Cari Artikel

Sungguh Allah Lebih Gembira



Ada seseorang akan bepergian melewati padang pasir yang luas. Ia telah mempersiapkan perbekalannya, baik makanan ataupun minuman selama perjalanan itu pada onta, yang juga jadi kendaraannya.

Di tengah padang pasir yang begitu panasnya, ia ingin beristirahat di bawah suatu pohon. Tetapi begitu ia turun, ontanya tersebut lepas dan melarikan diri entah kemana. Tidak bisa dibayangkan bagaimana kesedihannya, apalagi semua perbekalannya ikut hilang.

Orang itu mencoba mengikuti jejak-jejak ontanya dengan harapan akan menemukannya kembali. Tetapi tidak begitu lama mengarungi padang pasir yang seolah tanpa batas itu, ia jatuh terduduk, lelah, lapar dan haus segera saja menyergapnya sehingga ia tidak mampu meneruskan langkahnya. Ia berteduh di bawah sebuah pohon dan tertidur di sana.

Entah berapa lama ia tertidur, ketika terbangun tiba-tiba dilihatnya ontanya tersebut duduk menderum di bawah pohon itu juga, masih lengkap dengan perbekalannya, tidak berkurang sedikitpun. Tidak terkira kegembiraannya melihat ontanya itu, begitu gembiranya sehingga ia salah dalam mengucap rasa syukurnya,
“Allahumma anta ‘abdii, wa ana rabbuka” (Wahai Allah, Engkaulah hambaku, dan saya adalah rabb-Mu).

Padahal maksudnya ia ingin berkata: Allahumma anta rabbi wa ana ‘abduka. Kegembiraan yang begitu memuncak membuat ia salah tanpa menyadarinya dan lisannya “keseleo” mengucapkan perkataan itu.

Ia segera memeluk ontanya dan segera mengambil makanan dan minuman untuk mengobati perutnya yang telah sangat perih minta diisi.

Nabi SAW yang menceritakan kisah perumpamaan tersebut, bersabda kepada para sahabat,
“Sungguh Allah lebih gembira untuk menerima taubat hamba-Nya, daripada kegembiraan orang tersebut yang menemukan kembali ontanya yang telah hilang di tengah-tengah padang sahara…!!”

Kisah Seorang Gadis Buta



Pada suatu hari ada seorang gadis buta yang sangat membenci dirinya sendiri. Karena kebutaannya itu. Tidak hanya terhadap dirinya sendiri, tetapi dia juga membenci semua orang kecuali kekasihnya.
Kekasihnya selalu ada disampingnya untuk menemani dan menghiburnya. Dia berkata akan menikahi gadisnya itu kalau gadisnya itu sudah bisa melihat dunia.

Suatu hari, ada seseorang yang mendonorkan sepasang mata kepada gadisnya itu, yang akhirnya dia bisa melihat semua hal, termasuk kekasih gadisnya itu.
Kekasihnya bertanya kepada gadisnya itu,
”Sayaaaang, sekarang kamu sudah bisa melihat dunia. Apakah engkau mau menikah denganku?” Gadis itu terguncang saat melihat bahwa kekasihnya itu ternyata buta. Dan dia menolak untuk menikahi si pria pacar-nya itu yang selama ini sudah sangat setia sekali mendampingi hidupnya selama si gadis itu buta matanya.
Dan akhirnya si Pria kekasihnya itu pergi dengan meneteskan air mata, dan kemudian menuliskan sepucuk surat singkat kepada gadisnya itu,
“Sayangku, tolong engkau jaga baik-baik ke-2 mata yg telah aku berikan kepadamu.”
Gadis itu menangis dan menyadari kebodohannya, betapa besar pengorbanan kekasihnya selama ini tapi kekasihnya telah pergi dengan membawa luka dihati.

Kisah di atas memperlihatkan bagaimana pikiran manusia berubah saat status dalam hidupnya berubah. Hanya sedikit orang yang ingat bagaimana keadaan hidup sebelumnya dan lebih sedikit lagi yang ingat terhadap siapa harus berterima kasih karena telah menyertai dan menopang bahkan di saat yang paling menyakitkan.

Kesusahan Yang Bukan Kesusahan



Suatu ketika Ali bin Abi Thalib, yang saat itu menjabat sebagai khalifah, bertemu dengan sahabat Salman al Farisi. Ali menyapanya,
“Apa kabar dirimu, wahai Salman?”
Salman berkata,
“Wahai Amirul Mukminin, saya sedang dilanda empat kesusahan!!”
“Kesusahan apa?” Tanya Ali.
Salman menjelaskan, “Kesusahan keluarga karena membutuhkan roti (makanan pokok), kesusahan karena perintah Allah untuk menjalankan taat, kesusahan karena godaan syetan yang selalu mengajak maksiat, dan kesusahan karena akan datangnya malaikat maut untuk mencabut nyawaku!!”

Reaksi yang diberikan Ali sungguh mengejutkan,
“Bergembiralah wahai Abu Abdillah, pada setiap keadaan itu, engkau memiliki derajad (kedudukan utama) di sisi Allah”

Tentu saja Salman kebingungan melihat reaksi sahabat dan menantu Rasulullah SAW itu.

Kemudian Ali menceritakan, bahwa ketika Nabi SAW masih hidup, suatu pagi ia bertemu dengan beliau dan beliau bersabda,
“Bagaimana pagimu, ya Ali?”
“Wahai Rasulullah,” Kata Ali, “Saya berada dalam kesedihan karena empat hal. Saya tidak memiliki apapun (untuk makan) kecuali hanya air, saya sedih dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah (apakah akan diterima?), saya sedih tentang balasan amal (apakah lebih banyak kebaikannya?), dan saya sedih akan datangnya malaikat maut (apakah akan khusnul khotimah?).”

Mendengar jawaban Ali tersebut, dengan tersenyum Nabi SAW bersabda, “Bergembiralah wahai Ali, sesungguhnya kesedihan atas keluarga adalah tabir dari neraka, dan kesedihan dalam taat kepada Allah al Khaliq adalah (kunci) keamananmu dari azab, kesedihan atas balasan amal adalah jihad, yang hal itu lebih baik daripada ibadah selama 60 tahun, dan kesedihanmu atas malaikat maut adalah kafarat (pelebur, penebus) dari dosa-dosamu. Ketahuilah, wahai Ali, rezeki Allah kepada hamba-Nya itu tidak karena kesedihan itu. Kesedihan tidak berpengaruh apa-apa (atas pembagian rezeki dari Allah) kecuali semakin menambah pahala. Jadilah orang yang bersyukur dan tawakal, niscaya engkau akan menjadi kekasih Allah!!”
Ali bertanya,
“Dengan apa (atas apa)saya bersyukur kepada Allah?
“Dengan Islam!!”
“Dengan apa saya taat?” Tanya Ali lagi.
“Ucapkanlah: Laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim…!!”
Ali bertanya lagi,
“Apa yang harus saya tinggalkan?”
Nabi SAW bersabda lagi, “Tinggalkanlah kemarahan, karena hal itu akan menghilangkan amarah Tuhanmu, memberatkan timbangan amal (kebaikan) dan membawamu ke surga!!”

Mendengar penjelasan Ali tersebut, Salman berkata, “Sungguh saya benar-benar susah memikirkan hal itu, terutama tentang keluarga!!”

Tentu, maksud Salman bukanlah perasaan sedih atau susah karena menyesali keadaannya. Tetapi kesedihan dalam rangka mengharap berbagai kebaikan seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW tersebut. Menjalani hidup dalam kesedihan/kesusahan dengan ikhlas untuk menggapai kegembiraan di akhirat kelak.

Menanggapi ucapan Salman tersebut, Ali berkata,
“Saya pernah mendengar Rasulullah bersabda: Barang siapa yang tidak pernah bersedih atas keluarganya, ia tidak berhak mendapat surga!!”
Salman menyahuti, “Bukankah Rasulullah SAW juga bersabda: Orang yang memiliki keluarga tidak akan bahagia selamanya??”
“Bukan seperti itu (maksudnya), Salman,” Kata Ali, “Jika pekerjaanmu halal, maka surga akan selalu merindukan orang-orang yang bersedih dan nestapa dalam mencari rezeki yang halal, demi untuk menghidupi keluarganya!!”

Utbah Bin Ghazwan RA



Utbah bin Ghazwan adalah sahabat muhajirin, dan termasuk dalam kelompok awal yang memeluk Islam (As sabiqunal awwalin). Ia sempat berhijrah ke Habasyah karena begitu kerasnya tekanan dan siksaan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy. Walau suasana tenang dan terlindungi untuk beribadah di sana, tetapi ia memilih untuk kembali ke Makkah karena kerinduannya kepada Nabi SAW. Tidak masalah kalau hari-harinya dalam kesulitan, siksaan dan teror asal setiap saat ia bisa bertemu dan bergaul dengan Nabi SAW.

Seperti kebanyakan sahabat Nabi SAW dalam kelompok as sabiqunal awwalin, Utbah tidak ingin tertinggal dalam perjuangan menegakkan panji-panji Islam bersama Nabi SAW. Pola hidupnya juga tak jauh berbeda dengan beliau, tekun beribadah, menjauhi kemewahan hidup duniawiah dan tidak mencari jabatan.
Dalam kebanyakan pertempuran yang diterjuninya, ia hanyalah seorang prajurit biasa yang mempunyai keahlian dalam memanah dan melemparkan tombaknya.

Tipikal orang-orang seperti Utbah itulah yang dicari oleh khalifah Umar untuk mendukung pemerintahannya. Tidak ayal lagi, Umar memilih Utbah bin Ghazwan untuk memimpin pasukan untuk menaklukan kota Ubullah, sebuah daerah di perbatasan yang sering dijadikan batu loncatan tentara Persia untuk menyerang wilayah Islam. Pada mulanya Utbah menolak keras menjadi pemimpin, dan lebih memilih menjadi prajurit biasa dalam pasukan itu. Tetapi keputusan Umar memang tidak bisa ditawar lagi, sehingga ia berangkat dalam pasukan itu sebagai komandan untuk pertama kalinya.

Ternyata tidak terlalu sulit bagi Utbah menaklukan Ubullah, karena penduduknya sendiri lebih banyak mendukung kedatangan pasukan muslim, sehingga lebih mudah mengalahkan dan mengusir pasukan Persia dari wilayah tersebut. Memang, pasukan Persia selama itu lebih banyak menyengsarakan penduduk Ubullah daripada melindunginya. Di tempat tersebut, Utbah dan pasukannya dengan didukung penduduk setempat melakukan pembangunan kota, tentunya dengan bercirikan keislaman dengan masjid besar menjadi pusat kotanya. Kota ini kemudian dikenal dengan nama Bashrah, dan secara otomatis Utbah menjadi wali negerinya.

Setelah pemerintahan berjalan lancar, Utbah bermaksud kembali ke Madinah dan menyerahkan kendali kota kepada sahabat-sahabatnya. Sungguh, jabatan yang dipegangnya itu membuat hidupnya tidak nyaman. Apalagi perkembangan kota yang dipimpinnya makin pesat saja, seolah menjadi "pesaing" kemewahan yang ditampilkan oleh kota-kota lainnya di wilayah Persia. Jiwa zuhud, wara dan sederhana sebagai hasil didikan Nabi SAW seolah memaksanya untuk "melarikan-diri" dari semua itu. Tetapi ketika ia mengajukan pengunduran diri dari jabatannya, khalifah Umar menolak, bahkan menentang keras keputusannya. Terpaksalah Utbah menjalankan lagi tugasnya tersebut.

Utbah bin Ghazwan menyibukkan dirinya dengan membimbing penduduk Bashrah tentang kewajiban-kewajiban agama, menjalankan ibadah, menegakkan hukum dengan adil, dan tentu saja yang tidak ketinggalan, menerapkan jiwa zuhud, wara dan sederhana dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Tentu saja sikapnya ini tidak seratus persen mendapat dukungan, bahkan penentangan secara terang-terangan kadang terjadi. Karena itu ia sering berkata,
"Demi Allah, sesungguhnya telah kalian lihat aku bersama Rasulullah SAW, sebagai salah seorang dari kelompok tujuh, yang tidak punya makanan kecuali hanya daun-daun kayu, sehingga bagian dalam mulut kami menjadi pecah-pecah dan luka."

Ia juga pernah berkata,
"Suatu hari aku memperoleh hadiah baju burdah dari Nabi SAW, dan baju itu kupotong jadi dua. Sepotong untuk dipakai Sa'ad bin Malik dan sepotong untukku sendiri…..!!"

Perintah Allah Untuk Shalat Malam



Firman Allah SWT:
“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Qur’an itu dengan perlahan-lahan.” (QS. Al Muzzamil:1-4)

Dari Jabir ra, ia barkata,
“Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya pada malam hari itu benar-benar ada saat yang seorang muslim dapat menepatinya untuk memohon kepada Allah suatu kebaikan dunia dan akhirat, pasti Allah akan memberikannya (mengabulkannya); dan itu setiap malam.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Dari Abdullah bin Salam, Rasulullah SAW,
“Wahai manusia, sebarkanlah salam, berikanlah makanan, dan shalat malamlah pada waktu orang-orang tidur, kalian akan masuk surga dengan selamat.” (HR. Imam Tirmidzi)

Rasulullah SAW telah bersabda yang artinya,
“Lazimkan dirimu untuk shalat malam karena hal itu tradisi orang-orang shalih sebelummu, mendekatkan diri kepada Allah, menghapus dosa, menolak penyakit, dan pencegah dari dosa.” (HR. Ahmad)

Wallahu 'alam...