Cari Artikel

Ja'far Bin Abu Thalib RA



Ja'far bin Abu Thalib masih saudara sepupu Rasulullah SAW, putra dari Abu Thalib, paman yang mengasuh beliau dari kecil, dan menjadi pelindung Nabi SAW dan dakwah Islamiah ketika masih di Makkah, walaupun akhirnya meninggal dalam kekafiran. Nabi SAW sangat menyayangi Ja’far karena ia termasuk sahabat yang paling mirip dengan beliau. Beliau sendiri pernah bersabda kepadanya, “Engkau adalah yang paling mirip dengan akhlak dan rupaku!!”

Ja’far dan istrinya, Amma binti Umais memeluk Islam pada masa-masa awal di Makkah. Tak pelak lagi mereka mendapat tekanan dan siksaan dari para pembesar kafir Quraisy. Memang tidak seberat dialami para budak seperti Bilal, Ammar bin Yasir, Khabbat bin Aratt dan beberapa lainnya. Tetapi kehidupan mereka di tanah kelahirannya sendiri menjadi tidak nyaman dan tidak bisa bebas melaksanakan ajaran agama barunya tersebut. Karena itu, ketika Nabi SAW menghimbau sahabat-sahabatnya untuk berhijrah ke Habasyah (Ethiopia), Ja'far dan istrinya segera menyambut seruan tersebut. Bahkan Nabi SAW mengangkatnya sebagai pimpinan rombongan Muhajirin pertama ini.

Kaum kafir Quraisy merasa kecolongan karena beberapa orang muslim (sebanyak 83 lelaki dan 18/19 perempuan) lolos dari pengawasan mereka, dan berhasil hijrah ke Habasyah. Tetapi mereka tidak berdiam diri begitu saja, mereka berupaya keras bagaimana bisa mengembalikan mereka ke Makkah. Dikirimlah dua orang ahli diplomasi, Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabiah. untuk mempengaruhi Najasyi agar bersedia mengembalikan kaum muhajirin tersebut ke Makkah. Mereka menyiapkan berbagai macam hadiah dan bingkisan untuk memuluskan rencana tersebut. Setibanya di Habasyah, Amr bin Ash menemui para uskup terlebih dahulu dan memberikan berbagai hadiah, dengan harapan mereka memberikan dukungan kepadanya.

Tiba waktu yang ditentukan, Amr bin Ash dan Ibnu Abi Rabiah menyampaikan hadiah dan bingkisan yang disiapkan untuk Najasyi, Raja Habasyah, kemudian menyampaikan maksud kedatangannya dengan gaya diplomasi yang manis dan memikat. Para uskuppun ikut berbicara,
"Benar apa yang dikatakan mereka berdua, wahai Baginda Raja. Serahkan saja mereka kepada keduanya agar mereka bisa dikembalikan ke negerinya dan kepada kaum kerabatnya."

Tetapi Ashamah an Najasyi adalah seorang raja yang adil, berilmu dan beriman kuat (pada agama Nashrani yang dipeluknya) dan berakhlak mulia, persis seperti yang digambarkan Nabi SAW kepada para sahabat yang akan berhijrah ke Habasyah. Ia tidak akan mengambil keputusan apapun hanya berdasarkan apa yang disampaikan oleh Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabiah. Karena itu ia memerintahkan agar rombongan muhajirin tersebut dibawa menghadap kepadanya.

Kaum muslimin pun mendatangi majelis Najasyi dengan hati was-was. Mereka memang telah mengetahui kehadiran dua utusan Quraisy dan sepak terjangnya dalam upaya mengembalikan mereka ke Makkah. Merekapun menunjuk Ja'far bin Abu Thalib sebagai juru bicara menghadapi Najasyi. Setibanya di majelis itu, Najasyi berkata,
"Agama seperti apakah yang kalian pegangi itu, sehingga karena agama tersebut kalian memecah belah kaum kalian, dan kalian tidak juga memeluk agama kami atau agama lainnya yang kami kenali?"

Sebagai juru bicara kaum muhajirin yang ditunjuk, Ja'far maju menghadap ke Najasyi. Apa yang dikatakannya akan menjadi penentu, apakah mereka akan tetap tinggal di Habasyah dan dengan tenang bisa melaksanakan ibadah, atau apakah mereka akan kembali ke Makkah dan menjadi sasaran siksaan dan pengejaran untuk memaksa mereka kembali ke agama jahiliahnya?

Ja'far berkata,
"Wahai Tuan Raja, dulu kami pemeluk agama jahiliah yang menyembah berhala-berhala, memakan bangkai, berbuat mesum, yang kuat menindas yang lemah, memutuskan tali persaudaraan dan berbagai pekerti buruk lainnya. Lalu Allah mengutus seorang rasul dari kalangan kami sendiri, yang sangat kami kenali nasab, kejujuran, amanah dan kesucian hatinya. Beliau menyeru kami untuk hanya menyembah Allah dan tidak9 menyekutukannya. Beliau juga memerintahkan kami untuk berbuat jujur, amanah….."

Ja'far-pun menyebutkan berbagai macam perintah Islam yang harus dilaksanakan dan juga larangan-larangan yang harus ditinggalkan.

Kemudian ia meneruskan,
"….Tetapi kaum kami memusuhi kami, menyiksa dan menimbulkan berbagai cobaan dengan tujuan mengembalikan kami kepada penyembahan berhala dan menghalalkan berbagai macam keburukan seperti dahulu. Mereka menekan dan mempersempit ruang gerak kami, menghalangi kami dari melaksanakan ajaran agama kami sehingga Nabi SAW kami memerintahkan kami pergi ke negeri tuan, dan memilih tuan daripada orang lainnya…!! Kami gembira mendapat perlindungan tuan, dan kami berharap agar kami tidak didzalimi di sisi tuan, Wahai tuan Raja!!"

Najasyi terdiam beberapa saat, merenungi penjelasan Ja'far yang panjang lebar tersebut. Kemudian ia berkata,
"Apakah kalian bisa membacakan sedikit dari ajaran kalian kepadaku?"
"Bisa, tuan Raja, " Kata Ja'far.
Kemudian ia membacakan beberapa ayat-ayat awal dari Surah Maryam. Najasyi dan beberapa orang uskup dengan ta'dhim mendengar bacaan Ja'far, tanpa terasa mereka berurai air mata sehingga membasahi jenggotnya
"Cukup," Kata Najasyi,
"Sesungguhnya ini dan apa yang dibawa Isa benar-benar keluar dari misykat yang sama…"

Misykat adalah lubang di tembok tempat menaruh lampu, yang dari tempat itu cahaya menerangi seluruh ruangan. Dengan perkataannya itu berarti Najasyi mengakui bahwa Islam adalah agama wahyu, sebagaimana agama Nashrani yang dipeluknya.

Kemudian Najasyi berpaling kepada dua utusan Quraisy tersebut dan berkata, "Pergilah kalian! Sungguh aku tidak akan pernah menyerahkan mereka kepada kalian, tidak akan pernah !!"

Tak ada pilihan bagi keduanya kecuali pergi dari hadapan Najasyi. Tetapi Amr bin Ash sempat berkata pelan, "Demi Allah, besok aku akan mendatangkan mereka lagi dengan sesuatu yang bisa membinasakan mereka."
"Jangan lakukan itu," Kata Ibnu Abi Rabiah, "Bagaimanapun mereka masih kerabat kita walaupun mereka. menentang kita…!!"
Tetapi Amr bin Ash tidak memperdulikan saran temannya tersebut. Esoknya ia menghadap Najasyi dan berkata,
"Wahai tuan Raja, sesungguhnya mereka menyampaikan perkataan yang menyalahi Tuan dalam masalah Isa bin Maryam!!"

Sekali lagi Najasyi mengirim utusan memanggil kaum muhajirin tersebut untuk menjelaskan masalah Isa. Mereka menjadi kaget dan risau, bagaimanapun juga mengenai Isa bin Maryam menjadi masalah yang krusial karena jelas-jelas Islam menolak ketuhanan Isa bin Maryam. Sempat terpikir untuk mencari jawaban yang bisa menyenangkan Najasyi, tetapi akhirnya semua ditepiskan, tidaklah mereka akan mengatakan sesuatu kecuali kebenaran semata.

Ketika mereka dihadapkan dan Najasyi menanyakan hal tersebut, Ja'far berkata diplomatis,
"Mengenai Isa bin Maryam, kami katakan seperti apa yang dinyatakan oleh Nabi SAW kami, bahwa Isa adalah hamba Allah, Rasul-Nya, Roh-Nya dan Kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam, sang Perawan Suci…"

Sebenarnya sama saja dan juga lebih mudah kalau dikatakan, "Isa bin Maryam bukan Tuhan". Tetapi itu akan langsung menghantam keyakinan Raja dan para pengikutnya. Di sinilah tampak kemampuan diplomatis yang dimiliki Ja'far bin Abu Thalib. Mereka telah siap dan pasrah atas keputusan dan kemarahan Raja Najasyi. Tetapi reaksi yang terjadi jauh di luar dugaan. Tiba-tiba Najasyi turun dari tahtanya, ia mengambil sepotong ranting yang ada di tanah dan berkata,
"Demi Allah, Isa bin Maryam tidak melebihi apa yang kamu katakan, walaupun hanya sepanjang ranting ini. Kalian aman di sini, jika ada orang yang menghina dan mencerca kalian, dia akan menanggung denda. Aku tidak suka seandainya memiliki gunung emas, sedangkan aku menyakiti salah satu dari kalian."

Sebagian pembesar dan panglimanya tampak tidak senang dengan perkataan Najasyi, mereka mendengus marah. Najasyipun berkata,
"Aku tidak perduli jika kalian marah, kembalikan hadiah yang diberikan oleh kedua orang itu (utusan Quraisy), Demi Allah, Allah tidak menerima suap dariku ketika Dia memberikan amanat kerajaan ini, karena itu aku tidak perlu menerima suap dalam urusan-Nya. Tidak juga Allah menuruti kemauan orang banyak dalam urusanku, sehingga aku tidak perlu menuruti kemauan kalian dalam urusanNya."

Dengan terpaksa mereka mengembalikan hadiah-hadiah tersebut kepada dua utusan Quraisy, dan keduanya keluar dari majelis Najasyi dengan terhina.

Ja'far dan para muhajirin lainnya tetap tinggal di Habasyah sampai datang perintah Nabi SAW agar mereka segera berhijrah lagi ke Madinah, itu terjadi di bulan Dzulhijjah 6 H, atau Muharam 7 H. Tetapi sebelum mereka meninggalkan bumi Habasyah, Raja an Najasyi menyatakan dirinya memeluk Islam, sesuai dengan seruan Nabi SAW, di hadapan Ja’far bin Abu Thalib. Pada saat yang sama, Najasyi juga mengadakan pesta pernikahan Nabi SAW dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Ia juga memberikan hadian dan perbekalan yang cukup melimpah kepada kaum muhajirin yang dipimpin Ja’far ini.

Dalam perjalanan hijrah ke Madinah ini mereka bersama-sama dengan Abu Musa al Asy'ari dan kaumnya, Asy'ariyyin yang berasal dari Yaman. Kaum Asy'ariyyin ini sebenarnya ingin menyertai Nabi SAW dan pasukan muslim lainnya yang akan menyerang kaum Yahudi di benteng Khaibar, tetapi perahu mereka mengalami kerusakan dan terdampar di Habasyah beberapa hari lamanya.

Rombongan muhajirin ini bertemu dengan Nabi SAW yang baru pulang dari perang Khaibar, Nabi SAW langsung memelukJa'far dengan hangat dan berkata,
"Aku tidak tahu, mana yang lebih menggembirakan aku, dibebaskannya Khaibar atau kembalinya Ja'far…!!"

Setelah itu Nabi SAW memberikan bagian ghanimah Perang Khaibar mereka semua.

Di Madinah, Ja’far berkumpul lagi dengan banyak sahabat dan kerabatnya yang memeluk Islam, termasuk kaum Anshar yang baru dikenalinya saat itu. Ada senang dan haru, tetapi juga ada sedih, karena sebagian dari mereka telah syahid di medan perang Badar, Uhud dan peperangan lainnya. Tiba-tiba saja muncul gairah dan kerinduan ketika mengenang mereka, gairah untuk menerjuni medan perjuangan dan syahid menyusul mereka, "Kapankah aku bisa berbuat demikian pula…??" Begitu angan-angannya.

Beberapa pertempuran kecil dan beberapa pengiriman pasukan setelah Perang Khaibar dan Umrah Qadha' belum bisa menutupi dan memuaskan gairah Ja'far untuk berjuang di jalan Allah, sampai tibanya Perang Mu'tah.

Pada perang Mu'tah, Nabi SAW menetapkan bahwa pimpinan pasukan adalah Zaid bin Haritsah, jika gugur digantikan oleh Ja'far bin Abu Thalib, dan jika ia gugur juga digantikan oleh Abdullah bin Rawahah. Dari apa yang dipesankan oleh Nabi SAW tersebut, Ja'far yakin betul bahwa kegairahan dan kerinduannya akan terpuaskan dalam pertempuran ini, karena beliau telah menunjuk penggantinya. Artinya, kerinduannya untuk menjadi syahid sebagaimana banyak sahabat dan kerabat lainnya pasti menjadi kenyataan. Semangatnya pun jadi makin menggelora.

Nabi SAW menyiapkan tigaribu tentara dalam pasukan Mu'tah tersebut, dan itu merupakan jumlah pasukan terbesar yang pernah dikirimkan Nabi SAW. Pasukan di bawah komando Zaid bin Haritsah ini bergerak ke arah Syam, Nabi SAW sendiri mengantar keberangkatannya sampai ke Tsaniyatul Wada'.

Setibanya di Mu'an, tak jauh dari Mu' tah, mereka mendapati kenyataan bahwa Pasukan Romawi yang harus mereka hadapi sejumlah seratus ribu orang, itupun masih ditambah tentara dari sekutu-sekutunya sejumlah seratus ribu orang, sehingga totalnya dua ratus ribu tentara. Sungguh kekuatan yang sangat tidak berimbang. Pasukan muslim bermusyawarah, dan sempat memutuskan untuk mengabarkan jumlah pasukan musuh kepada Nabi SAW, sambil menunggu petunjuk beliau lebih lanjut.
Tetapi pendapat tersebut ditentang oleh komandan lapis ke tiga, Abdullah bin Rawahah. Menurutnya, pertempuran ini adalah karena Allah dan Agama-Nya, bukan karena jumlah pasukan yang dihadapinya, Rasulullah SAW telah menetapkan pertempuran ini dan tugas mereka melaksanakannya. Apapun hasilnya adalah kebaikan semata, yakni kemenangan, atau gugur sebagai syahid. Pendapat ini yang akhirnya disetujui secara aklamasi.

Pertempuran-pun berlangsung seru, jumlah yang sedikit tidak mematahkan semangat perjuangan mereka, dan tidak berarti menjadi mudah bagi pasukan Romawi untuk menaklukan pasukan muslim. Ketika akhirnya Zaid menemui syahidnya, Ja'far segera mengambil panji peperangan dari tangan Zaid, dan terus menghambur menyerang musuh. Ketika gerakan kudanya makin terbatas sehingga tidak leluasa berperang, ia turun dari kudanya yang bernama Syaqra' dan melukai kaki kudanya. Ia tidak ingin kudanya tersebut lari dari medan pertempuran, selagi tuannya masih terus berjuang. Ia adalah orang pertama yang melakukan hal tersebut.

Sebagian riwayat menyebutkan, Ja’far tidak turun, tetapi terlempar jatuh dari kudanya karena begitu semangatnya, dan ia meneruskan perjuangan dengan berjalan kaki. Tangan kiri memegang panji dan tangan kanan terus menyerang musuh tanpa ampun. Ketika tangan kanannya putus terkena senjata lawan, ia mengepit panji dengan sisa tangan kanannya, dan tangan kirinya meraih pedang untuk meneruskan menyerang musuh. Ketika tangan kirinya juga terputus kena pedang lawan, ia berdiri tegak mempertahankan panji agar tetap berkibar, sampai akhirnya senjata lawan bertubi-tubi menyerangnya hingga dia gugur sebagai syahid, gugur dengan senyum tersungging karena gairah dan kerinduannya terpuaskan. Panji peperangan diambil alih Abdullah bin Rawahah untuk meneruskan perempuran.

Ketika Nabi SAW diberitahu tentang kondisi tubuh Ja'far bin Abu Thalib tersebut, beliau mengatakan bahwa Allah menganugerahinya dua sayap di surga sebagai pengganti tangannya tersebut. Karena itu, Ja'far juga digelari dengan 'ath Thayyar' (penerbang) atau 'Dzul Janahain' (orang yang memiliki dua sayap).

Kisah Abu Thalhah RA Mewakafkan Kebunnya



Anas ra meriwayatkan bahwa Abu Thalhah ra adalah seorang sahabat yang memiliki kebun terbaik dan terbanyak jumlahnya di kota Madinah. Salah satunya di kenal dengan nama 'Birha'. Kebun inilah yang paling sering di kunjungi olehnya. Kebun ini terletak tidak jauh dari mesjid Nabi dan air telaganya pun terasa segar. Rasulullah saw sering juga mengunjungi kebun ini untuk meminum air dari telaga itu.

Ketika Allah swt menurunkan ayat berikut ini:
“Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebaktian (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (Qs.Ali imran ayat 92)
Maka Abu Thalhah segera menjumpai Rasulullah saw dan mengemukakan hasratnya,
“Wahai Rasulullah! Saya sangat mencintai Birha. Tetapi karena Allah swt telah memerintahkan kita supaya menafkahkan harta benda yang kita cintai, maka saya serahkan kebunku ini untuk dibelanjakan di jalan Allah swt. Sebagaimana yang dikehendaki-Nya.”
Dengan perasaan gembira Rasulullah saw bersabda,
“inilah suatu pemberian yang mulia (di sisi Allah). Saya berpendapat, akan lebih berguna jika engkau membagikan pemberianmu ini kepada kalangan ahli warismu sendiri.”

Akhirnya Abu Thalhah menerima nasihat Rasulullah saw agar kebun tersebut di bagikan kepada keluarganya. (Darrul Mantsur)

Hikmah dari cerita di atas:
Adakah dari kalangan kita yang sanggup memberikan benda kesayangannya semata-mata karena Allah swt yang hasrat itu timbul setelah mengingat ayat suci al-qur'an atau setelah mendengar uraian khutbah? Walaupun ada, biasanya setelah usia lanjut menjelang akhir hayat atau orang yang tidak ada harapan lagi untuk hidup. Kadang-kadang kita merasa khawatir dengan warisan yang akan diberikan kepada anak cucu kita. Akhirnya hal itu membuat kita tidak jadi melaksanakan niat kita untuk mewakafkan dan meyedekahkannya. Bertahun-tahun kita memikirkan itu namun tidak terpikir bahwa masalah hidup kita sekarang ini adalah tanggung jawab diri kita. Sedangkan setelah kita meninggal nanti, apa yang akan terjadi dengan sendirinya pasti terjadi. Berbeda jika kita akan menghadapi acara pernikahan umpamanya, kita tidak merasa cemas dan Khawatir untuk berhutang kepada orang lain.
(Sumber Himpunan Kitab fadhail Amal Hal: 642)

Seorang Bocah Dan Sekantong Paku



Konon Ahmad adalah bocah yang sulit diatur… sifatnya yang gampang marah dan keras kepala, menjadikannya sering bertengkar dan berkata kasar kepada orang lain.
Suatu ketika, ayahnya memanggilnya lalu memberikan sekantong paku kepadanya;
“Nih, tiap kali kau bertengkar atau berkata kasar kepada siapa pun, tancapkan sebatang paku di pagar itu” kata ayahnya.

Di hari pertama, Ahmad menancapkan sebanyak 32 batang paku di pagar… dan setelah seminggu berlalu, ia demikian terkejut melihat banyaknya paku-paku yang tertancap di pagar. Ia pun memutuskan untuk lebih mengendalikan dirinya dan mengurangi jumlah paku yang harus dia tancapkan tiap hari.
Ternyata benar, ia berhasil mengurangi jumlah paku yang harus ditancapkannya tiap hari… dan saat itulah ia mulai sadar bagaimana cara mengendalikan diri. Baginya, hal tersebut lebih mudah dari pada harus menancapkan paku di pagar setiap hari.

Demikian Si Ahmad melalui hari-hari berikutnya… hingga tibalah suatu hari dimana ia tidak lagi menancapkan sebatang paku pun di pagar! Ketika itulah Ahmad melapor kepada Ayahnya, dan mengatakan bahwa ia tidak perlu lagi menancapkan sebatang paku pun…
Sang Ayah pun berkata kepadanya:
“Hmm… baiklah, sekarang cabutlah sebatang paku setiap harinya, jika kamu berhasil melewati hari itu tanpa berkata kasar atau bertengkar dengan siapa pun…”

Hari demi hari berlalu cukup lama hingga akhirnya Ahmad berhasil mencabut seluruh paku tersebut. Ia pun melapor kepada ayahnya bahwa seluruh paku di pagar telah dicabutnya kembali. Maka Sang ayah mengajaknya ke pagar sembari berkata: “Hmm, bagus bagus… kerjaanmu cukup baik… tapi, coba perhatikan lubang-lubang bekas paku yang kau tancapkan di pagar, ia takkan kembali seperti sedia kala! Wahai Anakku… ketika kamu bertengkar dan marah dengan seseorang, kamu akan mengeluarkan kata-kata yang tidak baik… kamu meninggalkan mereka dengan luka yang dalam seperti lubang-lubang yang kau lihat ini… benar, kau bisa saja menikam seseorang lalu mencabut pisau tadi dari perutnya; akan tetapi, kau pasti akan meninggalkan bekas luka yang dalam! Karenanya, percuma saja kamu menyesali perbuatanmu itu berkali-kali, karena toh bekas lukanya tetap ada, dan ingatlah bahwa luka akibat lisanmu adalah lebih menyakitkan dari pada tikaman”.

Al Mutanabbi mengatakan:

جِرَاحَاتُ السِّنَانِ لَهَا الْتِئَامُ وَلاَ يَلْتَئِمْ مَا جَرَحَ اللِّسَانُ

Luka karena senjata dapat sembuh kembali, Namun takkan sembuh bila lisan yang melukai.

Cara Menutupi Kekurangan Amal Perbuatan



Sabda Rasulullah SAW kepada Mu'adz,
"Wahai Mu'adz, apabila di dalam amal perbuatanmu itu ada kekurangan;
- Jagalah lisanmu supaya tidak terjatuh di dalam ghibah terhadap saudaramu/muslimin.
- Bacalah Al-Qur'an
- Tanggunglah dosamu sendiri untukmu dan jangan engkau tanggungkan dosamu kepada orang lain.
- Jangan engkau mensucikan dirimu dengan mencela orang lain.
- Jangan engkau tinggikan dirimu sendiri di atas mereka.
- Jangan engkau masukkan amal perbuatan dunia ke dalam amal perbuatan akhirat.
- Jangan engkau menyombongkan diri pada kedudukanmu supaya orang takut kepada perangaimu yang tidak baik.
- Jangan engkau membisikkan sesuatu sedang dekatmu ada orang lain.
- Jangan engkau merasa tinggi dan mulia daripada orang lain.
- Jangan engkau sakitkan hati orang dengan ucapan-ucapanmu. Niscaya di akhirat nanti, kamu akan dirobek-robek oleh anjing neraka. Firman Allah SWT yang bermaksud, "Demi (bintang-bintang) yang berpindah dari satu buruj kepada buruj yang lain."
Sabda Rasulullah SAW,
"Dia adalah anjing-anjing di dalam neraka yang akan merobek-robek daging orang (menyakiti hati) dengan lisannya, dan anjing itupun merobek serta menggigit tulangnya."
Kata Mu'adz,
" Ya Rasulullah, siapakah yang dapat bertahan terhadap keadaan seperti itu, dan siapa yang dapat terselamat daripadanya?"
Sabda Rasulullah SAW, "Sesungguhnya hal itu mudah lagi ringan bagi orang yang telah dimudahkan serta diringankan oleh Allah SWT."

Asal Usul Hajar Aswad



Perlu diketahui bahwa hajar aswad adalah batu yang diturunkan dari surga. Asalnya itu putih seperti salju. Namun karena dosa manusia dan kelakukan orang-orang musyrik di muka bumi, batu tersebut akhirnya berubah jadi hitam.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « نَزَلَ الْحَجَرُ الأَسْوَدُ مِنَ الْجَنَّةِ وَهُوَ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنَ اللَّبَنِ فَسَوَّدَتْهُ خَطَايَا بَنِى آدَمَ »

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Hajar aswad turun dari surga padahal batu tersebut begitu putih lebih putih daripada susu. Dosa manusialah yang membuat batu tersebut menjadi hitam”. ( HR. Tirmidzi no. 877. Shahih menurut Syaikh Al Albani)

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الْحَجَرُ الأَسْوَدُ مِنَ الْجَنَّةِ وَكَانَ أَشَدَّ بَيَاضاً مِنَ الثَّلْجِ حَتَّى سَوَّدَتْهُ خَطَايَا أَهْلِ الشِّرْكِ.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Hajar aswad adalah batu dari surga. Batu tersebut lebih putih dari salju. Dosa orang-orang musyriklah yang membuatnya menjadi hitam.” (HR. Ahmad 1: 307. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa lafazh ‘hajar Aswad adalah batu dari surga’ shahih dengan syawahidnya. Sedangkan bagian hadits setelah itu tidak memiliki syawahid yang bisa menguatkannya. Tambahan setelah itu dho’if karena kelirunya ‘Atho’)

Keadaan batu mulia ini di hari kiamat sebagaimana dikisahkan dalam hadits,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى الْحَجَرِ « وَاللَّهِ لَيَبْعَثَنَّهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَهُ عَيْنَانِ يُبْصِرُ بِهِمَا وَلِسَانٌ يَنْطِقُ بِهِ يَشْهَدُ عَلَى مَنِ اسْتَلَمَهُ بِحَقٍّ »

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengenai hajar Aswad,
“Demi Allah, Allah akan mengutus batu tersebut pada hari kiamat dan ia memiliki dua mata yang bisa melihat, memiliki lisan yang bisa berbicara dan akan menjadi saksi bagi siapa yang benar-benar menyentuhnya.” (HR. Tirmidzi no. 961, Ibnu Majah no. 2944 dan Ahmad 1: 247. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan dan Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini).