Cari Artikel

Pahala Dari Setiap Yang Bernyawa



Seseorang sedang berjalan-jalan, dan ketika ia merasa kehausan, ia turun ke suatu sumur yang tidak jauh dari situ. Setelah hausnya hilang, ia segera naik lagi dan ia melihat seekor anjing yang lidahnya terjulur ke tanah karena hausnya.
Ia berkata dalam hati,
“Anjing ini kehausan seperti aku tadi!!”

Ia turun lagi ke dalam sumur, ia menciduk air dengan sepatunya dan membawanya ke atas dengan menggigitnya. Sampai di atas, ia memberi minum anjing tersebut dengan air di dalam sepatunya itu.

Rasulullah SAW yang menceritakan kisah tersebut bersabda,
“Allah SWT berterima kasih kepada lelaki itu dan mengampuni dosa-dosanya!!”
Salah seorang sahabat berkata,
“Wahai Rasulullah, memangnya kita bisa memperoleh pahala sehubungan dengan binatang?”
Beliau bersabda,
“Pada setiap yang berjantung lagi hidup ada pahala!!”

Pada riwayat lain yang hampir senada, Nabi SAW menceritakan bahwa seorang wanita pelacur melihat seekor anjing yang terengah-engah dan lidahnya terjulur, tampaknya ia hampir mati kehausan. Pelacur itu melepas sepatunya dan diikatkan pada kain kerudungnya untuk menimba air dari sumur yang tidak jauh dari situ. Setelah itu ia memberi minum anjing itu sehingga ia segar kembali.

Nabi SAW menyatakan bahwa Allah mengampuni dosa-dosa wanita pelacur itu karena keperdulian dan sikap kasih sayangnya memberi minum pada anjing yang kehausan. Dan ia juga memperoleh hidayah sehingga meninggalkan perbuatan maksiatnya dan bertaubat kepada Allah.

Karena Melawan Nasehat Ibunya



Seorang lelaki bernama Awwam bin Husyaib baru saja pindah ke rumah di dekat suatu pemakaman.
Pada waktu ashar, tiba-tiba dilihatnya dari salah kuburan muncul asap berwujud seorang lelaki berkepala keledai, dan mengeluarkan suara dengkingan (suara keledai) sebanyak tiga kali. Kemudian wujud asap itu masuk kembali ke dalam kubur.
Tidak jauh dari kuburan tersebut, ada seorang wanita yang sedang memintal benang bulu.

Ibnu Husyaib begitu keheranan melihat pemandangan itu. Seorang wanita tetangganya yang melihat ekspresi keheranannya berkata, “Tahukah engkau wanita tua yang memintal benang bulu itu?”

Tetangganya itu menunjukkan tempatnya. Ibnu Husyaib berkata, “Siapakah dia?”
“Dia adalah ibu dari lelaki yang kuburannya berasap dan mengeluarkan suara itu!!”
“Bagaimana ceritanya hingga bisa seperti itu?” Tanya Ibnu Husyaib.

Wanita itu kemudian bercerita, bahwa anak lelakinya itu sangat suka minum khamr.
Suatu ketika sang ibu berkata kepadanya,
“Wahai anakku, takutlah kamu kepada Allah. Sampai kapankah engkau akan minum khamr??”

Anak yang memang sedang dirasuki khamr sehingga akalnya tidak genap itu berkata kepada ibunya,
“Engkau medengking saja seperti keledai!!”

Ternyata setelah ashar di hari itu, anak lelakinya itu meninggal. Dan setiap ashar kuburannya mengeluarkan asap berwujud dirinya yang berkepala keledai, dan mendengking tiga kali layaknya seekor keledai.

3 Cara Allah SWT Untuk Mengawasi Manusia



Ada tiga Cara Allah SWT Untuk Mengawasi Manusia

1. Pengawasan langsung.

” Dan, Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya ”
( QS. Qaaf :16)

Maka, masihkah kita ingin berbuat kemaksiatan terus menerus? tidak malukah kita ? padahal Allah swt mengawasi kita begitu dekatnya, tanpa lengah selama 24 jam penuh kapanpun dan dimanapun .


2. Pengawasan melalui malaikatNya.

” Ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk disebelah kanan dan seorang lagi disebelah kiri”
(QS. Qaaf :17)

Kedua malaikat ini akan mencatat segala amal perbuatan kita yang baik maupun yang buruk, yang besar maupun yang kecil, tidak ada yang tertinggal.

“Catatan itu kemudian dibukukan dan diserahkan pada kita di hari akhir nanti”
(QS. Al_Kahfi:49)

Jadi, masihkan kita berfikir, bahwa kita bisa menipu Allah swt dengan segala tingkah kita? Masihkah kita berharap untuk lolos dari pengawasan Sang Maha Segala?


3. Pengawasan melalui diri kita sendiri.

”Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, dan berkatalah kepada Kami tangan mereka, dan kaki mereka memberikan kesaksian terhadap apa yang dulu mereka usahakan ”
( QS. Yaasin :65)

Disaat nanti ketika kita meninggal dunia, maka anggota tubuh kita seperti kaki dan tangan akan menjadi saksi bagi segala perbuatan kita selama hidup.Kita takkan memiliki kontrol terhadap anggota tubuh kita ini. Ketahuilah Saudaraku, kita takkan pernah bisa lepas dari pengawasan Allah swt , dimanapun dan kapanpun, apakah saat kita berbuat kebaikan maupun berbuat kemaksiatan, Allah swt selalu berada didekat kita.
Yakinlah, sekecil apapun perbuatan kita semasa hidup, kebaikan atau keburukan, ketaatan maupun kemaksiatan, akan dicatat dan dipertanyakan kelak oleh Allah swt di Hari Perhitugan kelak.

Wallahu’alam...

Hanzhalah Bin Rahib RA



Hanzhalah bin Rahib adalah seorang sahabat Anshar dari suku Aus. Ia memeluk Islam sejak awal didakwahkan di Madinah oleh utusan Nabi SAW, Mush’ab bin Umair. Tetapi keputusannya itu harus dibayar mahal, yakni perpisahan dengan ayahnya yang menentang keras dan sangat tidak setuju dengan kehadiran Islam di Madinah. Hal itu berbeda sekali dengan sikap mayoritas penduduk Madinah, baik dari suku Khazraj ataupun Aus, termasuk pemuka-pemukanya.

Ayah Hanzhalah, Abd Amr bin Shaify merupakan salah satu pemuka suku Aus. Ia lebih dikenal dengan nama Abu Amir, dan lebih sering lagi dipanggil dengan nama Rahib. Ketika Nabi SAW telah hijrah ke Madinah, dengan terang-terangan ia memusuhi beliau. Kemenangan kaum muslimin di Perang Badar tidak membuat Abu Amir luluh hatinya untuk memeluk Islam, justru ia meninggalkan Madinah dan pindah ke Makkah, di sana ia terus menghasut dan memberi semangat kaum Quraisy untuk membalas kekalahan dengan menyerang Madinah, hingga terjadilah Perang Uhud, dan ia bersama pasukan yang dipimpin Khalid bin Walid.

Dalam Perang Uhud, Hanzhalah mengetahui kalau ayahnya berada di pihak musuh, karena itu ia berusaha sebisa mungkin tidak bentrok langsung dengan ayahnya. Bagaimanapun juga masih tersisa penghargaan dan penghormatan terhadap ayahnya itu sehingga tidak mungkin ia akan mengayunkan pedang kepadanya.

Dalam suatu kesempatan, Hanzhalah berhasil berhadapan dengan Abu Sufyan bin Harb, pimpinan utama pasukan Quraisy. Semangatnya memuncak, karena kalau ia berhasil membunuh pucuk pimpinannya, pengaruhnya akan besar sekali dalam melemahkan semangat pasukan musuh. Ia bertempur dengan garangnya dan menguasai keadaan, ketika posisinya di atas siap melakukan serangan terakhir untuk membunuh Abu Sufyan, tiba-tiba muncul Syaddad bin Aus (Ibnu Syu'ub) yang ketika itu masih kafir, dari arah belakangnya, yang langsung menikamnya sehingga ia tewas, gugur bersimbah darah menjemput kesyahidannya.

Usai pertempuran, seperti para syuhada lainnya, ia akan dimakamkan dengan pakaian yang dikenakan tanpa dimandikan lagi. Tetapi ketika tiba giliran akan dimakamkan, para sahabat kehilangan jenazahnya. Merekapun mencari-carinya, dan ditemukan di tempat agak tinggi, dan tampak masih basah dan ada sisa air di tanah, melihat keadaannya itu, Nabi SAW bersabda, "Saudara kalian ini dimandikan oleh para malaikat, coba tanyakan kepada keluarganya mengapa ini terjadi?"

Beberapa sahabat mendatangi istri Hanzhalah, Jamilah binti Ubay bin Salul, saudari dari tokoh munafik Abdullah bin Ubay bin Salul, tetapi dia seorang muslimah yang baik. Ternyata mereka berdua ini masih pengantin baru. Ketika perang Uhud tersebut terjadi, sebenarnya mereka masih dalam masa bulan madu. Para sahabat mengabarkan tentang kesyahidan suaminya, dan peristiwa yang terjadi pada jenazahnya, serta perintah Nabi SAW untuk menanyakan sebabnya. Jamilah berkata, "Ketika mendengar seruan untuk jihad, ia seketika meninggalkan kamar pengantin kami, tetapi ia dalam keadaan junub (berhadats besar)…."

Ketika hal ini disampaikan kepada Nabi SAW, beliau bersabda,
"Itulah yang menyebabkan malaikat memandikan jenazahnya…"

Karena itulah Hanzhalah bin Rahib mendapat gelaran "Ghasilul malaikat" (Orang yang dimandikan malaikat) dan ia menjadi salah satu kebanggaan kaum Anshar, karena karamah yang diperolehnya.

Khalifah Ali Membantu Membagi Warisan



Seorang lelaki saleh yang mempunyai tiga orang anak lelaki, dan istrinya telah meninggal, suatu hari ia memanggil anak-anaknya dan berkata,
“Wahai anak-anakku, kalau kelak aku meninggal, hendaknya kalian tetap rukun dan saling membantu seperti saat ini. Harta peninggalanku, hendaknya engkau bagi sesuai pesanku. Engkau yang tertua, karena telah mapan dan mempunyai penghasilan yang mencukupi, memperoleh seper-sembilannya, engkau yang nomor dua memperoleh seper-tiganya, dan engkau terkecil memperoleh seper-duanya. Tetapi ingatlah, kalian harus tetap rukun dan saling menolong satu sama lainnya. Janganlah bermusuhan hanya karena berebut harta dunia, sesungguhnya kehidupan di dunia itu hanya sesaat…!!”

Dalam riwayat lain disebutkan, yang tertua, karena kebutuhannya lebih banyak, ia memperoleh seper-duanya, sedang yang terkecil, karena kebutuhannya masih sedikit, ia memperoleh seper-sembilannya. Yang nomor dua tetap memperoleh seper-tiganya.

Beberapa waktu kemudian lelaki tersebut meninggal dunia. Karena anak-anaknya juga shaleh sebagaimana didikan ayahnya, setelah pemakaman ayahnya, mereka menyelesaikan segala tanggungan orang tuanya tersebut. Setelah tidak ada lagi hutang dan tanggungan lainnya, mereka ingin membagi sisa peninggalan (warisan) yang memang menjadi hak mereka bertiga, seperti wasiat ayahnya tersebut.

Mereka menghitung dan ternyata masih tersisa 17 ekor unta untuk mereka bertiga. Tentu saja mereka kesulitan untuk membaginya sesuai dengan wasiat ayahnya. Mereka mendatangi beberapa orang pintar dan bijaksana untuk bisa membagi sesuai wasiat ayahnya, tetapi mengalami jalan buntu. Sampai akhirnya seseorang menyarankan untuk meminta tolong kepada khalifah Ali.

Mereka mengirim utusan kepada Khalifah Ali dan beliau bersedia membantu kesulitan saudaranya sesama kaum muslim. Didikan Rasulullah SAW sebagai orang yang zuhud dan tawadhu, membuat Khalifah Ali dengan senang hati mendatangi tempat tinggal mereka dengan menunggangi untanya. Setibanya di sana, mereka menceritakan permasalahannya, dan Khalifah Ali dengan tersenyum berkata,
“Bawalah unta-unta itu kemari!!”

Setelah unta-unta dikumpulkan di hadapan Khalifah Ali, beliau berkata, “Aku tambahkan untaku dalam harta warisan ini, sehingga jumlahnya menjadi 18 ekor. Wahai engkau yang tertua, ambillah bagianmu, seper-sembilannya, berarti dua ekor unta!!”

Anak yang tertua mengambil bagiannya dua ekor unta. Kemudian Khalifah Ali berkata lagi
“Wahai engkau yang nomor dua, ambillah bagianmu. Sepertiganya, berarti enam ekor unta!!”

Anak kedua mengambil bagiannya enam ekor unta. Dan beliau berkata lagi,
“Dan engkau, wahai yang termuda, ambillah bagianmu seper-duanya, berarti sembilan ekor unta!!”

Anak termuda mengambil bagiannya sebanyak sembilan ekor unta, dan ternyata masih tersisa satu ekor, dan Khalifah Ali berkata, “Masih tersisa satu ekor, dan ini memang milikku, maka aku mengambilnya kembali!!’

Sungguh benarlah apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAW, “Ana madinatul ‘ilmu, wa aliyyun baabuuha!!” (Sesungguhnya saya ini kotanya ilmu, dan Ali adalah pintunya).