Cari Artikel

Zaid Bin Haritsah RA



Keluarga Zaid bin Haritsah hanyalah keluarga Arab biasa, yang ketika itu sedang mengunjungi kerabatnya di kampung Kabilah Bani Ma'an, dan Zaid kecil diajak serta. Takdir Allah menghendaki akan mengangkat derajadnya setinggi-tingginya, tetapi melalui jalan musibah.
Tiba-tiba sekelompok perampok badui menjarah perkampungan Bani Ma’an tersebut, harta bendanya dikuras habis dan sebagian penduduknya ditawan untuk dijual sebagai budak, termasuk di antaranya adalah Zaid bin Haritsah.

Zaid bin Haritsah yang masih kecil itu dijual di pasar Ukadz di Makkah, ia dibeli oleh Hakim bin Hizam.
Oleh Hakim, ia diberikan kepada bibinya, Khadijah binti Khuwailid, yang tak lain adalah istri Nabi SAW, dan akhirnya ia diberikan kepada Nabi SAW untuk menjadi khadam (pelayan) beliau. Walau saat itu Nabi SAW belum diangkat menjadi Nabi dan Rasul, tetapi pendidikan yang diperoleh Zaid dari beliau merupakan pendidikan berbasis akhlak mulia, didikan yang berbasis kenabian yang menaikkan derajadnya, dan mengantarnya menjadi salah seorang kelompok sahabat as sabiqunal awwalin.

Ketika ayahnya, Haritsah mendengar kabar bahwa putranya dimiliki oleh seorang keluarga bangsawan Quraisy di Makkah, ia bergegas mengumpulkan harta semampunya untuk menebusnya dari perbudakan. Ia mengajak saudaranya untuk menemaninya ke Makkah. Sesampainya di Makkah, ia menemui Nabi SAW dan berkata,
"Kami datang kepada anda untuk meminta anak kami, kami mohon anda bersedia mengembalikannya kepada kami dan menerima uang tebusan yang tidak seberapa banyaknya ini!
"Tidak harus seperti itu," Kata Nabi SAW," Biarlah ia memilih sendiri. Jika ia memilih anda, saya akan mengembalikannya kepada anda tanpa tebusan apapun. Tetapi jika ia memilih saya, maka saya tidak bisa menolak orang yang dengan sukarela mengikuti saya…!"

Nabi SAW menyuruh seseorang untuk memanggil Zaid. Sementara itu tampak kegembiraan Haritsah dengan penjelasan beliau. Ia akan meperoleh kembali anaknya tanpa tebusan apapun, begitu pikirnya. Ketika Zaid telah datang, beliau berkata kepadanya, "Tahukah engkau, siapa dua orang ini?"
"Ya, saya tahu," Kata Zaid, "Yang ini ayahku, satunya lagi adalah pamanku."

Nabi SAW menjelaskan permintaan ayahnya, dan juga tentang pilihan yang beliau berikan kepadanya. Tanpa berfikir panjang, Zaid berkata,
"Tak ada pilihanku kecuali anda, andalah ayahku, dan andalah juga pamanku…!"

Mendengar jawaban Zaid ini ayah dan pamannya terkejut, tetapi Nabi SAW tampak berlinang air mata karena haru dan syukur. Beliau memang sangat menyayanginya seperti anak sendiri, sehingga bagaimanapun secara manusiawi, beliau akan merasa kehilangan jika Zaid memutuskan untuk kembali kepada keluarganya sendiri. Segera saja Nabi SAW membawa Zaid ke Ka'bah dimana biasanya para pembesar Quraisy berkumpul, kemudian beliau berkata lantang,
"Saksikanlah oleh kalian semua, mulai hari ini Zaid adalah anakku, ia ahli warisku dan aku ahli warisnya…"

Memang, budaya Arab saat itu membenarkan mengangkat anak yang statusnya sama seperti anak kandung. Sejak itu, Zaid dikenal dengan nama Zaid bin Muhammad. Dalam perkembangan selanjutnya ketika telah tinggal di Madinah, Al Qur'an melarang penisbahan kecuali kepada ayah kandungnya, begitu juga anak angkat tidaklah sama dengan anak kandung. Salahsatu cara Allah SWT ‘membongkar’ budaya jahiliah ini adalah Nabi SAW diperintahkan menikahi atau lebih tepatnya dinikahkan dengan janda Zaid bin Haritsah, yakni Zainab binti Jahsy, melalui firman Allah dalam surah al Ahzab 37. Zaid sendiri kemudian dinikahkan Nabi SAW dengan Ummu Kaltsum binti Uqbah, saudara dari Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan bin Harb.

Mendengar pernyataan Nabi SAW ini, Haritsah menjadi tenang, ia tidak perlu lagi merisaukan bahwa anaknya akan terlantar atau tersiksa karena statusnya sebagai budak. Ia kembali ke kaumnya dengan hati riang dan bangga.

Zaid bin Haritsah menjadi kelompok pertama pemeluk Islam karena ia tinggal bersama Rasulullah SAW. Ia menjadi orang yang ke dua (setelah Khadijah RA) atau ke tiga (setelah Ali bin Abi Thalib) yang meyakini kenabian Nabi Muhammad SAW. Ia begitu disayang oleh Nabi SAW, di samping karena ketinggian akhlaknya sebagai hasil didikan beliau sendiri, kecintaannya kepada Nabi SAW juga begitu besar. Ia rela menderita dan kesakitan demi keselamatan beliau. Hal ini tampak jelas ketika ia mendampingi beliau menyeru penduduk Thaif untuk memeluk Islam.

Ketika Abu Thalib dan Khadijah wafat, tekanan dan siksaan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy makin meningkat, karena itu beliau berinisiatif untuk menyeru penduduk Thaif untuk memeluk Islam. Kalau berhasil, setidaknya bisa mengurangi dan menghambat tekanan kaum Quraisy, karena Bani Tsaqif yang mendiami kota Thaif adalah kabilah yang cukup kuat. Beliau menempuh jarak sekitar 90 atau 100 km dengan berjalan kaki, hanya berdua dengan Zaid bin Haritsah.

Selama sepuluh hari tinggal di Thaif ternyata tidak ada seorang pun yang menyambut seruan beliau. Bahkan akhirnya mereka mengusir beliau dari Kota Thaif. Tidak cukup itu, mereka mengumpulkan beberapa orang jahat dan para budak mengerumuni beliau, membentuk dua barisan di kanan kiri jalan, dan mereka mencaci maki serta melemparkan batu kepada mereka berdua.
Zaid bin Haritsah mati-matian melindungi Nabi SAW dari serangan lemparan batu tersebut. Tak terkira luka-luka di kepala dan tubuhnya, karena mereka terus melakukan serangan batu tersebut sepanjang 4,5 km (3 mil) perjalanan, sampai Nabi SAW dan Zaid masuk dan berlindung ke dalam kebun milik Utbah bin Rabiah dan Syaibah bin Rabiah, seorang tokoh Quraisy.

Luka mengucur hampir dari seluruh bagian tubuh Zaid, Nabi SAW sendiri juga terluka, bahkan salah urat di atas tumit beliau putus sehingga darah membasahi terompah beliau. Tetapi Zaid justru lebih mengkhawatirkan luka pada kaki Nabi SAW daripada luka-luka yang dialaminya. Persoalan belum selesai sampai di situ, kaum kafir Quraisy dengan pimpinan Abu Jahal ternyata telah bersiap-siap menolak Rasulullah SAW untuk memasuki Makkah, bahkan akan mengusir beliau. Zaid bin Haritsah bertanya,
"Bagaimana caranya engkau memasuki Makkah, Ya Rasulullah, padahal mereka telah (berniat) mengusir engkau?"
"Wahai Zaid," Kata Nabi SAW, "Sesungguhnya Allah akan menciptakan kelonggaran dan jalan keluar dari masalah yang kita hadapi ini. Sungguh Allah pasti akan menolong agamaNya dan memenangkan NabiNya!"

Setelah hijrah ke Madinah, Zaid tidak pernah terlewat berjuang bersama Rasulullah SAW. Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq dan lain-lainnya, semua diterjuninya tanpa kenal menyerah. Jika Nabi SAW mengirim suatu pasukan sementara beliau sendiri tidak mengikutinya, pastilah Zaid yang ditunjuk sebagai pemimpinnya. Misalnya perang al Jumuh, at Tharaf, al Ish, al Hismi dan beberapa peperangan lainnya.

Tibalah pertempuran Mu'tah, sebuah pertempuran tidak berimbang antara pasukan muslim yang hanya 3.000 orang melawan pasukan Romawi dan sekutunya sebanyak 200.000 orang. Pemicu pertempuran ini adalah terbunuhnya utusan Nabi SAW ke Bushra, Harits bin Umair RA oleh Syurahbil bin Amr, pemimpin Balqa yang berada di bawah kekuasaan kaisar Romawi. Pasukan muslim 3.000 orang saat itu adalah yang terbesar yang pernah dipersiapkan beliau, dan beliau tidak pernah menyangka bahwa pasukan Romawi akan menghadapinya dengan prajurit sebanyak itu. Tetapi seperti memperoleh pandangan ke depan (vision), beliau menunjuk tiga orang sebagai komandan secara berturutan, pertama Zaid bin Haritsah, kedua Ja'far bin Abi Thalib dan ketiga Abdullah bin Rawahah.

Ketika pasukan tiba di Mu'an, tidak jauh dari Mu'tah, mereka baru memperoleh informasi bahwa pasukan Romawi sebanyak 200.000 orang. Mereka bermusyawarah tentang jalan terbaik, sebab kalau nekad bertempur, sama saja dengan bunuh diri.

Setelah banyak pendapat yang masuk, diputuskan untuk memberitahukan Nabi SAW jumlah pasukan yang harus dihadapi. Setelah itu terserah petunjuk beliau, apa akan terus melawan? Menunggu bantuan? Atau apa nanti, terserah perintah Nabi SAW.

Tetapi pendapat tersebut ditentang oleh komandan lapis ke tiga, Abdullah bin Rawahah. Menurutnya, pertempuran ini adalah karena Allah dan AgamaNya, bukan karena jumlah pasukan yang dihadapinya. Rasulullah SAW telah memerintahkan dan tugas mereka melaksanakannya. Apapun hasilnya adalah kebaikan semata, yakni kemenangan, atau gugur sebagai syahid. Pendapat Ibnu Rawahah tersebut seolah menyadarkan mereka, dan menggelorakan semangat berjihad kaum muslimin tersebut, bukan semata-mata takut dan bunuh diri.

Pertempuran hebat antara 3.000 pasukan melawan 200.000 pasukan, sangat mudah diramalkan bagaimana kesudahannya. Dan seperti diramalkan Nabi SAW, Zaid bin Haritsah gugur dengan luka-luka yang tidak bisa dibayangkan bagaimana parahnya, jauh lebih parah daripada luka-lukanya sepulang dari Thaif. Namun demikian tampak sesungging senyum di bibirnya, karena sesungguhnya-lah ia tak sempat melihat dan mengamati medan pertempuran. Kebun-kebun surga dan bidadari-bidadari yang jelita seolah menyerunya untuk segera datang, sehingga apapun dan siapapun yang menghalangi jalannya, ditebasnya habis dengan pedang dan tombaknya. Dan ia benar-benar telah merasa gembira dan ridha ketika tubuhnya roboh tak bergerak karena luka-luka yang dialaminya, sementara ruh-nya terbang tinggi memenuhi panggilan kasih sayang Ilahi. “Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah, irji-‘ii ilaa robbiki roodhiyatan mardhiyyah, fadhkhuuli fii ‘ibaadii, wadhkhuulii jannatii….!!”

Infaq Abu Bakar Ash-Shiddiq RA


Ibnu Ishaq menceritakan dari Asma' binti Abu Bakar Radhiyallahu Anha, dia berkata,
Saat Rasulullah SAW hijrah ke Madinah dan Abu Bakar menyertai beliau, maka Abu Bakar membawa semua hartanya sebanyak lima atau enam ribu dirham. Kakekku yang buta, Abu Qahafah memasuki rumah seraya berkata,
"Demi Allah, menurutku Abu Bakar telah membuat kalian risau karena semua hartanya dia bawa."
"Tidak kakek, masih banyak kebaikan yang dia tinggalkan bagi kita," kata Asma'.

Lalu aku mengambil kerikil-kerikil dan kuletakkan di sebuah lubang di dalam rumah, yang di tempat itulah biasanya Abu Bakar meletakkan hartanya, kemudian kuletakkan kain di atasnya. Kupegang tangan kakek, sambil kukatakan kepadanya,
"Letakkan tangan kakek ditempat penyimpanan harta ini."
Setelah meraba tempat itu, kakek berkata,
"Tak apalah kalau dia meninggalkan harta ini bagi kalian. Dia memang telah berbuat yang terbaik, dan sudah cukup bagi kalian." 

Padahal demi Allah, ayahku tidak meninggalkan apa pun bagi kami. Aku berbuat seperti itu dengan maksud untuk membuat agar kakek merasa tenang."

Begitulah yang disebutkan di dalam Al-Bidayah, 3:179. Ahmad dan Ath-Thabrany juga mentakhrij yang seperti ini. Menurut Al-Haitsamy, 6: 59, rijal Ahmad shahih, kecuali Ibnu Ishaq. Tapi juga ditegaskan bahwa dia memang mendengarnya.

Renungan Kematian Penikmat Musik



Tatkala masih di bangku sekolah, aku hidup bersama kedua orang tuaku dalam lingkungan yang baik. Aku selalu mendengar do’a ibuku saat pulang dari keluyuran dan begadang malam. Demikian pula ayahku, ia selalu dalam shalatnya yang panjang. Aku heran, mengapa ayah shalat begitu lama, apalagi jika saat musim dingin yang menyengat tulang.
Aku sungguh heran. Bahkan hingga aku berkata kepada diri sendiri: “Alangkah sabarnya mereka… setiap hari begitu…benar-benar mengherankan!”

Aku belum tahu bahwa di situlah kebahagiaan orang mukmin, dan itulah shalat orang-orang pilihan. Mereka bangkit dari tempat tidumya untuk bermunajat kepada Allah.

Setelah menjalani pendidikan militer, aku tumbuh sebagai pemuda yang matang. Tetapi diriku semakin jauh dari Allah. Padahal berbagai nasihat selalu kuterima dan kudengar dari waktu ke waktu.

Setelah tamat dari pendidikan, aku ditugaskan ke kota yang jauh dari kotaku. Perkenalanku dengan teman-teman sekerja membuatku agak ringan menanggung beban sebagai orang terasing.
Di sana, aku tak mendengar lagi suara bacaan Al-Qur’an. Tak ada lagi suara ibu yang membangunkan dan menyuruhku shalat. Aku benar-benar hidup sendirian, jauh dari lingkungan keluarga yang dulu kami nikmati.
Aku ditugaskan mengatur lalu lintas di sebuah jalan tol. Di samping menjaga keamanan jalan, tugasku membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan.
Pekejaan baruku sungguh menyenangkan. Aku lakukan tugas-tugasku dengan semangat dan dedikasi tinggi.
Tetapi, hidupku bagai selalu diombang-ambingkan ombak.
Aku bingung dan sering melamun sendirian, banyak waktu luang, pengetahuanku terbatas.
Aku mulai jenuh, tak ada yang menuntunku di bidang agama. Aku sebatang kara. Hampir tiap hari yang kusaksikan hanya kecelakaan dan orang-orang yang mengadu kecopetan atau bentuk-bentuk penganiayaan lain. Aku bosan dengan rutinitas.
Sampai suatu hari terjadilah suatu peristiwa yang hingga kini tak pernah kulupakan.
Ketika itu, kami dengan seorang kawan sedang bertugas di sebuah pos jalan. Kami asyik ngobrol, tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara benturan yang amat keras. Kami mengalihkan pandangan. Ternyata, sebuah mobil bertabrakan dengan mobil lain yang meluncur dari arah berlawanan. Kami segera berlari menuju tempat kejadian untuk menolong korban.
Kejadian yang sungguh tragis. Kami lihat dua awak salah satu mobil daIam kondisi sangat kritis. Keduanya segera kami keluarkan dari mobil lalu kami bujurkan di tanah.
Kami cepat-cepat menuju mobil satunya. Ternyata pengemudinya telah tewas dengan amat mengerikan. Kami kembali lagi kepada dua orang yang berada dalam kondisi koma. Temanku menuntun mereka mengucapkan kalimat syahadat.
Ucapkanlah “Laailaaha Illallaah…Laailaaha Illallaah…” perintah temanku.
Tetapi sungguh mengherankan, dari mulutnya malah meluncur lagu-lagu. Keadaan itu membuatku merinding.Temanku tampaknya sudah biasa menghadapi orang-orang yang sekarat. Kembali ia menuntun korban itu membaca syahadat.
Aku diam membisu. Aku tak berkutik dengan pandangan nanar. Seumur hidupku, aku belum pernah menyaksikan orang yang sedang sekarat, apalagi dengan kondisi seperti ini. Temanku terus menuntun keduanya mengulang-ulang bacaan syahadat. Tetapi… keduanya tetap terus saja melantunkan lagu.
Tak ada gunanya…
Suara lagunya semakin melemah… lemah dan lemah sekali. Orang pertama diam, tak bersuara lagi, disusul orang kedua. Tak ada gerak… keduanya telah meninggal dunia.
Kami segera membawa mereka ke dalam mobil.
Temanku menunduk, ia tak berbicara sepatah pun. Selama pejalanan hanya ada kebisuan, hening.
Kesunyian pecah ketika temanku memulai bicara. Ia berbicara tentang hakikat kematian dan su’ul khatimah (kesudahan yang buruk). Ia berkata:
“Manusia akan mengakhiri hidupnya dengan baik atau buruk. Kesudahan hidup itu biasanya pertanda dari apa yang dilakukan olehnya selama di dunia”.
Ia bercerita panjang lebar padaku tentang berbagai kisah yang diriwayatkan dalam buku-buku Islam. Ia juga berbicara bagaimana seseorang akan mengakhiri hidupnya sesuai dengan masa lalunya secara lahir batin.

Perjalanan ke rumah sakit terasa singkat oleh pembicaraan kami tentang kematian. Pembicaraan itu makin sempurna gambarannya tatkala ingat bahwa kami sedang membawa mayat.
Tiba-tiba aku menjadi takut mati. Peristiwa ini benar-benar memberi pelajaran berharga bagiku. Hari itu, aku shalat kusyu’ sekali.
Tetapi perlahan-lahan aku mulai melupakan peristiwa itu.
Aku kembali pada kebiasaanku semula, Aku seperti tak pemah menyaksikan apa yang menimpa dua orang yang tak kukenal beberapa waktu lalu. Tetapi sejak saat itu, aku memang benar-benar menjadi benci kepada yang namanya lagu-lagu. Aku tak mau tenggelam menikmatinya seperti sedia kala. Mungkin itu ada kaitannya dengan lagu yang pemah kudengar dari dua orang yang sedang sekarat dahulu.

Kejadian Yang Menakjubkan…
Selang enam bulan dari peristiwa mengerikan itu, sebuah kejadian menakjubkan kembali terjadi di depan mataku.
Seseorang mengendarai mobilnya dengan pelan, tetapi tiba-tiba mobilnya mogok di sebuah terowongan menuju kota.
Ia turun dari mobilnya untuk mengganti ban yang kempes. Ketika ia berdiri di belakang mobil untuk menurunkan ban serep, tiba-tiba sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabraknya dari arah belakang. Lelaki itu pun langsung tersungkur seketika.
Aku dengan seorang kawan, bukan yang menemaniku pada peristiwa yang pertama,  cepat-cepat menuju tempat kejadian. Dia kami bawa dengan mobil dan segera pula kami menghubungi rumah sakit agar langsung mendapat penanganan.
Dia masih muda, dari tampangnya, ia kelihatan seorang yang ta’at menjalankan perintah agama.
Ketika mengangkatnya ke mobil, kami berdua cukup panik, sehingga tak sempat memperhatikan kalau ia menggumamkan sesuatu. Ketika kami membujurkannya di dalam mobil, kami baru bisa membedakan suara yang keluar dari mulutnya.
Ia melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan suara amat lemah.
“Subhanallah!” dalam kondisi kritis seperti , ia masih sempat melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran? Darah mengguyur seluruh pakaiannya; tulang-tulangnya patah, bahkan ia hampir mati.
Dalam kondisi seperti itu, ia terus melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan suaranya yang merdu. Selama hidup aku tak pernah mendengar suara bacaan Al-Qur'an seindah itu. Dalam batin aku bergumam sendirian: “Aku akan menuntun membaca syahadat sebagaimana yang dilakukan oleh temanku terdahulu, apalagi aku Sudah punya pengalaman,” aku meyakinkan diriku sendiri.
Aku dan kawanku seperti kena hipnotis mendengarkan suara bacaan Al-Qur’an yang merdu itu. Sekonyong-konyong tubuhku merinding menjalar dan menyelusup ke setiap rongga.
Tiba-tiba suara itu berhenti. Aku menoleh ke belakang. Kusaksikan dia mengacungkan jari telunjuknya lalu bersyahadat. Kepalanya terkulai, aku melompat ke belakang. Kupegang tangannya, detak jantungnya nafasnya, tidak ada yang terasa. Dia telah meninggal dunia.
Aku lalu memandanginya lekat-lekat, air mataku menetes, kusembunyikan tangisku, takut diketahui kawanku. Kukabarkan kepada kawanku kalau pemuda itu telah wafat. Kawanku tak kuasa menahan tangisnya. Demikian pula halnya dengan diriku. Aku terus menangis, air mataku deras mengalir. Suasana dalam mobil betul-betul sangat mengharukan.

Sampai di rumah sakit…
Kepada orang-orang di sanal kami mengabarkan perihal kematian pemuda itu dan peristiwa menjelang kematiannya yang menakjubkan. Banyak orang yang terpengaruh dengan kisah kami, sehingga tak sedikit yang meneteskan air mata. Salah seorang dari mereka, demi mendengar kisahnya, segera menghampiri jenazah dan mencium keningnya.
Semua orang yang hadir memutuskan untuk tidak beranjak sebelum mengetahui secara pasti kapan jenazah akan dishalatkan. Mereka ingin memberi penghormatan terakhir kepada jenazah, semua ingin ikut menyalatinya.
Salah seorang petugas rumah sakit menghubungi rumah almarhum. Kami ikut mengantarkan jenazah hingga ke rumah keluarganya. Salah seorang saudaranya mengisahkan ketika kecelakaan, sebetulnya almarhum hendak menjenguk neneknya di desa. Pekerjaan itu rutin ia lakukan setiap hari Senin. Di sana, almarhum juga menyantuni para janda, anak yatim dan orang-orang miskin.

Ketika tejadi kecelakaan, mobilnya penuh dengan beras, gula, buah-buahan dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Ia juga tak lupa membawa buku-buku agama dan kaset-kaset pengajian. Semua itu untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang yang ia santuni. Bahkan ia juga membawa permen untuk dibagi-bagikan kepada anak-anak kecil.
Bila ada yang mengeluhkan-padanya tentang kejenuhan dalam pejalanan, ia menjawab dengan halus. “Justru saya memanfaatkan waktu perjalananku dengan menghafal dan mengulang-ulang bacaan Al-Qur’an, juga dengan mendengarkan kaset-kaset pengajian, aku mengharap ridha Allah pada setiap langkah kaki yang aku ayunkan,” kata almarhum.

Aku ikut menyalati jenazah dan mengantarnya sampai ke kuburan.
Dalam liang lahat yang sempit, almarhum dikebumikan. Wajahnya dihadapkan ke kiblat.
“Dengan nama Allah dan atas ngama Rasulullah”.
Pelan-pelan, kami menimbuninya dengan tanah. Mintalah kepada Allah keteguhan hati saudaramu, sesungguhnya dia akan ditanya…
Almarhum menghadapi hari pertamanya dari hari-hari akhirat…
Dan aku… sungguh seakan-akan sedang menghadapi hari pertamaku di dunia. Aku benar-benar bertaubat dari kebiasaan burukku. Mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosaku di masa lalu dan meneguhkanku untuk tetap mentaatinya, memberiku kesudahan hidup yang baik (khusnul khatimah) serta menjadikan kuburanku dan kuburan kaum muslimin sebagai taman-taman Surga. Amin… (Azzamul Qaadim, hal 36-42)

Sumber : “Saudariku Apa yang Menghalangimu Untuk Berhijab” 
judul asli Kesudahan yang Berlawanan; Asy Syaikh Abdul Hamid Al-Bilaly; Penerbit : Akafa Press Hal. 48

Kain Kafan Dari Rasulullah SAW



Seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW Ia menyerahkan kain yang ditenunnya sendiri dan diserahkan kepada Nabi SAW sebagai rasa cintanya kepada Rasul. Dengan senang hati Rasulullah menerima pemberian itu dan memakainya.

Dengan memakai kain pemberian wanita itu, Nabi keluar menemui sahabatnya. Salah seorang sahabat melihat begitu indahnya kain yang dipakai Nabi, lalu berkata,
"Wahai Rasulullah, alangkah indahnya kain yang engkau pakai itu. Betapa senangnya jika aku memakainya," ujarnya.
"Baiklah,"
jawab Nabi SAW ringkas.

Setelah keluar dari suatu majlis, Rasulullah SAW datang lagi ke tempat itu, tetapi tidak lagi menggunakan kain tenun yang baru dipakai itu. Kain pemberian wanita itu berlipat di tangannya, dan kemudian diserahkan kepada sahabat yang memujinya tadi.
"Terimalah kain ini dan pakailah," ujar Rasululah SAW.
Melihat peristiwa itu, ramai sahabat yang mencela lelaki itu. Kain pemberian wanita itu sangat disenangi Nabi kerana itu dipakainya, tetapi Nabi tidak pernah menolak permintaan seseorang.
"Mengapa engkau masih memintanya?" sungut para sahabat.
Apa jawab sahabat yang meminta kain kepada Rasulullah SAW,
"Saya minta kain itu bukan untuk saya pakai, melainkan untuk saya gunakan untuk kain kafanku."

10 Jenazah Yang Tidak Hancur



Semua yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Dan jika sudah mati, maka jasad akan membusuk dalam tanah. Namun Rasulullah SAW menyebutkan bahwa ada sepuluh orang yang mayatnya tidak akan busuk.

Disebutkan dalam hadits Rasulullah Saw bahwa sepuluh orang yang mayatnya tidak busuk dan akan bangkit dalam keadaan tubuh seperti semula pada hari kiamat sebagai berikut:

1. Para nabi.

2. Para ahli jihad fisabilillah.

3. Para alim ulama yang menegakkan kalimat Allah.

4. Para syuhada yang sentiasa memperjuangkan Islam.

5. Para penghafal Al-Qur'an dan beramal dengan Alquran.

6. Imam atau pemimpin yang adil dalam menegakkan syariat Allah.

7. Muadzin yang tidak meminta imbalan.

8. Wanita yang meninggal sewaktu melahirkan anak serta senantiasa taat pada perintah Allah.

9. Orang mati dibunuh atau dianiaya karena mempertahankan kehormatan diri dan agama.

10. Orang yang mati di siang hari atau di malam Jumat jika mereka itu dari kalangan orang yang beriman yang sentiasa menjaga hukum agama semasa hidup di dunia. (HR Bukhari Muslim).