Cari Artikel

Kepiting



Mau tahu caranya memancing kepiting? Gampang kok!

Seutas tali yang diberi kerikil sebagai pemberat dikaitkan diujung sebatang bambu. Tali yang diberi pemberat dimasukkan kedekat kepiting yang akan kita pancing. Pemberat di senggol-senggolkan ke badan kepiting hingga kepitingnya marah. Karena marah kepiting akan menjepit tali pemberat tersebut dengan sangat kencang. Nah, setelah itu tinggal kita angkat pancingannya.

Lalu selanjutnya bagaimana?

Kepiting kita masukkan ke wajan yg telah berisi air mendidih. Karena kaget, kepiting akan melepas jepitannya. Nah, mudah kan memancing kepiting.

Kenapa kepiting mudah kita tangkap?

Karena dia selalu marah & tersinggung saat digoda.

Kemarahan seringkali tidak memberi hasil yang efektif, selain Rasa Puas Sesaat bagi yang menjalankannya, dan Rasa Penyesalan Berkepanjangan.

Jarang kita bisa marah dengan bijaksana. Kebanyakan justru marah secara membabi buta dan sekedar melampiaskan emosi. Hal tersebut tidak akan menyelesaikan masalah, malah justru memperbesar masalah.

Supaya kita tidak mudah terperangkap dalam kemarahan yang merugikan diri sendiri, cobalah menghindar dari kemarahan yang tidak perlu, tahan emosi, alihkan perhatian. Tarik nafas dalam-dalam dan setelah itu tersenyumlah.

Selamat kita terlepas dari kemarahan yang sangat merugikan.

Jangan Sering marah. Nanti seperti kepiting, bisa dipancing orang. Rugi besar kan.. Bisa kehilangan berkat, teman / jabatan dan keuntungan yang lain. Dan ini yg terpenting: hindari menggoda / menyakiti orang sehingga menimbulkan amarah orang lain. Bisa menahan emosi dengan mengendalikan diri tanpa meluapkan kemarahan adalah BIJAK. Bisa membuat orang tidak marah / tersinggung, malahan bisa membuatnya senantiasa tersenyum, berbahagia, dan bersukacita; barulah BIJAKSANA.

Urwah Bin Zubair RA



Urwah bin Zubair adalah saudara Abdullah bin Zubair, putra dari sahabat Zubair bin Awwam, ibunya adalah Asma binti Abu Bakar. Ia sempat mengikuti beberapa pertempuran bersama Rasulullah SAW walau saat itu ia masih sangat muda, termasuk pada Perang Tabuk.

Suatu ketika di masa tuanya, salah satu kakinya terluka cukup parah, tabib menyarankan Urwah bin Zubair untuk mengamputasi kaki tersebut karena dikhawatirkan akan merusak anggota tubuh lainnya. Karena proses tersebut sangat menyakitkan, sang tabib menawarkan untuk memberinya minuman yang mengandung bius, dan mendatangkan beberapa orang untuk memeganginya agar tidak bergerak. Tetapi dengan jiwa yang dipenuhi keimanan dan kesabaran, Urwah menolak tawaran itu dan berkata,
"Cukuplah kalian saja mengerjakan apa yang kalian kerjakan, aku tidak membutuhkan minuman atau orang-orang tersebut."

Begitulah, proses amputasi mulai dikerjakan, tulang mulai terbuka, minyak dididihkan, gergaji mulai digerakkan memotong tulang, dan obat ditaburkan. Proses demi proses berlangsung, tetapi Urwah tidak bergerak dan bergeming sedikitpun, begitu juga tidak terdengar kata keluhan dari mulutnya, kecuali kata ‘hasbi, Hasbi’ (maksudnya, cukuplah bagiku, cukuplah bagiku rahmat Allah).

Ketika seseorang datang memasuki ruangan saat proses pemotongan kakinya tersebut, ia berkata,
"Jika engkau menjengukku untuk kakiku ini, ia telah kuserahkan kepada Allah."
Tetapi orang itu berkata,
"Aku tidak datang menjengukmu untuk kakimu itu, aku hanya membawakan kabar, bahwa anakmu jatuh dari tunggangannya hingga terinjak-injak, dan akhirnya meninggal."

Mendengar kabar tersebut, tidak ada reaksi kaget sedikitpun, ia hanya berkata lirih,
"Ya Allah, jika Engkau menguji, pasti Engkau akan memberi ampunan, namun jika engkau mengambil, pasti Engkau akan mengabadikan."

Tidak Menyembah Jika Tidak Melihat



Imam Ja’far ash Shadiq, salah seorang ulama sekaligus auliyah dari keturunan Nabi SAW, yakni dari pernikahan putri beliau Fathimah az Zahrah dan Ali bin Abi Thalib, suatu ketika sedang berjalan-jalan di tepi sungai Tigris, tiba-tiba muncul seseorang yang terkenal sangat kaya, pintar dan terkemuka menghadang jalan Sang Imam.
Orang ini seorang muslim, tetapi sangat materialis dan sangat mengagungkan otaknya semata. Ia berkata,
“Wahai Imam, engkau adalah keturunan Nabi Muhammad SAW dan pemimpin para auliyah. Aku ingin melihat Allah dengan kedua mataku ini, dapatkah engkau mengaturnya untukku?”
“Wahai sahabatku,” Kata Imam Ja’far Shadiq, “Allah tidak bisa dilihat dengan mata lahirian ini, Dia hanya bisa dirasakan (kehadiran-Nya) dengan mata hati!!”

Lelaki materialis (mengukur segalanya hanya dengan yang tampak nyata) ini berkata,
“Terserah apa yang engkau katakan, tetapi aku tidak bisa menyembah Tuhan yang tidak bisa disentuh dan dilihat!!”

Imam Ja’far Shadiq memandangnya dengan tajam, kemudian berkata kepada para sahabatnya,
“Angkatlah lelaki ini dan lemparkan ke sungai!!”

Mereka segera melaksanakan perintah sang imam, dan lelaki tersebut dilemparkan ke sungai. Dalam keadaan timbul tenggelam berjuang untuk selamat, lelaki materialis itu berseru,
“Wahai Imam, selamatkanlah aku! Aku mohon dengan sangat, selamatkanlah aku!!”

Imam Ja’far Shadiq memerintahkan para sahabat untuk mengangkatnya dari sungai. Lelaki tersebut masih terengah-engah nafasnya ketika beliau berkata lagi,
“Ikat kedua tangannya dan lemparkan ke sungai, dan jangan diselamatkan lagi!!”

Lelaki materialis itu tampak ketakutan, tetapi para sahabat Sang Imam tetap patuh melaksanakan perintah beliau. Setelah dilemparkan ke sungai, ia megap-megap hampir tenggelam. Ia telah putus asa untuk meminta tolong pada sang imam, bisa-bisa keadaannya lebih parah. Dalam keadaan sangat kritis tersebut, ia berteriak,
“Wahai Tuhan Yang Maha Pengasih, selamatkanlah hamba! Tidak ada yang bisa menyelamatkan hamba dari bahaya ini kecuali Engkau, Ya Allah!!”

Mendengar teriakan lelaki tersebut, Imam Ja’far Shadiq tersenyum dan memerintahkan para sahabatnya untuk menyelamatkan dia. Dalam keadaan gemetar ketakutan, lelaki itu dihadapkan kepada sang imam, dan beliau berkata,
“Kamu memanggil-manggil: Tuhan Yang Maha Pengasih, Tuhan Yang Maha Pengasih…!! Apa benar kamu telah melihat-Nya??”

Lelaki itu berkata,
“Benar, ya imam, ketika harapan kepada semua manusia telah lenyap, aku mencari perlindungan-Nya, dan mata hatiku terbuka sehingga aku bisa melihat (merasakan) kehadiran-Nya…!!”

Lelaki tersebut akhirnya bertobat dan tidak materialis lagi, bahkan menjadi pengikut sang imam yang setia.

Batu, Kerikil Dan Pasir



Pada awal kelas filsafat di sebuah universitas, profesor berdiri dengan beberapa item yang terlihat berbahaya di mejanya. Yaitu sebuah toples mayonaisse kosong, beberapa batu, beberapa kerikil, dan pasir. Mahasiswa memandang benda-benda tersebut dengan penasaran. Mereka bertanya-tanya, apa yang ingin profesor itu lakukan dan mencoba untuk menebak demonstrasi apa yang akan terjadi.

Tanpa mengucapkan sepatah kata apapun, profesor mulai meletakkan batu-batu kecil ke dalam toples mayonaisse satu per satu. Para siswa pun bingung, namun profesor tidak memberikan penjelasan terlebih dahulu. Setelah batu-batu itu sampai ke leher tabung, profesor berbicara untuk pertama kalinya hari itu. Dia bertanya kepada siswa apakah mereka pikir toples itu sudah penuh. Para siswa sepakat bahwa toples tersebut sudah penuh.

Profesor itu lalu mengambil kerikil di atas meja dan perlahan menuangkan kerikil tersebut ke dalam toples. Kerikil kecil tersebut menemukan celah di antara batu-batu besar. Profesor itu kemudian mengguncang ringan toples tersebut untuk memungkinkan kerikil menetap pada celah yang terdapat di dalam stoples. Ia kemudian kembali bertanya kepada siswa apakah toples itu sudah penuh, dan mahasiswa kembali sepakat bahwa toples tersebut sudah penuh.

Para siswa sekarang tahu apa yang akan profesor lakukan selanjutnya, tapi mereka masih tidak mengerti mengapa profesor melakukannya. Profesor itu mengambil pasir dan menuangkannya ke dalam toples mayones. Pasir, seperti yang diharapkan, mengisi setiap ruang yang tersisa dalam stoples. Profesor untuk terakhir kalinya bertanya pada murid-muridnya, apakah toples itu sudah penuh, dan jawabannya adalah sekali lagi; YA.

Profesor itu kemudian menjelaskan bahwa toples mayones adalah analogi untuk kehidupan. Dia menyamakan batu dengan hal yang paling penting dalam hidup, yaitu: Kesehatan, pasangan anda, anak-anak anda, dan semua hal yang membuat hidup yang lengkap.

Dia kemudian membandingkan kerikil untuk hal-hal yang membuat hidup anda nyaman seperti pekerjaan anda, rumah anda, dan mobil anda. Akhirnya, ia menjelaskan pasir adalah hal-hal kecil yang tidak terlalu penting di dalam hidup anda.

Profesor menjelaskan, menempatkan pasir terlebih dahulu di toples akan menyebabkan tidak ada ruang untuk batu atau kerikil. Demikian pula, mengacaukan hidup anda dengan hal-hal kecil akan menyebabkan anda tidak memiliki ruang untuk hal-hal besar yang benar-benar berharga.

Perhatikan segala sesuatu yang penting demi kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan. Luangkan Waktumu untuk bersama dengan anak-anak dan pasangan anda. Selesaikan pekerjaan anda ketika anda berada di kantor, jangan saat anda sedang berkumpul dengan keluarga. Dendam terhadap seseorang tidak akan bermanfaat untuk anda. Dapatkan prioritas anda sekarang dan bedakan antara batu, kerikil, dan pasir.

Filodofi Kamera



Layaknya kamera yang hasilnya bergantung pada apa yang kita fokuskan, begitupun kehidupan. Kita bisa memfokuskannya untuk memotret hal-hal yang baik, juga bisa untuk menangkap hal-hal yang buruk.

Jadi, pilihannya tergantung kita, apa yang mau kita lihat dan apa yang mau kita fokuskan dalam hidup ini?

Jika kita mampu memotret dan berfokus kepada hal-hal yang baik dan indah yang kita miliki serta menikmati hidup ini, kita akan memiliki kehidupan yang bahagia.

Sebaliknya, jika kita senantiasa berfokus kepada kesialan, cacat, kemalangan, dan cela yang kita atau orang lain miliki, hal-hal buruk yang terjadi dalam hidup kita, dan berpikir orang selalu mencoba menipu kita atau menjatuhkan kita, sudah dipastikan hidup kita akan penuh dengan drama dan penderitaan.

Ambil kamera, kemudian ambil gambar sesuka hati. Dengan begitu, kita akan mengerti bentuk bahagia dari hasil jepretan kamera kita sendiri.