Cari Artikel

Ilmu Lebih Utama Daripada Harta



Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Nabi SAW, merupakan salah seorang sahabat yang diutamakan karena ilmunya. Pengakuan itu muncul langsung dari Nabi SAW dengan sabda beliau,
“Ana madinatul ‘ilmi, wa ‘aliyyun baabuhaa”
Maksudnya adalah:
"Saya (Nabi SAW) adalah kotanya ilmu, dan Ali adalah pintunya, yaitu pintu dari kota ilmu tersebuta. Tentu yang dimaksud ‘ilmu’ tersebut khususnya ilmu agama dan tentang alam akhirat, karena dalam suatu kesempatan lainnya, Nabi SAW pernah bersabda,
“Kalian lebih tahu (daripa
da aku) tentang urusan duniamu!!” 

Para sahabat yang selalu “sami’na wa atho’na” (kami dengar dan kami mentaatinya) dengan semua perkataan dan sabda-sabda beliau itu tidak pernah mempermasalahkan, bahkan tidak jarang mereka meminta nasehat dan pendapat Ali dalam suatu permasalahan, walau usia Ali mungkin lebih muda. Dan jika Ali telah memberikan suatu pendapat dan pandangan, mereka akan mengikutinya, termasuk Umar bin Khaththab ketika menjadi khalifah. 

Ketika Nabi SAW telah wafat beberapa tahun lamanya, ada sekelompok orang yang meragukan keilmuan Ali. Sebagian riwayat menyebutkan, mereka itu dari kaum Khawarij, satu kelompok yang mendukung Ali bin Abi Thalib ketika terjadi pertentangan dengan Muawiyah. Tetapi ketika Ali mengikhlaskan melepas jabatan khalifah, karena sebenarnya memang tidak berambisi, demi untuk persatuan umat Islam saat itu, kaum Khawarij itu berbalik melawan dan menentang Ali. Kaum Khawarij ini banyak penyimpangannya sehingga sebagian besar ulama menganggap sebagai kelompok yang sesat.

Mereka ini bermusyawarah dan memutuskan akan mengirim sepuluh orang dengan masalah (pertanyaan) yang sama. Jika Ali memberikan jawaban yang sama walau dengan pertanyaan yang sama, maka sebenarnya Ali tidak pantas menyandang gelar sebagai pintunya ilmu sebagaimana disabdakan Nabi SAW.

Orang pertama datang menghadap Ali dan berkata,
“Wahai Imam Ali, manakah yang lebih utama, ilmu atau harta??”
“Ilmu” Kata Ali.
“Mengapa ilmu lebih utama??” Katanya.
Maka Ali berkata,
“Sesungguhnya ilmu itu warisan para Nabi, sedangkan harta itu warisan dari Qarun, Fir’aun, Hammam, Syaddad dan lain-lainnya!!”

Orang pertama itu membenarkan dan berlalu pulang. Tentu saja jawaban Ali tersebut bersifat umum, karena ada juga orang yang diberikan kelimpahan harta, dan bisa memanfaatkan dengan baik untuk kemanfaatan hidupnya sesudah mati, baik di alam kubur, terlebih lagi di alam akhirat. Misalnya saja Ummul Mukminin Khadijah RA, Abu Bakar ash-Shiddiq, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Aus, Qais bin Sa’d bin Ubadah, dan beberapa sahabat lainnya. Intinya, jika harta itu berada di tangan orang yang dermawan dan sangat perduli pada kaum fakir miskin, maka kedudukan harta tidak kalah utamanya dibandingkan ilmu.

Orang ke dua datang menghadap Ali dengan pertanyaan yang sama, dan Ali menyatakan ilmu lebih utama daripada harta. Tetapi ia menyampaikan alasan yang berbeda,
“Ilmu akan menjagamu, sedangkan harta, engkau yang harus menjaganya!!”

Orang itu membenarkan Ali dan berlalu pulang, menyampaikan jawaban Ali kepada mereka yang menyuruhnya.

Ketika orang ke tiga datang dengan pertanyaan yang sama, Ali memberikan jawaban yang sama pula, kemudian ia menyampaikan alasannya,
“Pemilik ilmu banyak sekali sahabatnya (dan murid-muridnya), sedang pemilik harta akan banyak sekali musuhnya (dan orang yang bermanis muka hanya untuk memperoleh pemberiannya, walau mungkin di dalam hati membencinya)!!”

Orang itu membenarkan Ali dan berlalu pulang, menyampaikan jawaban Ali kepada mereka yang menyuruhnya.

Ketika orang ke empat datang dengan pertanyaan yang sama, Ali memberikan jawaban yang sama pula, kemudian ia menyampaikan alasannya,
“Ilmu akan bertambah jika engkau gunakan, sedangkan harta akan berkurang jika engkau menggunakannya!!”

Orang itu membenarkan Ali dan berlalu pulang, menyampaikan jawaban Ali kepada mereka yang menyuruhnya.




Ketika orang ke lima datang dengan pertanyaan yang sama, Ali memberikan jawaban yang sama pula, kemudian ia menyampaikan alasannya,
“Pemilik ilmu akan selalu dihormati dan dimuliakan karena ilmunya, tetapi pemilik harta, akan ada saja yang memanggilnya sebagai si pelit, karena ia tidak memperoleh bagian dan manfaat dari harta tersebut!!”

Orang itu membenarkan Ali dan berlalu pulang, menyampaikan jawaban Ali kepada mereka yang menyuruhnya.

Ketika orang ke enam datang dengan pertanyaan yang sama, Ali memberikan jawaban yang sama pula, kemudian ia menyampaikan alasannya,
“Pemilik harta harus selalu hati-hati dan menjaga agar tidak diambil oleh pencuri, sedang pemilik ilmu tidak perlu menjaganya!!”

Orang itu membenarkan Ali dan berlalu pulang, menyampaikan jawaban Ali kepada mereka yang menyuruhnya.

Ketika orang ke tujuh datang dengan pertanyaan yang sama, Ali memberikan jawaban yang sama pula, kemudian ia menyampaikan alasannya,
“Pada hari kiamat, pemilik harta harus susah payah mempertanggung-jawabkan hartanya, sedangkan pemilik ilmu akan memperoleh syafaat dari ilmu yang dimilikinya (dan diamalkannya)!!”

Orang itu membenarkan Ali dan berlalu pulang, menyampaikan jawaban Ali kepada mereka yang menyuruhnya.

Ketika orang ke delapan datang dengan pertanyaan yang sama, Ali memberikan jawaban yang sama pula, kemudian ia menyampaikan alasannya,
“Jika dibiarkan dalam waktu yang lama, harta akan menjadi aus dan rusak, sedangkan ilmu tidak akan menjadi aus dan lenyap!!”

Orang itu membenarkan Ali dan berlalu pulang, menyampaikan jawaban Ali kepada mereka yang menyuruhnya.

Ketika orang ke sembilan datang dengan pertanyaan yang sama, Ali memberikan jawaban yang sama pula, kemudian ia menyampaikan alasannya,
“Harta bisa membuat hati menjadi keras dan akhirnya bersifat bakhil (karena terlalu cintanya kepada harta), sedangkan ilmu akan selalu menjadi penerang dan penyejuk hati!!”

Orang itu membenarkan Ali dan berlalu pulang, menyampaikan jawaban Ali kepada mereka yang menyuruhnya.

Dan akhirnya orang ke sepuluh datang dengan pertanyaan yang sama, Ali memberikan jawaban yang sama pula, kemudian ia menyampaikan alasannya,
“Pemilik ilmu akan diberi gelar sebagai ilmuwan, sedangkan pemilik harta akan dipanggil atau digelari Tuan Besar!!”

Tampaknya Ali mengetahui (dengan ilham dari Allah, atau dari analisa pikirannya) niat dari orang-orang yang datang dengan pertanyaan yang sama tersebut, dan kepada yang terakhir datang itu, Ali berkata,
“Andaikata kalian mengirim lebih banyak lagi orang dengan pertanyaan yang sama, pastilah aku akan memberikan alasan yang berbeda selagi aku masih hidup!!”

Memang, keutamaan ilmu atas harta tidak sepuluh itu saja, masih banyak lagi. Misalnya, pertanyaan akhirat (yaumul hisab) atas ilmu hanya satu, yakni apa dan bagaimana ilmu itu diamalkan? Sedangkan atas harta ada dua, pertama darimana dan bagaimana diperoleh harta tersebut diperoleh? Dan kedua, kemana dan bagaimana harta tersebut diamalkan (dibelanjakan)? Misalnya lagi, ketika seseorang meninggal, ilmu akan menemani pemiliknya hingga masuk kubur, bahkan bisa menjadi teman dan penolongnya menghadapi malaikat, tetapi harta hanya akan mengantarnya hingga ke pintu pemakaman, atau sampai ia diurug dengan tanah, setelah ia akan menjadi milik ahli warisnya. Dan masih banyak lagi yang bisa dikupas dari berbagai hadits-hadist Nabi SAW.

Setelah kembali dan menyampaikan pesan tersebut, mereka (kaum Khawarij itu) berkhidmad kembali kepada Ali bin Abi Thalib dan memperbaiki keislamannya dengan bimbingan beliau.

Dari Hubbud Dunya Menjadi Ahlul Jannah


Suatu ketika Malik bin Dinar berjalan-jalan di Kota Bashrah dengan sahabatnya Abu Sulaiman (Ja’far). Mereka bertemu dengan seorang pemuda tampan yang sedang mempersiapkan pembangunan sebuah gedung. Ia tampak memberikan perintah kepada tukang-tukangnya untuk mengerjakan ini dan itu. Malik bin Dinar berkata kepada Abu Sulaiman,
“Lihatlah pemuda itu, alangkah tampan wajahnya, betapa rajinnya ia mengatur pembangunan itu. Aku ingin berdoa semoga Allah menyelamatkan pemuda itu, dan menjadikannya pemuda ahli surga!!”

Kemudian mereka berdua menghampiri pemuda itu, dan mereka mengucap salam. Walau pemuda itu tidak mengenalnya secara khusus sebagai seorang ulama tasauf, tetapi ia bisa merasakan aura kewibawaannya. Pemuda itu menjawab salamnya dan menyambutnya dengan ramah dan santun sambil menanyakan maksud kedatangannya. Malik bin Dinar berkata,
“Berapakah perkiraan biaya yang engkau keluarkan untuk membangun gedung ini?”
Pemuda itu berkata,
“Seratus ribu dirham!!”
Malik bin Dinar berkata,
“Aku ingin memberikan penawaran kepadamu, serahkanlah seratus ribu dirham itu kepadaku, dan aku akan menempatkannya pada tempat yang seharusnya. Sebagai gantinya, aku akan menjamin bagimu di sisi Allah, sebuah gedung yang lebih indah dari pada ini, lengkap dengan pelayan-pelayannya, kubah-kubahnya, kemah-kemahnya dari yaqut merah bertaburkan permata, tanahnya za’faran, semen (perekat)-nya misik, jauh lebih besar dan lebih luas dari rencana gedungmu itu, dan tidak akan rusak selamanya. Karena gedung itu terbangun dengan kalimat Allah ‘Kun’, maka terjadilah gedung itu!!” 

Sebuah penawaran yang sangat tidak masuk akal, tetapi tampaknya merasuk dalam pikiran pemuda itu. Apalagi ada hawa kesalehan dan ketulusan dalam ucapan Malik bin Dinar itu. Pemuda itu tampak tercenung sebentar, kemudian ia berkata,
“Berilah aku waktu semalam untuk memikirkannya, dan esok pagi sekali hendaknya tuan datang kembali ke sini!!”
“Baiklah!!” Kata Malik bin Dinar.

Semalaman itu Malik bin Dinar memikirkan pemuda itu, dan ketika waktu sahar (sebelum subuh, waktu yang afdhol untuk sahur) tiba, ia lebih banyak berdoa untuk pemuda tampan tersebut.

Ketika matahari telah terbit, mereka berdua mendatangi pemuda tersebut, yang ternyata telah siap-siap menunggu kedatangannya. Setelah saling mengucap salam, pemuda itu berkata,
“Apakah yang tuan katakan kemarin??”

Malik bin Dinar mengulangi lagi ucapannya pada hari sebelumnya, setelah itu ia berkata,
“Apakah kamu sanggup melaksanakannya??”
Pemuda itu menyahut dengan cepat, “Ya!!”

Kemudian ia menyerahkan beberapa kantong uang berisi seratus ribu dirham yang telah dipersiapkannya. Ia juga telah menyiapkan selembar kertas dan dawat (tinta) beserta penanya. Malik bin Dinar langsung menulis pada kertas tersebut, “Bismillaahirrahmaanirrahiim. Ini surat jaminan dari Malik bin Dinar untuk Fulan bin Fulan. Sungguh saya (Malik bin Dinar) menjamin untukmu di sisi Allah, sebuah gedung sebagai ganti gedungmu itu, menurut sifat dan bentuk yang telah aku sebutkan sebelumnya, dan selebihnya dari itu terserah kepada Allah. Saya membeli untukmu dengan uangmu ini, sebuah gedung di surga yang lebih luas dan lebih indah daripada gedungmu itu, di bawah naungan yang sejuk, di sisi Tuhan Yang Maha Agung..!!”

Surat itu dilipat dan diserahkan kepada pemuda itu, kemudian Malik bin Dinar dan Abu Sulaiman memikul uang itu, berjalan berkeliling Kota Bashrah membagi-bagikan uang itu kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkannya.

Sore harinya, ketika tidak ada lagi dari mereka yang memerlukan uang itu, tersisa beberapa dirham yang hanya cukup untuk membeli makan malam sederhana bagi mereka berdua. 

40 hari kemudian, usai shalat subuh di mihrabnya, Malik bin Dinar menemukan sebuah kertas terlipat. Setelah ia membukanya, terdapat tulisan yang tidak ditulis dengan dawat (tinta),
“Ini bukti kekebasan dari Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana kepada Malik bin Dinar, dan Kami akan menepati jaminannya kepada pemuda itu, dengan gedung yang 70 kali lipatnya dari apa yang ia sifatkan!!”

Malik bin Dinar tercenung beberapa saat setelah membacanya, kemudian ia bergegas pergi ke rumah pemuda itu. Tampak pintunya tertutup dan terdengar tangisan di dalamnya. Salah seorang tetangga pemuda itu berkata kepada Malik,
“Pemuda itu telah meninggal kemarin, dan kami telah memanggil seorang tukang memandikan ketika ia naza’ (sekarat)!!”
Malik berkata,
“Dimanakah rumah tukang memandikan itu?”

Mereka mengantar Malik bin Dinar ke tempat tinggalnya. Setelah bertemu, Malik berkata kepadanya,
“Coba engkau ceritakan kepadaku bagaimana keadaannya?”

Tukang memandikan itu menceritakan kalau ia datang ketika pemuda itu sedang sekarat atau naza’. Sebelum kematiannya, ia sempat berkata kepadanya,
“Jika aku telah mati dan engkau telah mengkafaninya, letakkanlah surat ini di dalam kafanku!!”

Pemuda itu memberikan sebuah surat atau kertas terlipat, dan ia meletakkannya di antara tubuh dan kain kafan yang membungkusnya, kemudian ia menguburkannya. Sambil menunjukkan surat atau kertas terlipat yang ditemukan di mihrabnya subuh hari itu, Malik bin Dinar berkata, “Apakah surat ini!!”
“Benar!!” Kata tukang memandikan itu sambil terheran-heran. Ia sangat yakin dan pasti kalau telah melaksanakan wasiat pemuda itu, dan menguburkan surat itu bersama jenazahnya. Tetapi mengapa surat itu ternyata ada di tangan Malik bin Dinar? Ia berkata,
“Demi Allah yang telah mematikan pemuda itu, saya telah meletakkan surat itu di antara tubuh dan kafannya, kemudian menguburkannya!!”

Malik bin Dinar tampak sangat terharu dengan cerita itu, begitu juga dengan orang-orang di sekitarnya yang memang telah mengetahui kisah ‘pertukaran’ tersebut. 

Salah seorang pemuda mendekati Malik bin Dinar dan berkata,
“Wahai Malik, terimalah dari aku dua ratus ribu dinar, dan berikan jaminan untukku seperti pemuda itu!!”

Penawaran yang diberikan pemuda ini jauh lebih banyak, daripada yang diminta pada pemuda yang telah meninggal itu.

Dirham adalah uang perak, dan itupun hanya seratus ribu dirham, sedang dinar adalah uang emas, dan itu sebanyak duaratus ribu dinar. Tetapi Malik menyadari bahwa kemuliaan dan ketinggian derajad yang diterima pemuda yang telah meninggal itu bukanlah karena perannya dalam menyedekahkan uang yang sedianya akan dibuat membangun gedung itu. Tetapi lebih kepada sikap dan amalan pemuda itu sendiri dan juga kasih sayang dan kehendak Allah 

Menyadari hal itu, Malik bin Dinar berkata,
“Jauh, jauh sekali yang seperti itu (maksudnya tidak mungkin akan terulang lagi), terjadilah apa yang telah terjadi, yang tertinggal juga telah tertinggal, dan Allah memberikan keputusan sesuka-Nya, sesuai kehendak-Nya sendiri!!

Saat Usiaku Tua



Ketika aku sudah tua, bukan lagi aku yang semula. Mengertilah, bersabarlah sedikit terhadap aku.

Ketika pakaianku terciprat sup, ketika aku lupa bagaimana mengikat sepatu, ingatlah bagaimana dahulu aku mengajarmu.

Ketika aku berulang-ulang berkata-kata tentang sesuatu yang telah bosan kau dengar, bersabarlah mendengarkan, jangan memutus pembicaraanku.
Ketika kau kecil, aku selalu harus mengulang cerita yang telah beribu-ribu kali kuceritakan agar kau tidur.

Ketika aku memerlukanmu untuk memandikanku, jangan marah padaku. Ingatkah sewaktu kecil aku harus memakai segala cara untuk membujukmu mandi?

Ketika aku tak paham sedikitpun tentang tekhnologi dan hal-hal baru, jangan mengejekku. Pikirkan bagaimana dahulu aku begitu sabar menjawab setiap “mengapa” darimu.

Ketika aku tak dapat berjalan, ulurkan tanganmu yang masih kuat untuk memapahku. Seperti aku memapahmu saat kau belajar berjalan waktu masih kecil.

Ketika aku seketika melupakan pembicaraan kita, berilah aku waktu untuk mengingat. Sebenarnya bagiku, apa yang dibicarakan tidaklah penting, asalkan kau disamping mendengarkan, aku sudah sangat puas.

Ketika kau memandang aku yang mulai menua, janganlah berduka. Mengertilah aku, dukung aku, seperti aku menghadapimu ketika kamu mulai belajar menjalani kehidupan.
Waktu itu aku memberi petunjuk bagaimana menjalani kehidupan ini, sekarang temani aku menjalankan sisa hidupku.
Beri aku cintamu dan kesabaran, aku akan memberikan senyum penuh rasa syukur
Itulah orang tua kita, sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi kita sejak kecil

Kiat-Kiat Melembutkan Hati



1. Perbanyak Baca Al-Quran dengan Mentadabburinya
.
Di antara sebab lembutnya hati adalah dengan membaca Al-Qur’an. Karna Al-Qur’an adalah kalamullah.

2. Perbanyak Dzikir
Mengingat Allah. Sebagaimana Allah firmankan dalam surah Ar-Ra’d ayat 28 yang artinya,

Ketahuilah bahwa hanya dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tenang.

3. Berteman Dengan kawan yang Baik Agamanya.
Tujuan untuk saling mengingatkan, menasihati dalam ketaatan. Sehingga ketika kondisi iman melemah ada yang mengingatkan.

4. Menyayangi Anak Kecil Terutama anak kecil yang yatim.
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Sayanginlah semua yang ada di bumi, niscaya Dzat yang ada dilangi akan menyayangi kalian."
(HR. Tirmidzi no. 1924 dan Abu Dawud no 4941).

5. Berdoa kepada Allah.
Perbanyak berdoa kepada Allah agar dimudahkan dalam ketaatan dan diberikan kelembutan hati. Doa yang diajakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ

(Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, rasa malas, rasa takut, kejelekan di waktu tua, dan sifat kikir. Dan aku juga berlindung kepada-Mu dari siksa kubur serta bencana kehidupan dan kematian).
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Wallahu 'alam.

Sa'd Bin Ubadah RA



Sa'd bin Ubadah adalah sahabat Anshar pada angkatan pertama, ia memeluk dan mengukuhkan keislamannya di hadapan Nabi SAW pada Ba'iatul Aqabah kedua. Ia seorang tokoh dari suku Khazraj, putra dari Ubadah bin Dulaim bin Haritsah, seorang tokoh yang terkenal kedermawanannya di masa jahiliah.
Ubadah bin Dulaim selalu menyediakan makanan bagi tamu dan musafir siang dan malam, pada siang hari ia menugaskan orang untuk mengundang siapa saja untuk makan dirumahnya. Dan pada malam harinya ia menyuruh seseorang lainnya menyalakan api sebagai petunjuk jalan, sekaligus mengundang orang untuk makan malam di rumahnya. Tidak heran jika sifat dan sikap tersebut menurun pada diri anaknya, Sa'd bin Ubadah.

Pada masa awal hijrah di Madinah, Rasulullah SAW mempersaudarakan orang-orang Muhajirin, yang kebanyakan dalam keadaan miskin karena meninggalkan harta kekayaannya di Makkah dengan seorang sahabat Anshar. Umumnya para sahabat Anshar menjamin dan melayani dua atau tiga orang sahabat Muhajirin, tetapi Sa'd bin Ubadah membawa 80 orang Muhajirin ke rumahnya. Karena kebiasaan sejak nenek moyangnya yang sulit atau tidak bisa ditinggalkannya itu, Sa’d pernah berdoa,
"Ya Allah, tiadalah (harta) yang sedikit ini memperbaiki diriku, dan tidak pula baik bagiku…."

Nabi SAW mendengar doanya, dan beliau memahami bahkan sangat memuji sifat dermawannya tersebut. Maka beliau ikut mendoakannya,
"Ya Allah, berilah keluarga Sa'd bin Ubadah, karunia dan rahmat-Mu yang tidak terbatas!!”

Karena doa Rasulullah SAW tersebut, Sa'd bin Ubadah beserta keluarganya selalu dilimpahi kelebihan harta sehingga tradisi kedermawanan seolah menjadi brandmark keluarga besar ini. Putranya, Qais bin Sa'd juga mempunyai kegemaran yang sama, bahkan cenderung berlebihan dalam bersedekah pada usianya yang masih sangat muda. Sa'd tidak pernah melarang atau mencegahnya, sehingga Abu Bakar dan Umar pernah memperbincangkan gaya hidup pemuda tersebut dengan berkata,
"Kalau kita biarkan pemuda ini dengan kedermawanan dan kepemurahannya, pastilah akan habis tandas kekayaan orang tuanya….!"

Ketika pembicaraan tersebut sampai kepada Sa'd bin Ubadah, ia berkata,
"Siapakah yang dapat membela/memberi hujjah diriku atas Abu Bakar dan Umar? Diajarkannya kepada anakku bersikap kikir dengan memakai namaku…!"

Sa'd bin Ubadah juga terkenal sebagai tokoh Madinah yang sering memberikan perlindungan dan menjamin keamanan perdagangan dari mereka yang lewat atau berkunjung di Madinah, termasuk kafilah dagang kaum Quraisy. Ada peristiwa menarik yang terjadi pada Ba'iatul Aqabah kedua.

Sekitar tujuh puluh lima atau lebih orang Yatsrib yang berba'iat kepada Nabi SAW sebenarnya hanya sebagian saja dari rombongan haji (tradisi jahiliah) dari kota tersebut yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubay bin Salul. Ketika ba'iat yang dilakukan pada sepertiga malam akhir di salah satu hari tasyriq telah selesai, tiba-tiba ada orang yang memergoki pertemuan tersebut dan berteriak memanggil kaum Quraisy. Nabi SAW segera menyuruh mereka kembali ke perkemahannya, berbaur dengan kaum musyrikin Yatsrib lainnya dan pura-pura tidur.

Pada pagi harinya ketika kaum Quraisy mendatangi perkemahan orang Yatsrib untuk mengecek kebenaran berita tentang pertemuan (sebagian) mereka dengan Nabi SAW, dan tentu saja Abdullah bin Ubay menolak dengan keras tuduhan tersebut. Memang, selama ini penduduk Yatsrib selalu memberitahukan kepada Abdullah bin Ubay, tindakan dan keputusan yang mereka ambil, mereka tidak berani melangkahinya begitu saja. Tetapi pada peristiwa ini, untuk pertama kalinya mereka menyembunyikan sikapnya dari pemimpinnya tersebut, yang kemudian hari menjadi pimpinan dan tokoh dari kaum munafik. Kaum kafir Quraisy tidak bisa berbuat banyak dengan penolakannya itu, tetapi diam-diam mereka melakukan penyelidikan.

Ketika musim haji telah selesai dan para peziarah telah pulang ke daerahnya masing-masing, kaum kafir Quraisy memperoleh bukti dan saksi kuat bahwa orang-orang Yatsrib memang terlibat dalam pertemuan tersebut. Mereka melakukan pengejaran, tetapi terlambat, hanya saja mereka mendapati dua orang yang tertinggal, yakni Sa'd bin Ubadah dan Mundzir bin Amir. Mereka melepaskan Mundzir karena tampak lemah, sedang Sa'd diikat dan dibawa kembali ke Makkah.

Sampai di Makkah, Sa'd dikerumuni, lalu dipukul dan disiksa layaknya kalangan miskin di Makkah yang memilih memeluk Islam, padahal ia adalah tokoh terpandang dan dermawan yang sangat dihormati di Madinah.
Inilah sahabat Anshar pertama yang disiksa karena keislamannya, atau bisa jadi Sa'd satu-satunya sahabat Anshar yang menikmati pengalaman pahit sahabat muhajirin yang memeluk Islam, yakni penyiksaan tokoh-tokoh kaum kafir Quraisy. Ketika penyiksaan makin memuncak dan ia mulai tampak lemah, ada seseorang yang berkata kepadanya,
"Tidak adakah kalangan di antaramu yang mengikat jaminan perlindungan dengan salah seorang Quraisy?"
"Ada..!!" Kata Sa'd bin Ubadah.
"Siapa orang Quraisy itu?"
"Jubeir bin Muth'im dan Harits bin Harb bin Umayyah…!"

Sa'd bin Ubadah memang pernah memberikan jaminan perlindungan kepada kafilah dagang mereka berdua ketika melewati Madinah, bahkan menjamu mereka dengan baik. Lelaki itu menghubungi kedua tokoh Quraisy tersebut dan mengabarkan tentang lelaki Khazraj bernama Sa'd bin Ubadah yang disiksa. Segera saja keduanya datang ke tempat penyiksaan dan membebaskan Sa'd dari tangan-tangan jahat orang kafir Quraisy.

Sa'd segera meninggalkan Makkah menyusul rombongan haji Yatsrib, khususnya sekelompok orang yang telah memeluk Islam. Mereka ini harap-harap cemas menunggu kedatangan Sa'd dan berembug untuk kembali ke Makkah menyusul Sa'd. Tetapi belum sempat mereka mewujudkan niat tersebut, terlihat Sa'd datang dalam keadaan luka dan lemah.

Sa'd bin Ubadah adalah seorang yang mempunyai karakter keras dan teguh pendirian, tidak mudah digoyahkan oleh pendirian dan pendapat orang lain. Pengalaman pahit setelah Ba'iatul Aqabah kedua tersebut makin mengukuhkan kekerasan sikapnya dalam membela Nabi SAW dan Islam, terkadang terlihat menjadi ekstrim seperti yang terjadi saat Fathul Makkah.

Fathul Makkah, berawal dari pelanggaran kaum Quraisy atas perjanjian Hudaibiyah. Bani Bakr yang menjadi sekutu Quraisy menyerang Bani Khuza'ah yang menjadi sekutu Nabi SAW di Madinah, bahkan kaum Quraisy diam-diam memberikan dukungan senjata dan personal kepada Bani Bakr. Ketika orang-orang Bani Khuza'ah berlindung ke tanah suci Makkah yang memang diharamkan menumpahkan darah di sana, mereka tetap membunuhnya, dan kaum Quraisy sebagai pengelola tanah suci Makkah membiarkan itu terjadi.

Beberapa orang Bani Khuza'ah pergi melaporkan peristiwa tersebut kepada Nabi SAW di Madinah. Beliau-pun menghimpun pasukan besar berbagai kabilah, dan masing-masing dipimpin oleh tokoh kabilahnya. Dan bendera kaum Anshar diserahkan kepada Sa'd bin Ubadah. Ketika mulai memasuki Kota Makkah, terbayanglah di pelupuk matanya bagaimana Nabi SAW dan para sahabat pada masa awal mengalami berbagai siksaan dan ancaman dari kaum kafir Quraisy. Terbayang juga bagaimana perilaku mereka ketika merusak dan menyayat jenazah para syahid di medan perang Uhud. Bahkan masih jelas terasa siksaan yang dialaminya ketika ia selesai mengikuti Ba'iatul Aqabah kedua. Karena itu ia berkata,
"Hari ini hari berkecamuknya perang, hari ini dihalalkan hal yang disucikan, hari ini Allah akan menghinakan Quraisy!!"

Perkataannya ini terdengar oleh Abu Sufyan yang merupakan pucuk pimpinan kaum Quraisy, walau saat itu ia telah mulai tertarik untuk memeluk Islam, dan melaporkannya kepada Nabi SAW. Utsman dan Abdurrahman bin Auf juga mengkhawatirkan sikapnya, bahkan Umar bin Khaththab berkata,
"Ya Rasulullah, dengarkanlah apa yang dikatakan oleh Sa'd bin Ubadah, saya khawatir kalau-kalau ia akan menyerang kaum Quraisy hingga tumpas…!!”

Mendengar pendapat-pendapat tersebut, Nabi bersabda,
"Justru hari ini adalah hari diagungkannya Ka'bah, dimuliakannya kaum Quraisy…"

Setelah itu Nabi SAW mengirim utusan untuk memerintahkan Sa'd menyerahkan bendera Anshar kepada anaknya, Qais bin Sa'd. Sebagian riwayat menyebutkan bendera tersebut diserahkan kepada Ali atau Zubair bin Awwam. Tentu saja dengan senang hati Sa'd memenuhi perintah Nabi SAW tersebut, karena apa yang dikatakannya, hanyalah ekspresi dirinya dalam rangka membela Nabi SAW dan Islam, bukan sikap dendam pribadi.

Sikap tegas dan jauh dari kemunafikan tampak pada diri Sa'd bin Ubadah seusai perang Hunain. Pada pertempuran tersebut, banyak sekali ghanimah (rampasan perang) yang diperoleh pasukan muslim, tetapi Nabi SAW mendahulukan membagikannya kepada orang-orang Quraisy yang baru memeluk Islam, bahkan ada yang masih menunda memeluk Islam, padahal pada awal peperangan mereka ini sempat meninggalkan arena pertempuran. Sementara kepada kaum Anshar, beliau tidak menyisakan sedikitpun dari ghanimah tersebut, padahal justru mereka yang banyak berperan melindungi Nabi SAW, dan akhirnya berhasil membalikkan keadaan dan memenangkan pertempuran.

Para sahabat Anshar hanya berbisik-bisik memperbincangkan sikap beliau tanpa berani menyampaikannya kepada Nabi SAW. Keadaan ini tidak disukai oleh Sa'd, karena itu ia menghadap Nabi SAW dan berkata, l
"Ya Rasulullah, golongan Anshar merasa kecewa atas sikap engkau dalam hal harta rampasan (ghanimah) yang kita peroleh. Engkau membagi-bagikan kepada kaummu dan pemimpin-pemimpin Quraisy secara berlebih, sementara kepada kaum Anshar engkau tidak memberikan sedikitpun…"

Nabi SAW tersenyum mendengar perkataan Sa'd yang terus terang tersebut, dan bersabda,
"Bagaimana dengan dirimu (sikapmu) sendiri wahai Sa'd?"
"Ya Nabiyallah, aku ini tidak lain hanyalah salah satu dari kaumku saja…!!"

Nabi SAW memerintahkan Sa'd mengumpulkan kaum Anshar di suatu tempat. Sa'd melaksanakan perintah beliau, beberapa orang Muhajirin ingin ikut serta tetapi Sa'd menolaknya, tetapi pada sebagian yang lain Sa'd membolehkan mereka hadir dalam kumpulan kaum Anshar tersebut.
Setelah semua berkumpul, Sa'd menjemput Nabi SAW.

Di majelis kaum Anshar ini Nabi SAW berbicara panjang lebar mengenai apa yang menjadi ganjalan dan beban terpendam dalam diri mereka soal ghanimah, beliau juga mengingatkan tentang masa jahiliah dan keislaman mereka. Terlalu panjang untuk dijabarkan pada kisah Sa'd ini, tetapi pada ujungnya, Nabi SAW seolah menetapkan bagaimana sebenarnya ketinggian dan keutamaan kaum Anshar di mata Allah dan Rasul-Nya, dan itu semua tidak terlepas dari keberanian Sa'd berterus terang kepada beliau walaupun tampaknya kurang sopan dan tidak etis.

Antara lain Nabi SAW bersabda,
"….Tidakkah kalian rela, wahai kaum Anshar, mereka pulang membawa unta, domba dan harta lainnya, sedang kalian pulang membawa Rasulullah ke tanah tumpah darah kalian. Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, kalau tidaklah karena hijrah, tentulah aku ini termasuk kaum Anshar. Jika orang-orang menempuh jalan di celah gunung, dan orang Anshar menempuh jalan di celah lainnya, tentulah aku mengikuti jalan yang ditempuh orang-orang Anshar……Ya Allah, rahmatilah orang-orang Anshar, anak orang-orang Anshar, cucu orang-orang Anshar, generasi demi generasi….."

Orang-orang Anshar, termasuk Sa'd menangis sesenggukan mendengar penjelasan Nabi SAW tersebut, hingga air mata membasahi jenggot-jenggot mereka. Dengan haru mereka berkata,
"Kami ridha dengan pembagian Allah dan Rasul-Nya….!!"

Ketika Nabi SAW wafat, dan para tokoh muslimin bertemu di saqifah Bani Saidah untuk menentukan khalifah pengganti beliau, Sa'd berdiri pada kelompok sahabat Anshar yang menuntut agar kekhalifahan dipegang kaum Anshar. Tetapi ketika musyawarah mengarah kepada dipilihnya Abu Bakar, yang memang sudah sangat dikenal keutamaannya di sisi Rasulullah SAW, ia bersama kaum Anshar yang mendukungnya dengan ikhlas hati berba'iat kepada Abu Bakar dan melepaskan tuntutannya.

Ketika Abu Bakar wafat dan Umar terpilih sebagai khalifah, Sa'd ikut berba'iat kepadanya. Hanya saja ia sadar, Umar mempunyai watak keras dan teguh pendirian seperti dirinya juga, yang bisa saja sewaktu-waktu terjadi perbenturan yang berakibat buruk. Sangat mungkin terjadi perpecahan karena kaum Anshar pasti akan berdiri di belakangnya menghadapi Umar, karena itu, ia bermaksud pindah dari tanah kelahiran yang dicintainya. Namun seolah tidak ingin kehilangan sikap terus terangnya dan takut dihinggapi kemunafikan, ia mendatangi Umar dan berkata,
"Demi Allah, sahabat anda, Abu Bakar lebih aku sukai daripada anda…!!"

Setelah itu Sa'd pergi ke Syria (Syam), tetapi ketika ia singgah di Hauran (sudah termasuk wilayah Syam), ia sakit dan meninggal dunia di sana.