetahui dan beberapa sifat lainnya, dalam rangka mengemban tugas sebagai khalifah di bumi. Termasuk juga dibekali dengan hawa nafsu untuk memelihara kelangsungan hidup manusia, dengan segala macam konsekwensinya.

Allah SWT yang tentunya sangat memahami kegalauan para malaikat tersebut, berkehendak untuk melanjutkan kompetisi yang pernah terjadi antara mereka dengan Adam, Dia berfirman, “Pilihlah dua malaikat di antara kalian, untuk menjalani ujian sebagaimana anak Adam menjalani ujian kehidupan di bumi, dan perhatikanlah apa yang akan mereka lakukan!!”

Para malaikat memilih dua di antara mereka yang sangat saleh dan cukup dekat kedudukannya dengan Allah, mereka berkata,
“Inilah dia ya Allah, Harut dan Marut!!”

Allah membekali dua malaikat tersebut dengan hawa nafsu sebagaimana anak Adam, dan diperintahkan untuk turun ke bumi dan bergaul dengan manusia. 

Tentu saja pada awalnya mereka berdua tampak sangat alim dan abid, hawa alam malakut masih cukup kental mewarnai mereka berdua.

Beberapa waktu berlalu, Allah SWT mempertemukan mereka dengan seorang wanita yang sangat cantik bernama Azzahrah. Walau penampilan dua malaikat tersebut sangat sempurna, tetapi Azzahrah sama sekali tidak tertarik. Sebaliknya dengan dua malaikat tersebut, tampaknya bekal nafsu yang diberikan Allah kepada keduanya telah mulai bekerja. Dua malaikat yang sangat taat kepada Allah ketika berada di alam malakut ini, tergila-gila dan merayu Azzahrah untuk menjadi istrinya, tetapi wanita tersebut tidak bergeming, memang dikehendaki Allah seperti itu. Tetapi dorongan nafsu yang pertama kali dirasakannya itu, bukan mereda dengan penolakan Azzahrah, justru berkobar-kobar. 

Azzahrah memang dijadikan Allah khusus untuk menguji malaikat Harut dan Marut, sekaligus pembelajaran bagi para malaikat lainnya yang menonton secara live kiprah dua malaikat yang telah dibekali nafsu, sebagaimana manusia tersebut. Ketika keduanya makin memaksa, Azzahrah berkata,
“Baiklah kalau demikian, aku setujui permintaan kalian, tetapi kalian harus memenuhi syarat-syaratku!!”
“Apakah syaratnya?”
“Kalian harus mengucapkan kalimat-kalimat syirik!!”
“Demi Allah, kami tidak akan menyekutukan Allah selama-lamanya!!” Kata keduanya, “Berikanlah kami syarat yang lainnya!!”
“Baiklah kalau begitu!” Kata Azzahrah. Ia beranjak pergi, dan sesaat kemudian ia datang dengan membawa seorang anak kecil, dan berkata kepada keduanya, “Bunuhlah anak kecil ini, dan aku akan menuruti kemauanmu!!”
“Demi Allah, kami tidak akan pernah membunuh manusia selamanya!!” Kata Harut dan Marut, “Berikanlah kami syarat yang lainnya!!”
“Baiklah kalau begitu!” Kata Azzahrah. Ia beranjak pergi, dan sesaat kemudian ia datang lagi dengan membawa dua gelas minuman keras (khamr), dan berkata,
“Demi Allah, aku tidak akan pernah menuruti kemauan kalian berdua kecuali jika kalian mau meminum khamr ini!!”

Dua malaikat itu mulai mempertimbangkan pilihan ketiga ini. Mereka tahu bahwa minum khamr memang dilarang, tetapi dalam pengertian dan logikanya, dosanya tidaklah seberapa jika dibandingkan dosa membunuh seorang anak dan musyrik. Karena dorongan nafsu yang telah memuncak, mereka memenuhi permintaan Azzahrah minum khamr yang dibawanya tersebut.

Tidak terlalu lama, reaksinya langsung terlihat. Kalau tadinya mereka bermaksud untuk menikahi Azzahrah, dengan tumpulnya akal karena pengaruh khamr, dorongan nafsunya yang lebih mengedepan. Melihat kecantikan Azzahrah yang begitu menggoda, apalagi tidak ada penolakan karena keduanya memenuhi permintaannya minum khamr, mereka terlibat perzinahan dengan Azzahrah. Ketika mereka menyadari ada anak kecil yang menyaksikan perbuatannya itu, mereka berdua membunuhnya. Dan tanpa sadar pula, mereka mengucapkan kalimat-kalimat yang menunjukkan kesyirikan kepada Allah.

Beberapa waktu kemudian pengaruh khamr itu berangsur menghilang, dan kedua malaikat itu kembali kepada akal sehatnya. Azzahrah berkata kepada keduanya,
“Tahukah kalian, apa yang telah kalian lakukan waktu kalian mabuk?”
“Apa yang kami lakukan?”
“Demi Allah, semua yang kalian menolaknya itu, kalian telah melakukannya. Kalian telah berzina denganku, kemudian kalian membunuh anak kecil itu, dan kalian juga mengucapkan kalimat-kalimat yang mengandung kesyirikan!!”

Setelah mengucapkan itu, Azzahrah berlalu pergi, dan kedua malaikat itu, Harut dan Marut menangis penuh sesal. Keduanya dipanggil kembali menghadap Allah dan diizinkan memilih untuk menebus kesalahannya tersebut dengan azab dunia atau azab akhirat. Mereka berdua memilih untuk diazab waktu di dunia ini. Dan setelah peristiwa tersebut, para malaikat tidak pernah lagi mempertanyakan atau memprotes kebijakan yang diambil Allah, seburuk apapun yang dilakukan oleh anak Adam. 

Tidak ada penjelasan pasti, bagaimana bentuk azab yang dialami oleh mereka berdua.

Kalau kita mempelajari QS Al Baqarah ayat 102, disana disebutkan bahwa dua malaikat yang diturunkan di daerah Babilon, Irak, bernama Harut dan Marut mengajarkan sihir. Jin kafir (syaitan) dan manusia yang ingkar mempelajari ilmu sihir tersebut dari mereka berdua, walau sebelum mengajarkannya, Harut dan Marut selalu berkata atau memberi nasehat, “Sesungguhnya kami ini adalah fitnah (ujian), karena itu janganlah kalian ingkar!!”

Tampak sekali kontradiksinya, bahwa kedua malaikat itu mengajarkan sesuatu yang sebenarnya mereka berdua tidak ingin mengajarkannya. Tetapi ketika syaitan dan manusia yang fasiq dan ingkar memaksa untuk mempelajarinya (berguru), kedua malaikat itu tidak berdaya menolaknya. Padahal mereka tahu, dengan ilmu yang diajarkannya tersebut (yakni ilmu sihir), manusia dan syaitan akan melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah, bahkan cenderung kepada kesyirikan. Termasuk misalnya memisahkan/menceraikan seseorang dari istrinya.

Bisa jadi apa yang dijabarkan oleh QS Al Baqarah 102 itu merupakan azab yang memang harus ditanggung oleh Harut dan Marut. Bisa dibayangkan, bagaimana tersiksanya perasaan kita jika kita dipaksa melakukan sesuatu yang kita tidak ingin melakukannya, atau kita benci melakukannya. Begitulah dengan dua malaikat tersebut, yang sebelumnya selalu menjalankan ketaatan, selalu bertasbih, bertahmid dan bertashdiq (meng-qudus-kan) kepada Allah, tiba-tiba diperintahkan (dipaksa) mengajarkan sesuatu (yakni sihir), yang dengan sesuatu itu manusia dan jin jadi ingkar dan maksiat kepada Allah, bahkan terjatuh dalam kemusyrikan. Seolah-olah Allah memaksa melibatkan keduanya dalam perbuatan yang dilarang oleh Allah.

 Wallahu A’lam.

Zubair Bin Awwam RA



Zubair bin Awwam masih sepupu Nabi SAW, walau usianya berbeda jauh. Ibunya adalah Shafiyyah binti Abdul Muthalib saudara dari ayahanda Rasulullah SAW, Abdullah. Dan ayahnya adalah Awwam bin Khuwailid, saudara dari Khadijah, istri Nabi SAW. Maka tak heran jika Nabi SAW sangat menyayanginya. Ia telah memeluk Islam pada masa-masa awal Islam didakwahkan ketika masih berusia 12 tahun, dalam riwayat lainnya 15 tahun. Karena itu ia termasuk dalam kelompok sahabat as sabiqunal awwalin, yang memperoleh pujian langsung dari Allah dalam Al Qur'an. Ia juga salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga ketika hidupnya.

Tidak lama setelah memeluk Islam, ia mendengar berita bahwa penduduk Makkah telah membunuh Nabi SAW, dengan marah ia menghunus pedangnya dan mencari tahu siapa yang membunuh beliau. Tetapi kemudian ia bertemu dengan Nabi SAW yang segar bugar saja, sementara pedangnya masih terhunus, Beliau bertanya,
"Apa yang terjadi denganmu, wahai Zubair?"
"Aku mendengar bahwa tuan telah dibunuh.." Kata Zubair.
"Lalu, apa yang akan kamu lakukan?" Tanya Nabi SAW.
"Aku akan memancung kepala orang yang membunuh tuan…"

Nabi SAW tersenyum melihat sikap dan semangatnya. Beliau mendoakan dia dan juga pedangnya, kemudian menyuruhnya pulang. Itulah pedang yang pertama kali dihunuskan demi untuk membela Islam.

Peristiwa itu merupakan gambaran awal bagaimana sikap Zubair bin Awwam terhadap Nabi SAW dan Islam, maka tak heran jika kemudian ia tak pernah absen dalam semua pertempuran bersama Nabi SAW dan setelah beliau meninggal. Jiwa dan semangat hidupnya dihabiskan untuk mengabdi pada perjuangan menegakkan panji-panji Islam.

Sebagaimana para sahabat pada masa awal, keislamannya membawanya kepada penyiksaan dari kaum Quraisy, walau sebenarnya ia dari keluarga terhormat dan sangat disegani. Pamannya sendiri, Naufal bin Khuwailid yang dikenal dengan nama "Singa Quraisy", pernah menggulungnya dengan tikar dan menggantungnya terbalik dalam keadaan terikat, dan di bawahnya ada api sehingga asapnya menyesakkan dadanya. Berbagai siksaan ditimpakan oleh kaum kerabatnya sendiri, tetapi semua itu tidak mampu mengembalikannya ke agama jahiliahnya.

Karena makin kerasnya tekanan dan siksaan yang ditimpakan kaum kafir Quraisy pada orang-orang yang memeluk Islam, Nabi SAW mengijinkan mereka untuk berhijrah ke Habasyah, dan Zubair termasuk di antaranya. Raja Habasyah, Najasyi memberikan perlindungan kepada para muhajirin ini, dan memberikan kebebasan untuk melaksanakan ibadahnya sendiri. Hal itu menimbulkan sekelompok orang melakukan pemberontakan, tidak setuju dengan sikap Najasyi tersebut. Sempat terjadi pertempuran, yang dalam pertempuran tersebut Zubair ikut berperan serta sebagai mata-mata untuk kepentingan Najasyi dan kaum muhajirin lainnya. Jika ternyata Najasyi kalah, ia harus segera memberitahukan agar kaum muslimin bisa segera meninggalkan bumi Habasyah. Tetapi Allah menghendaki kemenangan ada di pihak Najasyi, sehingga kaum muslimin dengan tenang tinggal di negeri Nashrani tersebut.

Walau hidup dalam keadaan damai dan tenang melaksanakan ibadah, tetapi hati Zubair selalu gelisah. Sejak ia memeluk Islam, hatinya seolah terikat dengan Rasulullah SAW. Ada kerinduan menggejolak untuk selalu bersama beliau, walau ada juga kekhawatiran. Karena itu, begitu mendengar keislaman Hamzah dan Umar bin Khaththab, yang membuat posisi kaum muslimin lebih kuat, ia segera kembali ke Makkah untuk bisa selalu bertemu dan melihat Rasulullah SAW, kapan saja kerinduannya itu datang.

Zubair juga dikenal sebagai penunggang kuda yang handal. Dialah salah satu dari hanya dua penunggang kuda pasukan muslim pada Perang Badar, dan ia diserahi Nabi SAW memimpin front/sisi kanan. Satu lagi adalah Miqdad bin Aswad, diserahi untuk memimpin front kiri. Dengan pedang yang pernah didoakan oleh Nabi SAW, jiwa kepahlawanannya jadi makin menonjol.
Dalam perang Badar tersebut ia mampu membunuh jagoan-jagoan Quraisy yang jadi andalan, seperti Naufal bin Khuwailid, Si Singa Quraisy yang masih pamannya sendiri, Ubaidah bin Said, Ibnul Ash bin Umayyah, dan lain-lain.

Pada awal perang Uhud, Nabi SAW mengangkat sebuah pedang dan berkata,
"Siapa yang mau mengambil pedang ini dengan memberikan haknya?"

Beberapa sahabat yang berkumpul tidak segera memberikan kesanggupan, maka Zubair bin Awwam segera menyahutnya,
"Saya, ya Rasulullah."

Tetapi Nabi SAW hanya memandangnya sekilas, kemudian mengulangnya hingga tiga kali, dan hanya Zubair yang dengan segera menyanggupinya. Namun demikian beliau tidak menyerahkan pedang tersebut kepadanya. Ketika Abu Dujanah yang menyanggupinya, beliau langsung menyerahkannya. Ini bukan berarti Nabi SAW tidak mempercayainya, tetapi Zubair telah memiliki pedang yang pernah didoakan Nabi SAW sehingga ia tidak memerlukan pedang lainnya. Biarlah pedang tersebut dipegang dan dimiliki sahabat lain untuk mengukirkan kepahlawanannya kepada Islam.

Pada perang Uhud itu pula, pemegang panji kaum musyrikin, Thalhah bin Abu Thalhah menantang duel, tetapi tidak ada yang menyambutnya, sehingga dengan congkaknya ia meremehkan pasukan muslim. Ia memang seorang jagoan Quraisy yang perkasa. Segera saja Zubair keluar menyambut tantangannya. Ia berhasil meloncat ke atas belakang unta Thalhah dan mereka jatuh bergulingan di atas tanah. Zubair berhasil membantingnya kemudian membunuhnya dengan pedang kesayangannya, pedang yang pernah didoakan Rasulullah SAW.

Nabi SAW memuji ketangkasan Zubair tersebut dan beliau bersabda,
"Setiap nabi itu mempunyai hawariyyun (pembela), dan hawariyunku adalah Zubair…"

Begitu juga dalam perang Khandaq, saat itu Naufal bin Abdullah bin Mughirah al Makhzumi menaiki tempat yang tinggi kemudian menantang duel kaum muslimin. Nabi SAW sempat menawarkan pada salah seorang sahabat untuk melayani tantangan tersebut, dan ia menyanggupinya kalau memang diperintahkan. Tetapi kemudian Nabi SAW melihat keberadaan Zubair bin Awwam, beliaupun bersabda,
"Bangunlah kamu, ya Abu Safiah, pergilah kepadanya!"

Majulah Zubair menghadapi Naufal, Mereka beradu kekuatan, saling merangkul dan bergulingan di tanah. Nabi SAW menyatakan bahwa siapa yang jatuh ke bawah lebih dahulu, dialah yang akan terbunuh. Beliau berdoa dan diamini oleh sahabat-sahabat lainnya. Tak lama kemudian Naufal jatuh, dan Zubair jatuh di atas dadanya, ia segera membunuhnya.

Begitulah, hampir semua pertempuran diterjuninya. Bahkan sebuah riwayat menyebutkan, Zubair bin Awwam adalah satu-satunya sahabat yang tidak pernah absen dari pertempuran yang dilakukan bersama Nabi SAW. Mungkin itu sebagian dari penjabaran bahwa Zubair memang hawari (pembela) Nabi SAW. Dan dalam setiap pertempuran, ia selalu menunjukkan jiwa dan semangat jihadnya, jiwa dan semangat untuk memperoleh syahid di jalan Allah. Begitu juga dengan berbagai pertempuran yang diterjuninya sepeninggal Nabi SAW.

Nama Zubair hampir tidak bisa dipisahkan dengan Thalhah. Kalau disebut nama Zubair, pastilah orang akan menyebut Thalhah, dan kalau ada yang menyebut Thalhah, pastilah Zubair disebut juga. Mereka berdua memang memiliki banyak kesamaan, sejak kecil dan remaja tumbuh bersama. Ketika mereka berdua memeluk Islam, Nabi SAW-pun mempersaudarakan mereka, di samping mereka berdua memang masih kerabat dekat dengan beliau. Bahkan kemudian Nabi SAW pernah berkata,
"Thalhah dan Zubair adalah tetanggaku di surga…..!"

Tidak ada bedanya jiwa perjuangan Thalhah dan Zubair dalam membela Islam, begitu juga dengan jiwa pemurah dan kedermawanannya. Seperti halnya Thalhah, ketika tidak sedang mengangkat pedangnya untuk berjuang di jalan Allah, ia akan mengurus perniagaannya, dan hasil perniagaannya lebih banyak dibelanjakan di jalan Allah daripada dinikmatinya sendiri. Bahkan dalam soal shadaqah dan membelanjakan harta di jalan Allah ini, bisa dikatakan "besar pasak daripada tiang." Ia tidak segan untuk berhutang demi memuaskan jiwa pemurah dan dermawannya. Tetapi ia selalu mencatat dengan rapi hutang-hutangnya tersebut, dan mewasiatkan kepada anaknya, Abdullah bin Zubair untuk membayar hutangnya jika sewaktu-waktu ia meninggal, sambil ia berpesan,
"Bila nanti engkau tidak mampu membayar hutang-hutang tersebut, minta tolonglah kepada Induk Semang(Maulana) kita!!"
"Induk Semang yang mana yang bapak maksudkan?" Tanya Abdullah bin Zubair.
"Induk Semang dan Penolong kita yang utama, yakni Allah SWT…."

Maka, setiap kali Ibnu Zubair mengalami kesulitan dalam membayar hutang bapaknya, ia selalu berdoa,
"Wahai Induk Semangnya Zubair, tolonglah aku melunasi hutangnya…!"

Tidak lama setelah itu, selalu ada jalan keluar bagi Ibnu Zubair untuk melunasi hutang-hutang ayahnya.

Seperti telah ditakdirkan untuk bersama-sama, kedua orang bersahabat itu, Zubair dan Thalhah inipun menjemput syahidnya bersama, yakni dalam perang Jamal di masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Hanya saja dalam perang saudara tersebut ia bersama Thalhah bin Ubaidillah dan Ummil Mukminin Aisyah memimpin pasukan dari Bashrah untuk melakukan perlawanan kepada Ali bin Abi Thalib, dengan dalih menuntut balas kematian Utsman. Padahal beberapa waktu sebelumnya mereka ikut memba'iat Ali sebagai khalifah. Inilah memang dahsyatnya bahaya fitnah, sehingga orang-orang terpilih di masa Rasulullah SAW saling berperang satu sama lainnya.

Ada perbedaan pendapat tentang syahidnya Zubair. Satu riwayat menyebutkan, ketika pertempuran mulai berlangsung dan dari kedua pihak berjatuhan korban tewas, Ali menangis dan menghentikan pertempuran, padahal saat itu posisinya dalam keadaan memang. Ali meminta kehadiran Thalhah dan Zubair untuk melakukan islah. Ali mengingatkan Thalhah dan Zubair berbagai hal ketika bersama Rasulullah SAW, termasuk ramalan-ramalan beliau tentang mereka bertiga. Thalhah dan Zubair menangis mendengar penjabaran Ali dan seolah diingatkan akan masa-masa indah bersama Rasulullah SAW, apalagi saat itu mereka melihat Ammar bin Yasir ikut bergabung dalam pasukan Ali. Masih jelas terngiang sabda Nabi SAW ketika ‘kerja bakti’ membangun masjid Nabawi, "Aduhai Ibnu Sumayyah (yakni, Ammar bin Yasir), ia akan terbunuh oleh kaum pendurhaka…..!!"

Zubair dan Thalhah memutuskan menghentikan pertempuran dan ia menyarungkan senjatanya, kemudian berbalik menemui pasukannya. Tetapi ada anggota pasukan yang tidak puas dengan keputusan ini dan mereka memanah keduanya hingga tewas. Sebagian riwayat menyebukan pembunuhnya dari pasukan Ali, riwayat lain dari pasukan Bashrah sendiri.

Sedangkan riwayat lain menyebutkan, pertempuran berlangsung seru dan pasukan Bashrah dikalahkan oleh pasukan Ali, Thalhah dan Zubair bin Awwam gugur menemui syahidnya. Sedangkan Ummul Mukminin Aisyah dikirimkan lagi ke Madinah dengan pengawalan saudaranya, Muhammad bin Abu Bakar yang ada di fihak Ali.

Zubair meninggal dalam usia 64 tahun, dan jenazahnya di makamkan di suatu tempat yang disebut Waadis Sibba, sekitar 7,5 km dari kota Bashrah, di Irak sekarang ini.

Usai pertempuran, ketika Ali sedang beristirahat, datang salah seorang prajuritnya dan berkata,
"Amr bin Jurmuz at Tamimi, pembunuh Zubair bin Awwam menunggu di luar, minta ijin untuk menghadap!!"

Ali mengijinkannya. Amr masuk dengan pongahnya, ia mengira akan memperoleh pujian dan penghargaan karena telah membunuh seseorang yang memusuhi khalifah Ali. Tapi begitu bertatap muka, Ali membentaknya dengan keras, dan berkata,
"Apakah pedang yang kamu bawa itu pedang Zubair??"

Dengan gemetar ketakutan, ia berkata,
"Benar, ini pedang Zubair, saya merampasnya setelah saya membunuhnya!"

Ali mengambil pedang tersebut dari tangannya dan menggenggamnya penuh perasaan dan khusyu, diciumnya pedang yang pernah didoakan Nabi SAW tersebut penuh rindu dan haru, hingga air mata membasahi pipinya, kemudian Ali berkata, "Pedang ini, Demi Allah, adalah pedang yang selama ini digunakan pemiliknya untuk membebaskan Nabi SAW dari berbagai marabahaya…..!!"

Setelah itu Ali memandang Amr bin Jurmuz dengan mata menyala,
"Mengenai dirimu, wahai pembunuh Zubair, bergembiralah dengan masuk neraka, atas apa yang kamu lakukan kepada putra Shafiyah ini….!"

Amr berlalu dengan dongkol karena maksudnya tidak tercapai, sambil ia bergumam, "Aneh sekali tuan-tuan ini, telah kami bunuh musuh tuan, tetapi tuan katakan saya akan masuk neraka….!!"