Cari Artikel

Dido'akan Malaikat Jibril Masuk Neraka



Suatu ketika Nabi SAW naik mimbar. Sebagian riwayat menyebutkan, saat itu di akhir Bulan Sya’ban, menjelang masuk Bulan Ramadhan, tiba-tiba saja beliau mengucapkan “Aamiin!!”, tidak berselang lama, beliau mengucap lagi, “Aamiin!!”, beberapa saat kemudian beliau mengucap lagi, “Aamiin!!”

Salah seorang sahabat yang hadir saat itu memberanikan diri untuk bertanya,
“Wahai Rasulullah, engkau naik mimbar, dan tiba-tiba saja engkau mengucap amin hingga tiga kali, tanpa kami tahu apa maksud dan tujuannya….!!”

Dengan tersenyum Nabi SAW memandang para sahabat yang tampak penuh tanda-tanya dengan sikap beliau tersebut. Kemudian beliau menceritakan, ketika naik mimbar tersebut, tiba-tiba Malaikat Jibril datang dan berkata,
“Barang siapa yang mendapati bulan Ramadhan, akan tetapi belum juga diampunkan dosanya hingga ia mati, kemudian ia masuk neraka, maka (sungguh) Allah telah menjauhkannya (dari Rahmat-Nya)….!!”
Dan Malaikat Jibril berkata kepada Nabi SAW, “Katakanlah: Aamiin!!”
Maka beliau berkata, yang didengar oleh para sahabat, “Aamiin!!”

Kemudian Malaikat Jibril berkata lagi,
“Barang siapa yang mendapati kedua orang-tuanya, atau salah satu dari keduanya, dan ia tidak berbuat baik (tidak taat) kepada keduanya hingga ia mati, kemudian ia masuk neraka, maka (sungguh) Allah telah menjauhkannya (dari Rahmat-Nya)…!!”
Dan Malaikat Jibril berkata kepada Nabi SAW, “Katakanlah: Aamiin!!”
Maka beliau berkata, yang didengar oleh para sahabat, “Amin!!”

Kemudian Malaikat Jibril berkata lagi,
“Barang siapa yang mendengar namamu (Nabi Muhammad SAW) disebutkan kepadanya, dan ia tidak membaca shalawat untukmu hingga ia mati, kemudian ia masuk neraka, maka (sungguh) Allah telah menjauhkannya (dari Rahmat-Nya…!!”
Dan Malaikat Jibril berkata kepada Nabi SAW, “Katakanlah: Aamiin!!”
Maka beliau berkata, yang didengar oleh para sahabat, “Aamiin!!”

Akibat Dzalim Kepada Yang Lemah



Seorang lelaki yang tangannya buntung hingga bahunya, berseru dengan keras di pinggir pantai,
“Wahai, siapa yang melihat (keadaan) aku ini, janganlah kalian berlaku dzalim kepada siapapun juga!!”

Dia mengulang-ulang ucapannya itu kepada orang-orang di sekitarnya. Mungkin hanya sebuah nasehat sederhana, tetapi karena berseru lantang dan berulang-ulang, hal itu menarik perhatian dari seorang lelaki Bani Israil yang melihatnya, dan berkata,
“Hai hamba Allah, apakah yang terjadi denganmu?”

Lelaki buntung itu kemudian bercerita, bahwa dahulunya ia adalah seorang petugas polisi, yang dengan kedudukannya itu terkadang ia bersikap egois dan sok kuasa.
Suatu ketika ia berada di pinggir pantai itu, dan melihat seorang nelayan (pemancing) yang memperoleh seekor ikan yang cukup besar. Ia sangat tertarik dengan ikan tangkapannya itu, dan berkata;
“Serahkan ikan tangkapanmu itu kepadaku!!”
“Jangan, ikan ini satu-satunya makanan untuk keluargaku“ Kata nelayan itu.
Ia benar-benar tertarik dengan ikan itu, karenanya ia berkata,
“Kalau begitu, biarkanlah aku membelinya!!” 

Tetapi sang nelayan tetap saja menolaknya. Ia menjadi marah dan memukul sang nelayan dengan pecutnya dan mengambil ikan tersebut dengan paksa dan membawanya pergi.

Ketika sampai di rumahnya, ikan itu tiba-tiba seperti hidup dan menggigit ibu jarinya. Tampaknya hanya seperti gigitan biasa, tetapi susah sekali dilepaskan. Setelah dengan susah payah berusaha, gigitan itu bisa dilepaskan, tetapi ibu jarinya telah bengkak membesar, dan rasa sakit yang tidak terperikan.

Sang polisi datang ke seorang dokter untuk mengobati luka kecil akibat gigitan ikan di ibu jarinya itu. Sang dokter memeriksa luka tersebut dan ia tampak keheranan dengan luka sederhana itu, dan ia berkata, “Ibu jarimu harus diamputasi (dipotong), kalau tidak akan bisa membahayakan jiwamu!!”

Karena rasa sakit yang tak tertahankan dan dokter telah membuat keputusan seperti itu, ia merelakan ibu jarinya diamputasi. Seketika itu ia merasa baikan dan rasa sakitnya hilang.

Tetapi satu dua hari kemudian rasa sakit seperti sebelumnya menjalari telapak tangannya, dan ia pergi ke dokter untuk memeriksakannya. Setelah memeriksa tangannya itu, lagi-lagi sang dokter keheranan dan akhirnya memutuskan,
“Telapak tanganmu harus diamputasi (dipotong), kalau tidak akan bisa membahayakan jiwamu!!”
Tidak ada pilihan lain kecuali menurutinya, dan telapak tangannya diamputasi. Hanya sembuh satu dua hari, rasa sakit menjalar ke lengannya di bawah siku. Dan ketika dibawa ke dokter, sang dokter memutuskan untuk mengamputasi sampai batas sikunya untuk menyelamatkan jiwanya.

Dua tiga hari kemudian rasa sakit itu menjalar lagi, dan dokter memutuskan untuk mengamputasi hingga batas bahunya.

Ada seseorang yang memperhatikan keadaannya sejak awal ia datang ke dokter, dan ia menanyakan sebab penyakitnya itu. Sang polisi berkata,
“Sebenarnya ini bermula dari luka kecil gigitan ikan.!”

Kemudian ia menceritakan secara lengkap peristiwanya yang dialaminya. Tampaknya orang yang bertanya tersebut sangat bijaksana dan memahami rahasia kekuasaan Allah, maka ia berkata kepada sang polisi,
“Jika saja sejak awal engkau datang kepada nelayan (pemancing ikan) itu untuk meminta maaf dan meminta halalnya, engkau tidak akan kehilangan tanganmu. Maka sebaiknya engkau sekarang mencari dan menemui nelayan tersebut untuk meminta maaf dan meminta halalnya, sebelum penyakitmu itu akan menjalar ke seluruh tubuhmu!!”

Sang polisi terbuka mata hatinya dan ia baru menyadari kekeliruannya yang tampaknya sepele saja. Ia segera memenuhi nasehat orang yang tidak dikenalnya itu. Begitu bertemu di tepi pantai yang sama, ia segera berlutut dan mencium kaki nelayan itu, sambil menangis ia berkata,
“Wahai tuan, aku meminta maaf kepadamu!!”
Sang nelayan yang tidak mengenali lagi sang polisi itu dengan heran berkata, “Siapakah engkau ini?”
“Aku adalah polisi yang dulu pernah merampas ikanmu!!”

Kemudian ia menceritakan peristiwa dan penderitaannya, hingga bertemu seseorang tak dikenal yang menasehatinya untuk meminta maaf kepadanya. Sang polisi menunjukkan keadaan tangannya yang buntung hingga bahunya. Nelayan itu menangis melihat penderitaan orang yang pernah mendzaliminya itu, dan berkata,
“Sungguh aku tidak menyangka akan seperti ini keadaannya, aku halalkan dan aku maaafkan semua kesalahanmu kepadaku!!”

Polisi itu memeluk sang nelayan sambil menangis bercampur gembira. Setelah suasana emosional itu mereda, sang polisi berkata, “Apakah engkau berdoa kepada Allah setelah aku merampas ikanmu itu?”
Sang nelayan berkata,
“Benar, aku berdoa: Ya Allah, orang itu telah menganiaya (mendzalimi) aku dengan kekuatannya atas kelemahanku. Karena itu balaslah dia, perlihatkanlah kepadaku Kekuasaan/Qudrah-Mu kepada orang itu!!”

Polisi itu mengangkat sisa lengannya yang buntung dan berkata,
“Inilah dia, Allah telah memperlihatkan kepadamu Qudrah-Nya atas diriku. Dan kini aku bertaubat kepada Allah dari semua yang telah aku lakukan dahulu!!”

Setelah menceritakan semuanya itu, sang mantan polisi itu berkata kepada orang Bani Israil yang menghampirinya,
“Sesekali aku datang ke sini untuk mengenang peristiwa tersebut, sekaligus menasehati orang-orang agar tidak mengalami hal yang sama seperti aku. Tetapi sungguh aku bersyukur Allah memperingatkan aku di dunia, dan mengambil kaffarat dosa-dosaku dengan sebelah tanganku saat ini. Jika tidak, mungkin aku hanya akan menjadi bahan bakar api neraka di akhirat kelak!!”

Kesabaran Di Jalan Allah


Di masa nabi-nabi terdahulu, sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW, ada seorang rahib yang menghabiskan waktunya hanya untuk beribadah kepada Allah di biaranya. Begitu gencarnya beribadah sehingga ia mencapai derajad keimanan yang tinggi, beberapa malaikat diijinkan Allah untuk mengunjunginya pagi dan sore hari, untuk menanyakan keperluannya. Tetapi tidak ada yang dimintanya, kecuali sekedar makanan dan minuman untuk bisa membuatnya tetap kuat beribadah. Maka Allah menumbuhkan pohon anggur di biaranya, yang buahnya bisa dipetiknya setiap kali ia membutuhkan. Jika merasa haus, ia cukup menadahkan tangan ke udara, maka akan mengucur air dari udara untuk minumannya.

Tetapi tidak ada keimanan yang sebenarnya, kecuali harus mengalami pengujian. Allah telah berfirman dalam Al Qur’an Surat Al Ankabut ayat 2 dan 3,
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami (Allah) telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”

Begitu juga yang terjadi pada sang rahib. Pada suatu malam datang seorang wanita sangat cantik, berseru di depan biaranya,
“Wahai pendeta, saya mohon pertolonganmu. Demi Tuhan yang engkau sembah, berilah aku tempat bermalam karena rumahku sangat jauh…!!”

Sebagai seseorang yang berakhlak mulia, segera saja sang rahib berkata,
“Naiklah, silahkan bermalam di tempat ini!!”

Wanita itu masuk ke dalam biara. Mungkin memang dikehendaki Allah untuk menjadi batu ujian bagi sang rahib, tiba-tiba ia merasakan cinta dan suka kepada sang rahib yang tampak sangat sederhana tetapi menenangkan itu, perasaan gairah yang menggelora seakan tidak tertahankan. Untuk menarik perhatian dan membangkitkan nafsu sang rahib, wanita itu melepaskan semua pakaiannya, kemudian berlenggak-lenggok di depannya.
Sang rahib segera menutup matanya dengan kedua tangannya, dan berkata,
“Kenakanlah kembali pakaianmu, janganlah telanjang!!” 
Wanita itu berkata,
“Saya sangat ingin bersenang-senang denganmu malam ini!!” 

Bagaimanapun juga sang rahib itu masih lelaki yang normal. Nafsunya terbangkitkan ketika sepintas melihat keindahan tubuh dan mendengar keinginan wanita itu, karena itu terjadi perdebatan di dalam dirinya, antara akal sehat (kalbu)-nya dan nafsunya. Dan dengan kehendak Allah, wanita itu bisa ‘mendengarkan’ perdebatan tersebut.

Akal sehatnya berkata, “Bertaqwalah kepada Allah!!”
Sang nafsu berkata,
“Ini kesempatan emas, kapan lagi engkau bisa bersenang-senang dengan seorang wanita yang secantik ini!!”

Akal sehatnya berkata, “Celaka dirimu, engkau akan menghilangkan ibadahku, dan akan merasakan kepadaku pakaian aspal dari neraka. Aku khawatirkan atasmu siksaan api neraka yang takkan pernah padam, siksaan yang tidak pernah terhenti, bahkan lebih berat dari semua itu, aku sangat takut akan kemurkaan Allah, dan kehilangan keridhaan-Nya…!!”

Tetapi sang nafsu terus saja merayunya untuk mau melayani keinginan wanita cantik itu. Ia terus merengek-rengek seperti anak kecil yang minta dibelikan es oleh ibunya. Akal sehatnya hampir tak mampu lagi mencegah rengekan sang nafsu itu. Maka sang rahib, yakni akal sehatnya, berkata kepada nafsunya,
“Kini engkau semakin kuat saja, baiklah kalau begitu!! Aku akan mencoba dirimu dengan api yang kecil, jika engkau memang kuat menahannya, aku akan memenuhi keinginanmu memuaskan dirimu dengan wanita cantik ini!!”

Lalu sang rahib mengisikan minyak pada lampunya, dan membesarkan nyalanya. Sementara itu sang wanita cantik, yang bisa mengikuti percakapan dalam diri sang rahib tampak was-was dan khawatir. Benar saja yang dikhawatirkan, sang rahib memasukkan jari-jari tangannya ke dalam api. Pertama ibu jarinya terbakar, kemudian telunjuk, menyusul kemudian jari jemarinya yang lain. Melihat pemandangan yang mengerikan itu, sang wanita tak kuat menahan perasaannya. Antara tidak tega dan mungkin ketakutan akan siksa neraka sebagaimana digambarkan oleh akal sehat sang rahib, kemudian ia menjerit keras sekali, begitu kerasnya hingga jantungnya berhenti berdetak dan ia meninggal seketika.

Begitu melihat wanita itu mati, nafsunya segera saja padam. Sang rahib menutupi jenazah wanita itu dengan kain dan ia mematikan lampunya. Tanpa memperdulikan tangannya yang sakit akibat terbakar, sang rahib meneruskan shalat dan ibadahnya. 

Keesokan harinya, Iblis yang menjelma menjadi salah seorang penduduk kampung itu menyebarkan berita kalau sang rahib telah berzina dan membunuh wanita yang dizinainya. Kabar itu sampai di telinga sang raja, yang segera saja mendatangi sanga rahib beserta pengawal dan bala tentaranya. Sampai di biara, sang raja berkata,
“Wahai rahib, dimanakah Fulanah binti Fulan (yakni wanita cantik itu)??”
Rahib berkata,
“Ia ada di dalam biara!!”
Raja berkata,
“Suruhlah ia keluar!!”
Rahib berkata,
“Ia telah mati!!”
Raja berkata dengan murka,
“Biadab sekali engkau ini, tidak cukup engkau menzinainya, bahkan engkau membunuhnya setelah itu!!”

Maka raja memerintahkan pengawalnya untuk menangkap dan mengikat sang rahib, tanpa mau mendengarkan alasan dan penjelasannya lebih lanjut. Mungkin fitnah yang disebarkan oleh iblis yang merupa sebagai penduduk kampung itu begitu hebatnya, sehingga sang raja tidak lagi mau mendengar penjelasan peristiwa itu dari sisi sang rahib.

Mereka membawanya ke alun-alun dimana hukuman biasa dilaksanakan, jenazah wanita itu dibawa serta seolah-olah sebagai saksi atas kejahatan yang dilakukan kepadanya.

Dengan kaki, tangan dan leher terikat, sang algojo meletakkan gergaji di atas kepalanya. Ketika gergaji mulai membelah batok kepalanya, sang rahib sempat mengeluh pelan. Seketika itu Allah memerintahkan Malaikat Jibril turun ke bumi, sambil berfirman,
“Katakan kepada rahib itu, janganlah mengeluh untuk kedua kalinya, karena sesungguhnya Aku melihat semua itu. Katakan juga kepadanya bahwa kesabarannya (sejak ia digoda sang wanita cantik hingga saat itu), telah membuat penduduk langit menangis, begitu juga dengan hamalatul arsy (malaikat penyangga arsy). Demi kemuliaan dan kebesaran-Ku, jika engkau mengeluh sekali lagi, tentulah akan Aku binasakan langit dan Aku longsorkan bumi!!”

Jibril segera turun dan menyampaikan firman Allah tersebut, maka sang rahib menahan dirinya untuk tidak mengeluh, sesakit apapun yang dirasakannya. Ia tidak ingin menjadi penyebab kemurkaan Allah, sehingga alam semesta ini hancur. Mulutnya terus mengucap dzikr dan istighfar hingga akhirnya malaikat maut menjemputnya.

Setelah sang rahib wafat, dan banyak sekali orang yang menghinakan dirinya, Allah berkenan mengembalikan ruh sang wanita itu untuk sesaat. Seketika itu sang wanita bangun, yang membuat orang-orang di sekitarnya, termasuk raja dan para pengawal serta bala tentaranya terkejut dan ketakutan. Wanita itu berkata, “Demi Allah, rahib itu teraniaya, dia tidak berzina denganku dan tidak pula dia membunuhku….”

Kemudian wanita itu menceritakan secara lengkap peristiwa yang dialaminya, dan ia menutup perkataannya dengan kalimat,
“…kalau kalian tidak percaya, periksalah tangannya yang dalam keadaan terbakar!!”

Setelah itu sang wanita meninggal lagi. Mereka segera memeriksa tangan sang rahib, dan benar seperti yang dikatakan wanita tersebut. Mereka menyesal telah bersikap gegabah, sang raja berkata,
“Andaikan kami mengetahui yang sebenarnya, tentulah kami tidak akan menggergaji engkau!!”

Mereka segera merawat dua jenazah tersebut dan menguburkannya dalam satu lubang. Setelah tanah mulai menutupi jenazah keduanya, tercium bau harum kasturi keluar dari lubang kubur tersebut. Kemudian terdengar hatif (suara tanpa wujud), “Allah telah menegakkan mizan (timbangan) dan mempersaksikan kepada para malaikat-Nya : Aku persaksikan kepada kalian semua, bahwa Aku telah mengawinkan mereka dan juga (mengawinkan rahib itu) dengan lima puluh bidadari di surga Firdaus. Demikian itulah balasan bagi orang-orang yang selalu waspada dan bersabar di jalan-Ku!!”

Yang Terdulu Masuk Surga



Pada saat kiamat nanti, empat golongan yang dipastikan masuk surga tanpa hisab, dihadirkan di pintu surga. Mereka itu adalah orang alim (ulama) yang mengamalkan ilmunya. Orang yang beribadah haji yang tidak melakukan perbuatan merusak di dalam dan setelah hajinya, yakni hajinya mabrur. Orang yang mati syahid, terbunuh di jalan Allah, ikhlas semata-mata mengharap ridho Allah. Dan yang terakhir adalah orang dermawan, yang mencari harta dengan jalan halal dan menginfaqkannya di Allah tanpa riya’.

Masing-masing golongan tersebut berebut untuk masuk surga terlebih dahulu, masing-masing dari mereka beranggapan bahwa mereka lebih utama dari kelompok lainnya. Karena tidak ada yang mengalah, maka Allah mengutus malaikat Jibril untuk memberi keputusan di antara mereka. Jibril menemui kelompok orang yang mati syahid dan berkata, “Apa yang kalian kerjakan sehingga kalian beranggapan bahwa kalian berhak memasuki surga terlebih dahulu!!”
Mereka berkata,
“Kami telah mati syahid, terbunuh di jalan Allah, semata-mata untuk memperoleh keridhoan Allah!!”
Jibril berkata,
“Dari siapakah kalian mendengar besarnya pahala mati syahid, sehingga merasa berhak masuk surga terlebih dahulu?”
Mereka berkata,
“Dari para ulama!!”
Jibril berkata,
“Jagalah sopan santun, janganlah kalian mendahului guru kalian!!”

Kemudian Jibril menemui kelompok orang yang berhaji mabrur, dan berkata,
“Apa yang kalian kerjakan sehingga kalian beranggapan bahwa kalian berhak memasuki surga terlebih dahulu!!”
Mereka berkata,
“Kami melaksanakan ibadah haji dan selalu menjaga diri dari segala sesuatu yang merusak haji kami, yakni kami berhaji mabrur!!”
Jibril berkata,
“Dari siapakah kalian mendengar besarnya pahala haji mabrur, sehingga merasa berhak masuk surga terlebih dahulu?”
Mereka berkata,
“Dari para ulama!!”
Jibril berkata,
“Jagalah sopan santun, janganlah kalian mendahului guru kalian!!”

Malaikat Jibril menemui kelompok kaum dermawan, dan berkata,
“Apa yang kalian kerjakan sehingga kalian beranggapan bahwa kalian berhak memasuki surga terlebih dahulu!!”
Mereka berkata,
“Kami selalu mencari harta dengan jalan yang halal, dan menginfaqkan di jalan Allah, ikhlas semata-mata mencari keridhoan Allah, tanpa disertai riya’!!”
Jibril berkata,
“Dari siapakah kalian mendengar besarnya pahala dari apa yang kalian kerjakan itu, sehingga merasa berhak masuk surga terlebih dahulu?”
Mereka berkata,
“Dari para ulama!!”
Maka malaikat Jibril berkata, “Jelaslah sudah, kalian para ulama, silahkan masuk surga terlebih dahulu!!”

Tetapi kaum ulama itu berkata,
“Ya Allah, kami tidak bisa menghasilkan dan mengamalkan ilmu, kecuali karena kelapangan hati dan kebaikan para dermawan!!”

Maka Allah berfirman,
“Benar perkataan kalian wahai orang alim. Wahai malaikat Ridwan, bukalah pintu surga untuk kaum dermawan, dan yang lainnya menyusul!!”

Umeir Bin Sa'd Al Qary RA



Umeir bin Sa'd RA adalah putra dari salah seorang sahabat Ahlu Badar, yang juga mengikuti berbagai pertempuran lainnya bersama Nabi SAW, Sa'd al Qary RA. Ayahnya itu membawanya serta menghadap Rasulullah SAW ketika akan berba'iat memeluk Islam. Sejak keislamannya tersebut, ia hampir tidak pernah berpisah dari mihrab Masjid Nabi SAW. Segala kepuasan yang diperolehnya dengan kemewahan hidupnya selama ini, digantikan dengan kepuasan mengejar shaf pertama, baik dalam shalat di masjid ataupun dalam barisan pasukan membela panji-panji Islam, karena ia sangat mendambakan untuk memperoleh syahid.

Suatu ketika ia mendengar salah seorang kerabatnya yang telah memeluk Islam, Jullas bin Suwaid bin Shamit, ketika berbincang-bincang dengan seseorang di rumahnya, berkata,
"Seandainya laki-laki itu (yang dimaksudkan adalah Nabi SAW) memang benar, tentulah kita ini lebih jelek dari keledai...!"

Jullas memang memeluk Islam karena ikut-ikutan saja, tidak karena kesadarannya sendiri. Saat itu sebagian besar dari anggota kabilahnya telah berba'iat memeluk Islam, karena merasa tersendiri dan terkucil di antara kerabat-kerabatnya ia pun akhirnya ikut-ikutan memeluk Islam.

Apa yang dikatakan Jullas tersebut, bagi Umeir sangatlah merendahkan dan menghinakan Nabi SAW. Sebagai bentuk kecintaan kepada Nabi SAW, Umeir berkata,
"Demi Allah, wahai Jullas, engkau adalah orang yang paling kucintai, orang yang paling banyak berjasa kepadaku, dan orang yang paling kuharapkan tidak akan tertimpa sesuatu yang tidak menyenangkan…! Tetapi baru saja engkau melontarkan suatu perkataan, yang jika tersebar dan itu diketahui berasal darimu, engkau pasti akan ditimpa sesuatu yang menyakitkan dirimu…!! Tetapi andai kata kubiarkan kata-katamu itu tanpa pembelaan, akan rusaklah agamaku, padahal hak agama itu lebih utama untuk ditunaikan. Karena itu, hendaklah engkau bertobat sebelum aku akan menyampaikan hal ini kepada Rasulullah SAW…!!"

Tetapi ternyata Jullas bersikap sombong dan menolak saran Umeir, bahkan sedikitpun tidak ada penyesalan atas apa yang telah diucapkannya. Akhirnya Umeirpun berkata kepada Jullas,
"Aku akan melaporkannya kepada Nabi SAW, sebelum Allah menurunkan wahyu yang melibatkan aku dengan dosamu tersebut…."

Mendapat laporan Umeir tersebut, Nabi SAW memanggil Jullas untuk mengkonfirmasi kebenarannya. Tetapi Jullas mengingkari apa yang dilaporkan Umeir, bahkan ia berani bersumpah atas nama Allah bahwa ia tidak mengucapkan perkataan tersebut. Menurut sebagian riwayat, peristiwa ini menjadi asbabun nuzul turunnya surah at Taubah ayat 74, yang mendustakan sumpah Jullas dan membenarkan Umeir. Jullas dipanggil lagi dan akhirnya ia mengakui kesalahannya, kemudian dengan kesadaran penuh ia bertobat dan terus memperbaiki keislamannya.

Nabi SAW memegang telinga Umeir sambil bersabda,
"Wahai anak muda, sungguh nyaring (peka) telingamu, dan Tuhanmu membenarkan tindakanmu…!"

Berlalulah waktu, ia tumbuh dan dewasa dengan bimbingan dan dalam teladan Nabi SAW. Gaya hidup sederhana, tidak tertarik duniawiah dan jabatan, dan merasa cukup dengan sedikit yang dimiliki, dan berbagai macam akhlak mulia yang dicontohnya dari Rasulullah SAW.

Sampailah Umeir kepada masa khalifah Umar, dan ia menjadi sasaran empuk bagi Umar untuk diangkat menjadi pejabat yang mewakili dirinya di daerah-daerah yang jauh, suatu pribadi yang tak jauh berbeda dengan diri Umar sendiri.
Mendapat tawaran untuk menjadi gubernur atau wali negeri di Homs, Umeir bin Sa'd berkeras menolaknya. Tetapi seperti biasa dalam menghadapi penolakan jabatan yang diberikannya, Umar akan berkata seperti ini, atau semisal ini,
"Apakah kalian telah memba'iat dan meletakkan amanat ini di pundakku, kemudian kalian membiarkan aku memikulnya seorang diri?? Tidak, demi Allah aku tidak akan melepaskan kalian….!"

Tidak ada pilihan lain bagi Umeir bin Sa'd kecuali menjalaninya. Setelah melakukan shalat istikharah, ia berangkat ke Homs dan melakukan tugasnya di sana.

Setahun sudah berlalu, tak ada berita apapun yang sampai di Madinah tentang pelaksanaan tugasnya, tak ada jizyah dan zakat dari Homs untuk menambah isi baitul mal di Madinah. Bahkan tak ada satu pucuk suratpun yang dikirimkan Umeir kepada khalifah di Madinah.
Umar tidak habis pikir, ada apa gerangan dengan Umeir? Sepertinya ia hilang ditelan bumi? Karena itu Umar memerintahkan untuk membuat surat panggilan kepada Umeir agar menghadap khalifah di Madinah.

Beberapa hari berlalu, tampak seseorang masuk ke kota Madinah. Seorang pejalan kaki sendirian, rambut kusut dan tubuh berdebu. Tampak sekali kelelahan dan kepayahannya karena menempuh perjalanan jauh, seakan tenaganya hanya tinggal sisa-sisa saja. Di pundak kanannya tergantung buntil kulit dan sebuah piring, dan di pundak kirinya tergantung kendi berisi air. Langkahnya berat sambil ditopang sebuah tongkat.

Tubuh kurus dan kumuh ini memasuki majelis khalifah Umar dan menyampaikan salam. Umar segera menyambut salamnya dan berpaling kepada musafir pendatang ini. Tampak sekali kesedihan Umar melihat keadaan tamunya tersebut, ia berkata,
"Apa kabar wahai, Umeir?"
Memang, lelaki yang tampak tak berdaya dalam kelelahannya ini adalah Umeir bin Sa'd, wali negeri Homs, suatu negeri yang kaya dan sedang berkembang pesat di wilayah Syam. Umeir berkata,
"Alhamdulillah, wahai Amirul mukminin. Seperti yang engkau lihat, badanku sehat, darahku bersih, dan dunia di tanganku dapat kukendalikan sekehendak hatiku!"
"Apa yang engkau bawa itu?" Tanya Umar.
"Ini adalah buntil kulit tempat menyimpan bekal, piring untuk makan, dan kendi air untuk minum dan wudhu'. Dan tongkat ini untuk bertelekan saat berjalan dan untuk mengusir musuh atau gangguan yang menghadang jalanku. Sungguh, dunia ini tidak lain hanyalah pengikut bagi bekal kehidupanku kelak!"
"Apakah anda datang dengan berjalan kaki ?" Tanya Umar lagi.
"Benar." Kata Umeir.
"Apa tidak ada orang yang mau memberikan tunggangannya kepadamu untuk kamu naiki?"
"Tidak ada orang yang menawarkannya, dan akupun tidak ingin, dan juga tidak pernah memintanya!"

Umar tercenung seakan tidak percaya. Kalaulah tahu bahwa ia seorang wali negeri atau gubernur, tentulah banyak sekali orang yang akan memberikan tunggangannya, bahkan kalau perlu melakukan pengawalan dan pelayanan agar perjalanannya terasa nyaman senyaman-nyamannya. Tetapi, kalau penampilannya memang seperti itu, bagaimana mereka tahu kalau Umeir ini adalah seorang wali negeri, negeri Homs di Syam pula.

Umar bertanya lagi,
"Apa yang telah kamu lakukan dengan tugas yang telah kami berikan kepadamu?"
Umeir menjelaskan,
"Aku telah mendatangi negeri yang engkau titahkan itu. Aku kumpulkan orang-orang yang shaleh di antara penduduknya. Sebagian kuangkat dan kutugaskan untuk mengumpulkan jizyah dan zakat, sebagian lainnya lagi kuangkat dan kutugaskan untuk membagikan kepada yang tak mampu, serta dibelanjakan di tempat yang wajar untuk kepentingan mereka bersama. Jika saja masih ada sisanya, tentulah sudah kukirimkan ke sini!"
"Kalau begitu engkau tidak membawa apa-apa untuk kami?"
"Tidak ada," Kata Umeir bin Sa'd.

Umar dengan bangga memuji hasil kerja Umeir, bahkan ia tetap mengangkatnya sebagai gubernur/wali negeri di sana. Tetapi kali ini Umeir bersungguh-sungguh menolaknya, bahkan tegas sekali ia mengatakan,
"Masa seperti itu telah berlalu, aku tidak hendak menjadi pegawai anda lagi selama-lamanya, dan tidak juga pegawai pengganti anda selama-lamanya…."

Umar tidak memaksanya lagi. Ia telah melihat dengan kepalanya sendiri, bagaimana beban tugas itu justru bisa membahayakan jiwanya, perjalanan kaki ratusan kilometer di padang pasir, sendirian dengan bekal seadanya. Hanya saja Umar sering berkata,
"Aku ingin sekali mempunyai beberapa orang seperti Umeir, untuk membantuku melayani kepentingan kaum muslimin…."