Cari Artikel

Nabi Khidir Dengan Umar Bin Khaththab RA



Pada waktu Umar akan menshalati jenazah, tiba-tiba terdengar suara berbisik dari belakang,
”tunggu saya, wahai Umar...”.
Maka Umar menunggu dia hingga dia masuk ke dalam shaf dan Umar pun mulai bertakbir.

Setelah shalat, Umar mendo’akan jenazah tersebut,
”Ya Allah, Jika Engkau mengadzabnya berarti dia durhaka kepada-Mu, tapi jika Engkau mengampuni dia, maka sesungguhnya dia sangat membutuhkan rahmat-Mu, Ya Allah”.

Setelah jenazah dimakamkan, seorang laki-laki memperbaiki tanah kuburannya sambil berkata,
”Beruntunglah kamu, wahai penghuni kubur jika kamu tidak menjadi orang yang mengaku, menyimpan atau menentukan”.

Umar kemudian menyuruh untuk memanggilkan orang tersebut,
”bawalah orang itu kemari, akan kutanyakan tentang shalatnya dan pembicaraannya itu”.

Maka seorang lelaki pergi mencarinya, tetapi orang itu sudah tidak ada, kecuali hanya bekas telapak kakinya di tanah yang besarnya kira-kira satu hasta.
Lalu Umar berkata lagi,
”Demi Allah, dia itu Khidir yang pernah diceritakan oleh Rasulullah kepadaku”.
(Riwayat Muhammad bin Munkadir)

Tiga Tahun Berturut-Turut



Pada masa Khalifah Hisyam bin Abdul Malik, salah seorang khalifah Bani Umayyah, rakyat tertimpa kelaparan dan paceklik. Dirwas bin Habib al-Ajali datang kepadanya bersama beberapa orang dari kaumnya.
Dirwas berkata,
“Ya Amirul Mukminin. Tiga tahun berturut-turut, kami para rakyat memikul beban berat dan sulit. Tahun pertama memakan daging kami. Tahun kedua mencairkan lemak kami. Dan tahun ketiga menghisap tulang kami. Padahal di tangan kalian terdapat harta yang melimpah. Jika harta itu milik Allah maka sayangilah hamba-hambaNya dengannya. Jika harta itu milik rakyat mengapa engkau menahannya dari mereka sementara kalian membelanjakannya secara cepat dan berlebih-lebihan, padahal Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Dan jika harta itu milik kalian maka bersedekahlah kepada mereka. Sesungguhnya Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bersedekah.”
Hisyam berkata,
“Benar-benar mengagumkan. Kamu tidak menyisakan satu pun dari tiga perkara itu bagi kami.”

Lalu dia memerintahkan seratus ribu dirham agar dibagi-bagikan kepada rakyat. Dirwas sendiri diberi seratus ribu dirham.
Dirwas bertanya,
“Ya Amirul Mukminin, apakah setiap muslim diberi yang sama?”
Hisyam menjawab,
“Tidak, Baitul Mal tidak mampu membayarnya.”
Dirwas berkata,
“Kalau begitu aku tidak memerlukan sesuatu yang bisa membuatmu dicela.” Tetapi Hisyam memaksanya hinga dia terpaksa menerima.
Ketika Dirwas sampai di rumah, dia membagi sembilan puluh ribu kepada kabilah-kabilah Arab. Dan sisanya untuk dirinya dan kaumnya. Hal itu didengar oleh Hisyam. Maka dia berkata,
“Berbuat baik kepada orang sepertinya membangkitkan akhlak-akhlak yang mulia.”

Ucapan Dirwas,
“Tiga tahun berturut-turut kami para rakyat memikul beban berat. Tahun pertama memakan daging kami. Tahun kedua mencairkan lemak kami. Dan tahun ketiga menghisap tulang kami.”
Ini adalah ucapan dengan nilai balaghah yang tinggi. Dirwas mampu menjelaskan dampak buruk paceklik yang berlangsung tiga tahun berturut-turut dengan bahasa kiasan yang tinggi. Katanya, tahun pertama memakan daging, yakni membuat kami kurus, meskipun demikian kami masih mampu bertahan hidup. Katanya, tahun kedua mencairkan lemak, yakni ini lebih berat, membuat kami lebih kurus lagi meskipun kami masih mampu bertahan, akan tetapi pada tahun ketiga kami tidak mampu lagi tegak karena tulang yang menjadi penyangga hidup kami telah dihisap oleh paceklik.

Beberapa Pelajaran
1. Ucapan Dirwas tentang harta yang dipegang oleh kepala negara. Bahwa harta tersebut tidak keluar dari tiga kemungkinan sekaligus tuntutan dari masing-masing kemungkinan. Ketiga kemungkinan tersebut adalah harta tersebut milik Allah atau harta tersebut milik rakyat atau harta tersebut milik penguasa.
Jika yang pertama maka Dirwas meminta kepala negara membagi harta kepada hamba-hamba Allah. Jika yang kedua maka Dirwas meminta kepala negara memberikannya kepada rakyat karena ia milik rakyat. Jika yang ketiga maka Dirwas mendorong kepala negara bersedekah kepada rakyatnya.
Pembagian Dirwas ini tidak menyisakan ruang berkelit bagi kepala negara, walaupun begitu kepala negara tidak merasa disudutkan, justru dia mengagumi ucapan Dirwas.
2. Kemampuan berdiplomasi di hadapan kepala negara dengan bahasa luhur yang tidak merendahkan.
3. Nasihat rakyat kepada pemimpin dengan cara yang baik.
4. Hendaknya kepala negara berempati kepada rakyat.
5. Zuhud Dirwas dalam perkara harta, meskipun khalifah memberinya hadiah secara khusus akan tetapi dia membagi-bagikannya kepada sesamanya, dia melihat dirinya tidak lebih berhak dari yang lain.

Wallahu a’lam.

Makarimul Akhlak Ali Shalih al-Hazza`.

Shalat‬‬ Tepat Waktu Bisa Menjadi Ukuran Disiplin Bagi Seorang Muslim



‪‪Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw pernah bersabda:
“…Seandainya orang-orang mengetahui pahala azan dan barisan (shaf) pertama, lalu mereka tidak akan memperolehnya kecuali dengan ikut undian, niscaya mereka akan berundi. Dan seandainya mereka mengetahui pahala menyegerakan shalat pada awal waktu, niscaya mereka akan berlomba-lomba melaksanakannya. Dan seandainya mereka mengetahui pahala shalat Isya dan Subuh, niscaya mereka akan mendatanginya meskipun dengan jalan merangkak.” (HR. Bukhari).

‪‪Keutamaan shalat tepat waktu juga bisa menjadikan seseorang lembut hati dan dikaruniai kesehatan. Untuk Shalat Isya’ Nabi biasa mengerjakannya pada sebagian besar waktu malam.
‪‪Telah bersabda Rasulullah saw.
”Sekiranya tidak memberatkan umatku, tentu aku suruh mereka mengundurkan isya hingga sepertiga atau seperdua malam.” (HR.Ahmad, Ibnu Majah,Tirmizi).

‪‪Pesan Khalifah Utsman bin Affan ra:
“Orang-orang yang memelihara shalat lima waktu dan mengerjakannya tepat pada waktunya, maka Insya Allah, Allah akan memuliakan orang itu dengan sembilan macam kemuliaan:
‪‪1.Dicintai Allah
‪‪2.Badannya senantiasa sehat
‪‪3.Dijaga oleh Malaikat
‪‪4.Diturunkan berkah untuk rumahnya
‪‪5.Mukanya akan kelihatan tanda orang yang shaleh
‪‪6.Allah akan melembutkan hatinya
‪‪7.Dapat melalui jembatan Shiratal Mustaqim layaknya seperti kilat
‪‪8.Akan diselamatkan dari api neraka
‪‪9.Allah akan menempatkannya ke dalam golongan yang tidak takut dan bersedih.

‪‪Wallahu a'lam bissawab...

Koin Penyok



Seorang lelaki berjalan tak tentu arah dengan rasa putus asa...
Sambil berpikir tentang kondisi keuangan nya yang morat marit

Saat menyusuri jalanan sepi, kakinya terantuk sesuatu.
Ia membungkuk dan menggerutu kecewa.

"Uh, hanya sebuah koin kuno yang sudah penyok".
Meskipun begitu ia membawa koin itu ke bank.
Sebaiknya koin ini dibawa ke kolektor uang kuno",
kata teller itu memberi saran.
Lelaki itu membawa koinnya ke kolektor. Beruntung sekali, koinnya dihargai 500 ribu.
Lelaki itu begitu senang.

Saat lewat toko perkakas, dilihatnya beberapa lembar kayu obral. Dia pun membeli kayu seharga 500 ribu untuk membuat rak buat istrinya.
Dia memanggul kayu tersebut dan beranjak pulang.

Di tengah perjalanan dia melewati tempat pengerajin mebel.
Mata pemilik bengkel mebel sudah terlatih melihat kayu bermutu yang dipanggul lelaki itu.
Dia menawarkan lemari 2 juta untuk menukar kayu itu.
Setelah setuju, dia meminjam gerobak untuk membawa pulang lemari itu.

Dalam perjalanan lelaki tersebut melewati perumahan.
Seorang wanita melihat lemari yang indah itu dan menawarnya 10 juta, dia ragu-ragu.
Si wanita pun menaikkan tawarannya menjadi 12 juta, lelaki itupun setuju.

Saat sampai di pintu desa, dia ingin memastikan uangnya. 
Ia merogoh sakunya dan menghitung lembaran bernilai 12 juta.

Tiba-tiba seorang perampok datang, mengacungkan belati, merampas uang itu, lalu kabur.
Istrinya kebetulan melihat dan berlari mendekati suaminya dan bertanya,

"Apa yang terjadi?"
"Engkau baik-baik saja kan? Apa yang diambil perampok tadi?"
Lelaki itu mengangkat bahunya dan berkata, 
"Oh bukan apa-apa. 
Hanya sebuah koin penyok yang kutemukan tadi pagi".

Bila kita sadar, kita tak pernah memiliki apapun, kenapa harus tenggelam dalam kepedihan yang berlebihan?

Sebaliknya, sepatutnya kita bersyukur atas segala yang telah kita miliki, karena ketika datang dan pergi kita tidak membawa apa-apa.
Menderita karena melekat. Bahagia karena melepas.

Karena demikian lah hakikat sejatinya kehidupan, apa yang sebenarnya yang kita punya dalam hidup ini?

Tidak ada, karena bahkan napas saja bukan kepunyaan kita dan tidak bisa kita genggam selamanya.

Saat kehilangan sesuatu, kembalilah ingat bahwa sesungguhnya kita tidak punya apa-apa. 

Jadi "kehilangan" itu tidak lah nyata dan tidak akan pernah menyakitkan. 

Kehilangan hanya sebuah tipuan pikiran yang penuh dengan ke-"aku"-an. 
Ke "aku" an itu lah yang membuat kita menderita.

Rumahku, hartaku, istriku, suamiku, anakku, jabatan, semuanya bukan milikku.
Kita lahir tidak membawa apa-apa, meninggal pun sendiri, tidak bawa apa-apa dan tidak ngajak siapa-siapa.

Ubadah Bin Shamit RA



Ubadah bin Shamit merupakan kelompok awal shahabat Anshar yang memeluk Islam, yakni ketika terjadi Ba'iatul Aqabah pertama, salah satu dari dua belas orang Madinah yang pertama berba’iat kepada Nabi SAW. Dan pada Ba'iatul Aqabah ke dua, sekali lagi ia menyertai tujuh puluh orang Madinah yang ingin berba'iat kepada Nabi SAW. Usai ba'iat, Nabi SAW menunjuk dua belas orang pemuka sebagai pemimpin dari kaumnya masing-masing, salah satunya adalah Ubadah bin Shamit untuk beberapa kabilah dari Suku Aus.

Sebelum datangnya Islam, masyarakat Madinah banyak yang menjalin persekutuan dengan kaum Yahudi, begitu juga dengan kaumnya Ubadah bin Shamit. Setelah Islam datang, Nabi SAW mengukuhkan lagi persekutuan itu dalam bentuk Piagam Madinah. Tetapi ketika terjadi perang Badar dan perang Uhud, kaum Yahudi hanya berpangku tangan, bahkan cenderung menyebar fitnah dan menimbulkan kekacauan di kalangan pasukan Muslim. Mereka juga menyombongkan diri bahwa pasukan muslimin takkan bisa mengalahkan mereka kalau mereka bersatu memerangi Nabi SAW.

Ubadah bin Shamit langsung bereaksi melihat sikap kaum Yahudi tersebut, ia memutuskan hubungan persekutuan kabilahnya dengan kaum Yahudi Bani Qainuqa yang telah berlangsung lama, jauh sebelum ia memeluk Islam. Ia datang kepada Nabi SAW dan berkata,
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya jiwa teman-teman karibku dari kalangan Yahudi sangat keras. Mereka memiliki senjata dan peralatan peperangan yang sangat kuat. Namun demikian, aku hanya berwali kepada Allah dan RasulNya serta berlepas diri dari berwali kepada orang-orang Yahudi. Tiada wali bagiku selain Allah dan RasulNya."

Rasulullah SAW menyambut baik keputusan Ubadah bin Shamit. Dan kemudian turun surah Al Maidah ayat 56 sebagai bentuk dukungan dan pembenaran atas sikap yang diambilnya terhadap kaum Yahudi. Dalam riwayat lain disebutkan, bukan hanya ayat 56, tetapi sikapnya dalam peristiwa tersebut menjadi asbabun nuzul dari Surat Al Maidah ayat 51 s.d. 67.

Suatu ketika ia mendengar penjelasan Nabi SAW tentang tanggung jawab seorang amir, dan konsekwensinya jika ia melalaikan tugasnya, bahkan hanya memperkaya diri sendiri. Seketika tubuhnya gemetar dan hatinya terguncang. Iapun bersumpah tidak akan pernah memegang jabatan apapun, walaupun hanya membawahi dua orang.

Ketika Umar menjabat khalifah, ia tak mampu memaksa Ibnu Shamit untuk memegang suatu posisi pimpinan atau jabatan apapun, kecuali mengajar umat memperdalam pengetahuan keislaman mereka. Kalaupun terjun ke medan pertempuran, ia memilih untuk menjadi prajurit biasa saja walaupun sebenarnya ia seorang sahabat senior dan berpengalaman. Karena itu Umar mengirimkan dia ke Syam (Syiria) bersama Mu'adz bin Jabal dan Abu Darda untuk mengajar umat Islam di sana. Saat itu yang menjadi Amir (gubernur) di sana adalah Muawiyah bin Abu Sufyan.

Ubadah bin Shamit tidak cukup kerasan di sana. Gaya hidupnya adalah didikan Nabi SAW, zuhud terhadap dunia, sederhana, dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk ibadah dan belajar (menuntut ilmu). Ketika ia melihat bagaimana cara hidup Amirnya, Muawiyah yang selalu bermegah-megahan dengan duniawiah, ia tak segan melakukan protes sekaligus perlawanan. Setelah tinggal beberapa lama di Syiria dalam suasana jiwa yang tidak nyaman, ia pulang kembali ke Madinah.

Umar menemui Ubadah bin Shamit di Masjid Nabawi, dan bertanya,
"Apa yang menyebabkan engkau kembali ke sini, ya Ubadah?"

Ubadah menceritakan semua yang terjadi, termasuk pertentangannya dengan Muawiyah, sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Madinah. Umar berkata,
"Kembalilah segera ke sana!! Sungguh amat buruk suatu negeri jika tidak mempunyai orang seperti anda!!"

Tidak ada pilihan lain bagi Ubadah kecuali kembali ke Syam (Syiria) melanjutkan misi pengajarannya. Tetapi ternyata diam-diam Umar mengirim surat kepada Muawiyah, isinya antara lain,
“…Tidak ada wewenangmu sedikitpun sebagai Amir terhadap Ubadah bin Shamit…."

Pada masa khalifah Utsman, tepatnya pada tahun 27 hijriah, Muawiyah yang masih menjadi gubernur Syam, meminta ijin untuk menyerang dan menyebarkan Islam di Pulau Cyprus, di suatu kepulauan di Laut Tengah termasuk wilayah Eropa saat ini, dan Utsman menyetujuinya. Sebenarnya pada masa Khalifah Umar, Muawiyah telah pernah mengajukan usulan itu tetapi ditolak. Umar berpendapat, setelah bermusyawarah dengan para sahabat senior, bahwa kaum Arab, khususnya kaum muslimin, tidak mempunyai pengalaman yang memadai untuk bertempur menyeberangi lautan luas. Ia khawatir akan banyak korban sia-sia dari kaum muslimin, yang ia akan diminta pertanggung-jawabannya oleh Allah di akhirat kelak.

Muawiyah segera membuat dan mempersiapkan kapal-kapal (perahu) besar untuk membawa pasukan kaum muslimin menjelajahi Laut Tengah. Inilah armada angkatan laut pertama dalam Islam, dan Ubadah bin Shamit bersama istrinya, Ummu Haram binti Milhan ikut serta dalam pasukan tersebut.

Cyprus dapat ditaklukkan dan penduduknya bersedia membayar Jizyah (pajak), dan Islam mulai didakwahkan di wilayah tersebut. Tetapi Ubadah bin Shamit kehilangan istrinya yang mati syahid dalam perjalanan mengarungi samudra ini, dan jenazahnya dimakamkan di Cyprus.

Peristiwa ini telah pernah diperlihatkan Allah kepada Nabi SAW belasan tahun sebelumnya, ketika beliau sedang tertidur di rumah Ummu Haram binti Milhan. Saat itu Nabi SAW sangat bangga melihat umat beliau berperang menjelajah lautan. Walau telah kehilangan istrinya, semangat Ibnu Shamit tidak surut untuk terus berjihad, sampai akhirnya Islam tersebar luas di wilayah Eropa.